Sabtu, 08 November 2008

PERTANDINGAN BERAT SEBELAH



AP PHOTO/CAROLYN KASTER / Kompas Images
Kandidat presiden John McCain, didampingi istrinya, Cindy McCain, tertunduk ketika meninggalkan panggung di mana ia menyampaikan pidato yang mengakui keunggulan Barrack Obama, di Phoenix, AS, Selasa (4/11).
Sabtu, 8 November 2008 | 03:00 WIB


Budiarto Shambazy

Sesungguhnya kemenangan Barack Hussein Obama Junior (47) termasuk mudah diperkirakan karena keunggulan dia atas John McCain (72) di berbagai jajak pendapat relatif stabil sejak konvensi kedua partai selesai awal September. Perbedaan poin di antara kedua calon cukup besar, beberapa kali bahkan sempat mencapai angka dua digit.

Hasil jajak-jajak pendapat pemilihan presiden Amerika Serikat tak pernah meleset selama 48 tahun terakhir, kecuali ketika John F Kennedy (JFK) mengalahkan Richard Nixon tahun 1960 dengan perbedaan angka tipis sekali.

Obama tergolong senator yunior yang belum satu periode bertugas mewakili Illinois dan kini menjadi senator ketiga asal negara bagian itu yang masuk ke Gedung Putih setelah Presiden Abraham Lincoln serta Ulysses Grant. Ia orang kedua sejak JFK yang memenangi pilpres dari jalur senator.

Justru karena masih tergolong senator yunior inilah McCain dengan gencar memojokkan Obama sebagai capres belum berpengalaman memimpin satu-satunya negeri adidaya di dunia.

Namun, serangan itu justru bagai senjata makan tuan setelah McCain memilih Sarah Palin (44) sebagai cawapres. Rakyat ngeri membayangkan gubernur Alaska itu menjadi presiden jika McCain tiba-tiba tutup usia karena kanker kulit yang dideritanya.

Dalam kampanye sejak awal September, Palin praktis jadi bulan-bulanan kritik media karena ketidakpahaman tentang berbagai isu nasional/internasional, keterlibatan dia dan suaminya dalam ”Troopergate”, dan yang terakhir menghabiskan dana puluhan ribu dollar AS hanya untuk berdandan selama kampanye.

Andai saja McCain memilih Mitt Romney, Mike Huckabee, atau Rudy Giuliani, belum tentu Obama menang telak dan mudah. Romney pengusaha yang tepat ditempatkan sebagai cawapres dalam kondisi krisis saat ini, Huckabee tergolong karismatis, dan Giuliani pahlawan yang memimpin New York City saat terjadi tragedi 9/11.

Anehnya, McCain baru bertemu satu kali saja dengan Palin sebelum menggandengnya sebagai cawapres, praktik tak biasa yang mengundang tanda tanya.

Sejak saat itulah kubu Republik menilai McCain sebagai maverick tulen alias pemberontak yang bersikap semau gue yang emoh bantuan. Beberapa tokoh Republik, seperti kolumnis Kathleen Parker, bahkan mendesak Palin mundur dari pencalonan. Kemarin terbukti exit poll versi MSNBC menunjukkan 60 persen responden menilai Palin tak layak menduduki jabatan wakil presiden.

Mengapa McCain terobsesi Palin? Salah satu pertimbangannya, McCain mau menggaet sekitar 17 juta suara perempuan pendukung Hillary Clinton. Ia lupa para pendukung Hillary tergolong hardcore yang liberal dan sukar berubah haluan. Mereka bisa saja tak suka Obama, tetapi memandang Palin perempuan puritan yang antiaborsi dan antipelestarian lingkungan.

Dengan kata lain, McCain berani melakukan perjudian berisiko besar. Mengapa ia nekat? Sebab, McCain merasa upayanya kali ini merupakan peluang terakhir kali. It’s better late than never. Kalau mau jujur, ia ”semestinya” sudah menjadi presiden tahun 2000, tetapi dikalahkan George W Bush di konvensi. Itulah momentum terbaik McCain karena ia, misalnya, bertempur sebagai serdadu di Perang Vietnam—bertolak belakang dengan Bush yang memanfaatkan posisi ayahnya untuk menghindari perang itu.

McCain politisi populer dengan pribadi yang menyenangkan, orator ulung yang mampu berbicara di hampir semua kalangan, amat berpengalaman, dan pasti sukses sebagai presiden. Sekitar Agustus 2007 ia sudah ”megap-megap” karena makin sedikit donatur yang mau mendanai kampanyenya.

Ia terpaksa menggunakan bus ”Straight Talk Express” agar bisa berkeliling negara untuk kampanye meski istrinya salah satu pewaris pabrik bir Budweiser. Lewat perjuangan yang tak kenal lelah, ia lolos sebagai capres Republik.

Ibarat paku terakhir

Mungkin karena sudah kepalang tanggung, McCain melakukan degradasi etika politik dengan melancarkan kampanye negatif terhadap Obama. Selama September-Oktober Obama dilukiskan sebagai capres yang terlalu liberal, berteman dengan teroris William Ayers, dekat dengan Pendeta Jeremiah Wright yang menyatakan 9/11 merupakan kutukan bagi bangsa AS, bahkan terakhir seorang sosialis yang akan membagi-bagikan kekayaan untuk orang miskin yang malas bekerja.

Seluruh serangan kampanye negatif itu tak berbuah karena Obama tak meladeninya, kecuali dengan mengungkapkan fakta-fakta belaka. Ia tak mau tampil sebagai capres kulit hitam yang bercorak militan seperti Jesse Jackson karena akan menimbulkan rasa khawatir kepada kalangan kulit putih. Tak seperti McCain, Obama emoh memilih Hillary Clinton cuma dengan tujuan merebut 17 juta suara.

Hillary dipandang sebagai tokoh pemecah belah karena sejarah kepresidenan suaminya, Bill Clinton, yang kontroversial. Sampai hari-hari terakhir kampanye hampir semua kalangan mengetahui Bill Clinton bersikap setengah hati mendukung Obama yang telah mengakhiri impiannya ”kembali ke Gedung Putih”.

Ini fenomena biasa sebab Bill Clinton (juga Ronald Reagan) paling tidak sempat dielu-elukan agar boleh jadi presiden untuk tiga periode—sebuah kemustahilan karena konstitusi cuma membolehkan dua periode.

Alhasil, pertarungan Obama versus McCain ibarat pertandingan yang berlangsung berat sebelah sejak awal September. Jika Obama tampil dengan gaya professorial yang rada membosankan tetapi inspiratif, McCain tampil bagaikan angry old man yang kelewat agresif tetapi sia-sia.

Obama lebih menekankan pada substansi, McCain lebih pada gaya. Itu sebabnya, saya sejak awal sudah yakin Obama pasti menang walau tak menyangka setelak dan semudah ini.

Obama terpilih karena juga terbantu faktor kebetulan, yakni krisis yang dipicu foreclosure. Ia dengan cepat menanggapinya dengan menulis surat kepada Gubernur Bank Sentral Ben Bernanke dan Menkeu Henry Paulson bulan Maret 2007, yang isinya meminta seluruh pemangku kepentingan KPR segera mengadakan KTT. Surat itu tak pernah ditanggapi.

Berbeda dengan McCain yang per 15 September 2008 dengan lantang mengatakan ”ekonomi AS secara fundamental bagus”, persis pada hari Lehman Brothers dinyatakan bangkrut.

Obama menang telak karena rakyat sudah muak terhadap pemerintahan Republik pimpinan Bush yang mencatat approval rate terendah sepanjang sejarah, yakni 24 persen.

Exit poll MSNBC kemarin menunjukkan lagi kekesalan rakyat terhadap Bush, yakni 79 persen menilai AS sudah salah arah (wrong track) dibandingkan 54 persen tahun 2004 ketika sebagian rakyat mulai sadar serbuan ke Irak merupakan hasil karangan belaka. McCain praktis tak berdaya menghadapi mantra Obama: Anda mendukung 90 persen kebijaksanaan Bush.

Itu sebabnya, McCain tak mampu menahan amarah pada debat capres ketiga ketika ia lepas kontrol dan menyergah, ”Senator Obama, saya bukan George Bush. Jika mau berhadapan melawan George Bush, Anda seharusnya mencalonkan diri empat tahun lalu.” Pernyataan emosional ini ibarat paku terakhir yang menutup rapat peti mati McCain yang telah disiapkan sejak awal September.

(Budiarto Shambazy, dari AS)

Fenomena Politik



OBAMA SETELAH KONVENSI DEMOKRAT
Sabtu, 8 November 2008 | 01:45 WIB

Simon Saragih

Bagaimana kisah Obama hingga ia terkenal dan bahkan kemudian ia disebutkan sebagai tokoh fenomenal. John S Jackson dari Southern Illinois University, Carbondale, Illinois, melukiskannya dalam makalah berjudul ”The Making Of A Senator: Barack Obama and the 2004 Illinois Senate Race” pada Agustus 2006.

Ia menyebutkan, dalam pemilihan Senat AS tahun 2004 di Illinois, Obama sudah menjadi bagian dari sejarah penting politik AS. Proses pemilihan Senat di Illinois itu sendiri sudah menjadi tonggak penting karier politik Obama.

Proses pemilihan senat di Illinois ini disetarakan oleh Jackson seperti mengulang fenomena pemilihan Senat Illinois yang pernah terjadi tahun 1858 ketika Stephen Douglas mengalahkan Abraham Lincoln. Obama pun sempat kalah pada pemilu senat sebelumnya di Illinois.

Pemilihan di senat itu menjadi bagian dari karier politik bagi siapa saja menuju kepemimpinan nasional.

Walau Lincoln kalah dalam pemilihan sebagai Senat, pidato-pidato Lincoln serta debat-debat yang dia ajukan pada Douglas membuatnya menjadi politisi kondang hingga tingkat nasional. Lincoln mempertanyakan perbudakan dan masa depan persatuan. Lincoln dari Partai Republik tak pelak lagi menjadi perhatian nasional.

Pada pemilihan Senat tahun 1860, Lincoln menjadi kandidat terdepan Partai Republik. Kekalahan dari Douglas tak menenggelamkan pamor Lincoln, yang kemudian menjadi presiden.

Di zaman modern, Obama seperti mengulangi fenomena Lincoln itu. Obama bukan satu-satunya senator, dan bahkan ia tergolong baru. Namun, Obama kemudian menjadi seorang pembicara, yang pidatonya dinantikan.

Pidatonya melampaui horizon sebagai seorang senator yang baru terpilih pertama kali. Di zaman modern ini Obama adalah pria kulit hitam pertama yang terpilih sebagai senator AS, yang mewakili negara bagian, sejak Edward Brooke (Republik) terpilih sebagai senator AS mewakili Negara Bagian Massachusetts tahun 1966.

Di tingkat Negara Bagian Illinois, ia adalah warga Amerika Afrika yang kedua terpilih sebagai senator setelah Senator Carol Moseley Braun (terpilih tahun 1992).

Baru ada lima kulit hitam yang menjadi senator di AS, tingkat negara bagian ataupun nasional, mereka adalah Hiram Rhodes Revels (1870-1871), Blanche Bruce (1875-1881), Brooke (1967-1979), Braun, dan Obama.

Obama adalah salah satu dari senator keturunan Afrika yang paling populer dalam sejarah AS. Namun, fenomena Obama bukan saja karena ia politisi Amerika Afrika. Lebih dari itu dan ia menjadi figur politik kaliber nasional karena kemampuan pribadinya.

Talenta ini terpatri ketika ia berpidato pada Konvensi Nasional Partai Demokrat di Boston pada Juli 2004.

Berikut petikan pidato Obama yang disampaikan untuk mengantar John F Kerry sebagai capres Demokrat pada pemilu 2004.

”Mewakili Negara Bagian Illinois yang besar, perlintasan negara, tanah kelahiran Lincoln, izinkan saya menyatakan rasa terhormat karena diberi kesempatan berbicara pada konvensi ini. Malam ini adalah kehormatan khusus bagi saya, mari bicara terus terang. Kehadiran saya di panggung ini sesuatu yang hampir mustahil. Ayah saya adalah mahasiswa asing, yang lahir dan tumbuh di sebuah desa kecil di Kenya. Ia tumbuh sebagai peternak kambing, pergi ke sekolah tanpa alas kaki. Ayahnya (kakek saya) adalah seorang pemasak, pembantu di sebuah keluarga misionaris.

”Namun, kakek saya menaruh impian lebih besar pada putranya. Dengan kerja keras dan ketekunan, ayah saya dapat beasiswa untuk belajar di tanah impian, Amerika Serikat, lahan kebebasan dan kesempatan bagi banyak orang yang tak pernah terjadi sebelumnya. Saat belajar di sini, ayah bertemu ibu saya. Ibu lahir di sebuah kota di sebuah sudut dunia, di Kansas.

”Kakek saya dari pihak ibu bekerja di perusahaan minyak dan pertanian saat depresi ekonomi besar AS. Setelah serangan Pearl Harbor, ia maju berperang, bergabung dengan tentara dan berpetualang hingga Eropa. Di kampung, nenek saya dari pihak ibu mengurus bayi dan bekerja di perusahaan perakit bom. Setelah perang, mereka mempelajari GI Bill, dan membeli rumah lewat FHA, dan pindah ke Barat meraih kesempatan.

”Mereka juga punya impian besar pada putrinya, sebuah impian yang lazim, awal dari lahirnya dua benua. Orangtua saya berbagi tidak saja sebuah cinta yang terlarang, mereka juga berbagi dua aliran kepercayaan yang dimungkinkan terjadi di negara ini. Mereka memberi saya nama Afrika, Barack atau ’teberkati’, karena mereka percaya bahwa di bumi Amerika yang toleran, nama bukan hambatan menuju sukses. Mereka membayangkan saya belajar di sekolah terbaik, meski mereka tidak kaya, karena di bumi Amerika yang murah hati, Anda tak perlu menjadi kaya untuk meraih impian. Mereka sudah tidak ada. Namun, saya tahu, pada malam ini, mereka bangga menyaksikan saya.

”Di sini saya berdiri sembari bersyukur pada latar belakang saya yang diwarnai keanekaragaman, dan saya juga sadar bahwa mimpi-mimpi orangtua saya kini diharapkan akan terjadi pada dua putri tercinta saya. Saya berdiri di sini sembari menyadari bahwa kisah hidup saya merupakan bagian dari kisah besar Amerika, dan saya berutang budi pada mereka semua yang pernah singgah dalam kehidupan saya, dan juga pada kenyataan bahwa tak ada negara di bumi ini, di mana kisah hidup saya bisa eksis, kecuali AS.

”Malam ini, kita berkumpul untuk menegaskan kebesaran negara kita, bukan saja karena gedung-gedung pencakar langit, atau kekuatan militer, atau besaran ekonomi. Kebanggaan kita berpijak pada premis sederhana, tercipta dua ratus tahun lalu, bahwa semua pria lahir dengan kesempatan setara. Kita memegang keyakinan ini … di antaranya adalah kehidupan, kemerdekaan dan pengejaran kebahagiaan.

”Ini sungguh sebuah Amerika yang genius, dengan sebuah keyakinan dalam mimpi-mimpi sederhana warganya, dan percaya pada keajaiban-keajaiban kecil. Kita harus bisa membuat anak-anak kita aman di malam hari dan sadar bahwa mereka memiliki cukup makanan, pakaian, dan bebas dari ancaman. Di negara ini kita bisa mengutarakan apa yang kita pikirkan, menulis apa yang kita mau, tanpa khawatir pintu kita digedor-gedor.

”Di AS, kita bisa memiliki ide dan memulai bisnis tanpa harus menyuap atau menyewa pengawal. Bahwa kita bisa berpartisipasi dalam proses politik tanpa takut harus membalas budi dan bahwa suara yang memilih kita benar-benar dihitung.

