Kamis, 06 November 2008

PRESIDEN OBAMA


INSPIRASI MOMENTUM RESTORASI EKONOMI?
Kamis, 6 November 2008 | 03:00 WIB

A Tony Prasetiantono

Fantastis. Akhirnya Barack Obama jadi juga sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat dalam sebuah pemilu yang dramatis, Selasa (4/11). Ini tentu akan menjadi momentum penting, tidak saja bagi restorasi perekonomian AS dan global, tetapi juga menempatkan posisi Indonesia di mata AS menjadi lebih penting.

Rakyat AS tampak sangat antusias mengikuti pemilu, bahkan rela antre panjang sejak cuaca masih gelap. Berdasarkan data ekonomi, antusiasme ini juga terefleksikan dengan penguatan dollar AS terhadap berbagai mata uang pada hari menjelang pemilu. Ini mengindikasikan adanya persepsi bahwa rakyat AS menaruh harapan tinggi bahwa presiden baru Obama akan dapat membawa perekonomian AS ke pemulihan.

Momentum pemilu kali ini memang tepat pada saat perekonomian memerlukan pertolongan setelah mengalami krisis kredit perumahan (subprime mortgage) sejak Juli 2007. Kemudian memuncak sejak 15 September 2008, yang ditandai dengan kebangkrutan Lehman Brothers.

Munculnya presiden baru bisa menjadi momentum pembalikan keadaan. Mengapa? Karena, krisis tahun 2008, sebagaimana krisis-krisis sebelumnya, terutama tahun 1930-an, umumnya dipicu oleh hancurnya harga saham di bursa efek.

Di lantai bursa, faktor persepsi sering kali berperan lebih dominan, mengalahkan faktor fundamental perusahaan. Karena itu, upaya pemulihan ekonomi pun harus disertai dengan restorasi keyakinan (confidence) atau kepercayaan (trust) terhadap prospek ekonomi. Dan, hal itu bisa dilakukan secara efektif bila terjadi pergantian para pemimpin, chief executive officer, mulai dari level bawah hingga tertinggi, yakni presiden.

Ingat, krisis perekonomian Indonesia tahun 1998 juga mulai diurai dengan penggantian presiden, yang diawali dengan huru- hara Mei 1998. AS kali ini ”beruntung” bahwa pergantian presiden tidak memerlukan momentum huru-hara karena kebetulan pemilu presiden dijadwalkan 4 November 2008, atau kurang dari dua bulan dari 15 September 2008, saat krisis memasuki fase paling serius.

Karena itu, wajar jika faktor presiden baru menjadi tumpuan harapan datangnya ”perubahan”, yang dalam konteks ekonomi adalah momentum pembalikan krisis.

”Too big to fail”

Tak hanya publik AS, masyarakat seluruh dunia pun antusias terhadap pemilu presiden AS. Alasannya jelas: sekalipun kini tengah dilanda resesi, AS masih tetap berperan sebagai motor penggerak perekonomian dunia. Dengan produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 14 triliun dollar AS serta jumlah penduduk 305 juta orang, yang berarti PDB per kapita sebesar 46.000 dollar AS, kue ekonomi ini masih sangat menjanjikan bagi eksportir mana pun di seluruh dunia.

Seluruh dunia amat berkepentingan agar perekonomian AS sehat dan menyerap produk apa pun dari seluruh dunia. Dewasa ini AS mengalami defisit perdagangan hingga 848 miliar dollar AS, yang bisa menggambarkan betapa besar kue yang dinikmati dan diperebutkan negara-negara lain terhadap pasar raksasa AS. Karena itu, semua negara sesungguhnya memandang AS dengan kaca mata too big to fail.

Artinya, amat disayangkan jika perekonomian AS mengalami kebangkrutan karena hal itu bisa mengancam surplus perdagangan dari sisa dunia (the rest of the world) terhadap AS. Angka 848 miliar dollar AS jelas tidak main- main dan sangat signifikan.

Dengan logika ini, skenario restorasi ekonomi AS bisa mulai dirancang.

Pertama, kehadiran Presiden Obama akan membangkitkan kepercayaan dan kegairahan ekonomi. Hal ini akan terekspresikan dalam penguatan kurs dollar AS dan indeks harga saham di Wall Street.

Meski demikian, rally kurs dollar AS yang berlebihan juga tidak selamanya bermanfaat. Pada titik tertentu, apresiasi dollar AS juga perlu mengalami jeda atau bahkan kembali mengalami depresiasi.