”Tahun ini, pada pemilu, kita diminta menegaskan kembali nilai-nilai dan komitmen kita, memegangnya teguh … demi masa depan generasi kita. Rekan-rekan kita, Demokrat, Republik, independen, saya berpesan kepada Anda, kita masih harus bekerja keras. Banyak yang harus dikerjakan bagi para pekerja kita….”

Itulah salah satu masa paling memukau bagi Obama. Pidato dipuji banyak kalangan. Sejak itu dia tampil di mana-mana dan mendorongnya menjadi calon presiden AS 2008. Dan, dia berhasil.

JOE BIDEN, "OTAK" URUSAN LUAR NEGERI



Sabtu, 8 November 2008 | 01:45 WIB

Ada dua alasan utama mengapa presiden AS terpilih, Barack Obama, memilih Joseph Biden (65) sebagai wakil presiden AS. Pertama, Biden diharapkan menjadi arsitek sekaligus pemelihara kebijakan luar negeri AS. Kedua, Biden sesungguhnya adalah seorang juru kampanye yang tangguh, energik, tetapi tenang dan berwibawa.

Untuk alasan yang pertama, khalayak sudah tahu bahwa Biden kenyang pengalaman dan punya pengetahuan yang luas perihal hubungan luar negeri. Ibaratnya, nomor kontak seorang Biden dimiliki oleh para pemimpin dunia. Dia merupakan jaminan mutu bagi Obama.

Namun, latar belakang kepribadian Biden jarang sekali terungkap. Biden yang terlihat tenang, tapi menyimpan energi yang besar, itu menyimpan kenangan teramat pahit di awal-awal kehidupan pernikahannya. Pengalaman itu rupanya justru menjadi obor motivasi sepanjang hidupnya.

Saat baru saja terpilih menjadi anggota Senat AS awal tahun 1972, ia harus kehilangan istri dan bayi perempuannya, Neila dan Amy, dalam kecelakaan mobil sepekan menjelang Natal tahun itu. Dua anak laki-lakinya, Beau dan Hunter, cedera parah.

Sejak tragedi itu, ia memilih pergi ke Washington dari tempat tinggalnya di Delaware dengan kereta api tiap hari. Ia sempat mengalami keterpurukan sebelum akhirnya menikah lagi dengan Jill Tracy Jacobs dan dikaruniai seorang anak, Ashley.

Dalam beberapa kali wawancara, ia mengaku butuh beberapa lama untuk bangkit. Kejadian itu mengajarinya banyak hal, salah satunya ketegaran. Jadilah ia seseorang yang kuat, tenang, tapi penuh keyakinan.

”Tidak ada alasan untuk tidak bangkit dan hidup kembali. Kenangan terhadap merekalah yang membuat saya bangkit dengan kehidupan berkualitas,” kata Biden.

Berdarah Irlandia dan pemeluk Katolik taat, Biden tumbuh di Scranton, Pennsylvania, bekas daerah penghasil baja dan pertambangan yang surut setelah keterpurukan industri di pertengahan abad ke-20. Kondisi itu mengharuskan keluarga Biden pindah ke Delaware saat usianya baru 10 tahun.

Saking miskinnya keluarga Biden, mereka pindah tanpa alas kaki. Namun, persentuhannya dengan daerah industri dan kaum akar rumput Demokrat itu kini menjadikannya ”pendamping” sekaligus daya tarik bagi pemilih Obama di kalangan kelas pekerja.

Karier politik Biden di Senat AS kian matang. Jabatannya sebagai ketua komite hubungan luar negeri di Senat dinilai melegenda di kalangan koleganya. Dalam segala kondisi, ia sangat tenang, berwibawa, tetapi santun, termasuk saat mengkritik sejumlah kebijakan politik luar negeri Presiden George W Bush. Jabatan itu juga memberi kesempatan padanya untuk bertemu dengan sejumlah pemimpin dunia.

Saat AS menginvasi Irak tahun 2003, Biden pada awalnya mendukung ide itu. Namun, dia lalu berubah sikap karena AS dinilai kelewatan, termasuk saat menghukum mati Presiden Irak Saddam Hussein. Namun, ia termasuk di jajaran depan menetapkan mantan Presiden Serbia Slobodan Milosevic sebagai penjahat perang dan mengungkap misteri kekerasan di penjara Guantanamo.

”Senator Biden membawa suasana pragmatis serta pendekatan non-ideologis pada sejumlah masalah-masalah internasional. Dia mengerti pentingnya kepemimpinan AS, tapi sekaligus juga mengerti bagaimana membatasi hal itu. Kita bisa berharap sumbang sarannya bagi Irak, Iran, dan Rusia, persoalan yang kadang AS dan sekutunya tidak sejalan,” kata William Antholis dari Brookings Institution.

Prof Paul Herrnson dari University of Maryland menyatakan, pilihan Obama atas Biden sangat tepat. ”Pilihan Obama sangat brilian. Obama sangat kuat dalam kebijakan domestik, tetapi tidak pengalaman mengurusi masalah-masalah luar negeri. Biden adalah orangnya. McCain memilih dia karena semata-mata urusan politik, bukan benar-benar berdasar pilihan yang diinginkannya,” kata Herrnson. (BENNY DWI KOESTANTO)

Demokrasi AS


ENERGI UNIK DARI PEMILU AS

AP Photo/Jae C Hong / Kompas Images
Barack Obama yang lelah menyandarkan kepalanya sebelum muncul di hadapan pendukungnya di St Louis, Missouri., AS, Juli lalu. Perjalanan yang panjang dan melelahkan selama kampanye memaksa para calon presiden untuk memanfaatkan waktu yang sedikit untuk beristirahat.
Sabtu, 8 November 2008 | 03:00 WIB


Simon Saragih


Meliput pemilu AS memberi kesempatan melihat variasi yang unik, kadang terasa aneh, tetapi juga sekaligus menyenangkan. Bagaimana energi para calon presiden yang seperti tidak ada capeknya. Para calon presiden mengunjungi berbagai kota dalam sehari dan hal-hal yang seperti berlangsung dalam seminggu, dan bahkan dalam 21 bulan terakhir.

Saking tidak cukup tidur, Obama, misalnya, kadang terlihat tertidur lelap di kursi panjang di ruang sederhana. Hotel mewah, yang menyediakan tempat tidur nyaman, tidak membikin Obama kelamaan tidur sehingga lengah menggencarkan kampanye. ”Jangan lengah, jangan percaya pemilu ini sudah usai, besok kita akan mengubah negara,” kata Obama pada Senin (3/11) malam di Charlotte, North Carolina.

Keseriusan, semangat besar, meski dengan risiko kehilangan tidur nyenyak, menjadi warna dari semangat kepemimpinan yang diperlihatkan Obama. Si kakek John McCain, berusia 72 tahun, bahkan turut ”gila”. Dalam sehari, terutama sepanjang Senin (3/11), McCain melakukan kampanye di tujuh negara bagian sekaligus.

”My friend,” demikian bujukan McCain kepada setiap pendukungnya di berbagai lokasi kampanye. Ucapan McCain menirukan ucapan Martin Luther King Junior saat memimpin protes pada tahun 1963 di Washington, memprotes diskriminasi oleh kulit putih kepada kulit hitam. McCain mungkin ingin meraih sukses dari Obama, seorang keturunan Afrika seperti Luther King.

Joe Biden dan Sarah Palin tak mau lepas tangan dan menyerahkan kampanye kepada atasannya semata. Biden dan Palin cukup gencar melakukan kampanye, kadang dengan serangan sengit. Akan tetapi, uniknya—kalau melihat situasi di Indonesia—begitu pesta demokrasi usai, tidak ada dendam.

”Saya menawarkan diri untuk mendukung pemerintahan Obama,” kata Palin di Anchorage, Rabu (5/11) malam. Kedewasaan politik sangat terasa. Kekalahan diterima dengan lapang dada. Tak ada protes dengan membakar atau menyerang pendukung lawan.

Ketika McCain memberi pidato menyerah kalah, pendukung McCain menolak. ”Huuuuh….,” demikian pendukung McCain setelah mendengar pernyataan bahwa McCain telah mengucapkan selamat kepada Obama.

Pendukung McCain juga memprotes ketika McCain mengatakan, ”Obama, yang pernah menjadi saingan saya, kini telah menjadi presiden saya.” ”Huuuhhh…,” demikian reaksi pendukung McCain. Namun, McCain tidak menghasut pendukungnya, tidak pula meminta pendukungnya meninju pendukung musuh, apalagi membakar aset-aset musuh.

”Please...!” demikian McCain berkali-kali meminta pendukungnya untuk menerima kenyataan, yakni sebuah kekalahan yang tentunya mengecewakan. ”Tetapi kita harus maju, Amerika tak pernah menyerah, Amerika tak pernah mundur,” kata McCain.

Luar biasa, demikianlah kebesaran jiwa McCain. ”Itu sungguh pidato yang luar biasa. Kita melihat McCain yang sungguh berbeda dan menyenangkan,” kata Dr Gregory Payne, pengajar komunikasi politik di Emerson College di Boston.

Demikian juga rakyatnya, semangatnya sungguh luar biasa. Untungnya pada saat pemilu cuaca cukup menyenangkan. Namun, di sebagian tempat di mana hujan turun, para pemilih rela antre dan menunggu waktu untuk memberikan suara.

Mereka tidak mau kalah atau mundur. Mereka ingin memilih agar suara mereka dihitung supaya Obama menang. Semangat ini diperlihatkan minoritas, seperti Muslim, Katolik kulit putih, Kristen pendukung Demokrat, kulit hitam, Hispanik, Asia, dan minoritas lainnya. Mereka tidak mau Obama kalah karena kekurangan dukungan. Mereka tidak mau negara dipimpin penerus Presiden George W Bush, yakni McCain, yang menjadi pilihan utama kulit putih konservatif, yang sebagian di antaranya rasis dan ingin membunuh Obama.

Pendukung Obama ingin menegakkan E Pluribus Unum atau Bhinneka Tunggal Ika ala AS. Ini adalah semangat yang pantas ditiru warga Indonesia jika ingin membuktikan negaranya benar-benar pendukung Bhinneka Tunggal Ika, bukan sekadar Bhinneka Tunggal Ika dalam ucapan semata.

Semangat mereka bukan saja diperlihatkan dengan rela antre di lokasi-lokasi pemilu. Mereka ingin memenangkan Obama dengan menganjurkan rekan-rekan mereka untuk memilih. ”Vote, vote, vote, ajaklah minimal lima orang rekan-rekan Anda. Jika satu orang mengajak lima orang dan setiap lima orang itu mengajak lagi lima orang lainnya, jumlah yang memberikan suara akan banyak,” demikian ucapan Halle Berry, aktris peraih hadiah Oscar, dalam kampanye yang didukung Leonardo DiCaprio, Julia Roberts, Tom Cruise, serta sekelompok artis lainnya yang merupakan pendukung Obama.

Saat pemilu juga ada orang aneh-aneh. ”Pilihlah Dog”. Demikian spanduk yang dibawa seseorang dengan membawa anjing. ”Pilihlah hewan peliharaan”. Demikian pula spanduk yang dibawa Alexander, veteran perang yang dengan mobilnya berkeliling di pusat kota Boston saat pemilu berlangsung.

Namun, kedua orang ini tidak ditangkap. Mereka dibiarkan saja berkeliaran dan akhirnya mereka memang capek dan berhenti sendiri. Tidak ada ketakutan berlebihan dari aparat atau elite di AS, yang memutuskan bahwa dua ”pengacau” pemilu ini harus ditangkap. Tingkah dua orang itu, yang juga terjadi banyak kota di AS, dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehingga mereka tidak perlu ditangkap dan dimasukkan ke penampungan dinas-dinas sosial.

Para pendukung McCain dan Obama juga demikian. Di lapangan mereka bisa bersaing. Namun, tidak ada dukungan berlebihan, dengan teriakan berlebihan, atau pawai berlebihan yang memacetkan jalanan, seperti yang terjadi di kota-kota di Indonesia saat kampanye berlangsung.

Inilah pernik-pernik kampanye yang menarik dari pemilu AS. (Simon saragih, dari AS)