Dengan demikian, taruhlah kurs rupiah sempat terperosok ke Rp 11.000 atau bahkan Rp 12.000 per dollar AS, tetapi itu sifatnya hanya temporer. Obama bukanlah sosok yang bisa mengubah ekonomi AS dalam sekejap (overnight). Ia juga memerlukan waktu panjang untuk melakukan restorasi ekonomi AS. Ketika publik mulai menyadari hal ini, dollar AS pun akan terkoreksi. Dollar AS yang terlampau kuat justru akan merugikan, yang bisa mengancam defisit perdagangan menembus di atas 900 miliar dollar AS.

Kedua, dengan daya pikatnya yang luar biasa, Presiden Obama bisa melakukan persuasi kepada negara-negara lain untuk secara kolektif, bahu-membahu, ”mengeroyok” krisis finansial AS. Karena, jika negara-negara lain tak peduli, krisis di AS akan berpotensi risiko sistemik (systemic risk) atau menimbulkan efek domino bagi negara-negara lain. China, misalnya, akan kehilangan potensi surplus perdagangan 200-an miliar dollar AS dari AS yang selama ini sangat mereka nikmati. Ibaratnya, perekonomian AS sedang sakit parah, maka seluruh dokter paling top di seluruh dunia harus secara kompak mengusahakan pengobatannya.

Tahun 2009, AS harus menerbitkan obligasi pemerintah, baik jangka pendek (T-bills) maupun jangka panjang (T-bonds), untuk mengongkosi skema program bailout (penalangan bank- bank investasi yang bangkrut) melalui lembaga bentukan baru, Troubled-Asset Relief Program (TARP) atau semacam Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Faktor Obama bisa membantu kelancaran penerbitan obligasi ini sehingga mudah dibeli negara- negara pemilik likuiditas besar. Misalnya Timur Tengah, China, Jepang, Zona Euro, Inggris, dan bahkan Rusia, yang perekonomiannya sedang bagus dan menikmati surplus perdagangan 200 miliar dollar AS. Kolektivitas negara-negara besar akan menjadi faktor penentu untuk menghambat dan sekaligus menghentikan eskalasi krisis finansial global.

Manfaat bagi Indonesia

Apakah Indonesia bisa mendapat manfaat dari Presiden Obama? Kemungkinan bisa. Sepuluh tahun silam (1998), ketika Indonesia terbenam di kubangan krisis ekonomi yang dalam, praktis AS kurang serius membantu. Dana Moneter Internasional (IMF), yang boleh dibilang secara tak langsung merupakan ”kepanjangan tangan” AS, ternyata hanya memberikan bantuan likuiditas secara bertahap dan tersendat.

Setiap bulan IMF mencairkan 1 miliar dollar AS. Itu pun dengan syarat ketat Indonesia harus menyusun proposal yang disebut letter of intent (LOI). Jika IMF tidak setuju dengan proposal itu, dana 1 miliar dollar AS batal dicairkan sampai substansinya disetujui.

Akibatnya, penyakit ekonomi Indonesia yang sudah sangat kronis, yang memerlukan suntikan dana setidaknya 30 miliar dollar AS, tak kunjung sembuh. Bagaimana mau sembuh ketika mestinya disuntik 30 miliar dollar AS, kenyataannya cuma diberi obat generik berupa injeksi 1 miliar dollar AS. Penyakit malah semakin kronis dan kritis.

Perlakuan IMF ini sangat berbeda dengan saat AS menangani Meksiko yang terkena krisis tahun 1994-1995. Sebagai tetangga terdekat, AS tampak amat sigap untuk menginjeksi Meksiko dengan dana segar 30 miliar dollar AS sehingga krisis bisa segera dilalui.

Kini, setelah Obama menjadi Presiden AS, cara pandang AS terhadap Indonesia diharapkan berubah. Indonesia, meski ”jauh di mata”, siapa tahu nantinya akan diperlakukan seperti Meksiko, yang selama ini dianggap sebagai ”beranda” AS karena secara geografis memang bertetangga dengan California.

Akhirnya, selamat atas kemenangan Presiden Obama. Semoga ini bisa menjadi momentum yang bermanfaat bagi restorasi ekonomi AS, global, dan tentunya Indonesia.

A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Chief Economist BNI

Tidak ada komentar: