Kamis, 06 November 2008

BEDA VISI POLITIK LUAR NEGERI OBAMA DENGAN MCCAIN


BEDA VISI POLITIK LUAR NEGERI
OBAMA DENGAN MCCAIN
Rabu, 5 November 2008 | 01:24 WIB

Makarim Wibisono

Figur baru penentu kebijakan AS hasil pemilu 4 November 2008 sangat dinantikan karena memiliki ramifikasi politik, militer, dan ekonomi yang luas. Oleh karena itu, arah kebijakan politik luar negeri presiden AS yang baru ini ramai ditelusuri guna diamati dengan saksama. Belum ada rujukan praktik sebelumnya mengingat kedua calon bukanlah ”incumbent”.

Jika Obama akhirnya muncul menjadi pemenang pemilu, dari wacana yang kerap kali diungkapkan dalam kampanye, politik luar negeri (polugri) AS jelas akan bergeser ke tengah, akan lebih menggiatkan diplomasi kolektif, mengutamakan multilateralisme dan memanfaatkan soft power sebagai instrumen polugri. Hal ini secara eksplisit disampaikan Obama pada Juli lalu, ”Instead of pushing the entire burden of our foreign policy on to the brave men and women of our military, I want to use all elements of American power to keep us safe and prosperous and free.” Secara spesifik, Obama menginginkan AS lebih membaur dengan masyarakat internasional, tidak terisolasi dan menunjukkan kepemimpinannya. Obama mengatakan, ”Instead of alienating ourselves from the world, I want America—once again—to lead….” Obama percaya, Perang Dingin berakhir karena negara-negara maju bersatu padu. Ibarat orang menari, Obama menganggap polugri AS saat ini sebagai salah langkah dan entakannya tidak seiring dengan nada dan ritme politik global. Jadi, dibutuhkan penyesuaian diri guna memutakhirkan polugri AS agar relevan dengan situasi dan konteks dunia masa kini.

Visi polugri kampanye Obama terfokus pada Irak, Iran, Timur Tengah, Asia, senjata nuklir, perubahan iklim, dan pengentasan kemiskinan. Berbeda dengan McCain yang memilih status quo, Obama secara tegas menghendaki penarikan mundur satu atau dua brigade per bulan. Seluruh pasukan AS, karenanya, dapat keluar dari Irak dalam waktu 16 bulan setelah pelantikannya. Berbeda dengan McCain yang enggan bertemu dengan Presiden Ahmadinejad, Obama siap bertemu kapan saja dengan pemimpin seluruh negara, baik yang menjadi kawan maupun lawan, tanpa prasyarat apa pun, termasuk tentunya dengan Iran dan Korea Utara.

Di Timur Tengah, Obama cenderung melanjutkan usaha menciptakan perdamaian yang telah dirintis sebelumnya oleh para pendahulunya. Mirip dengan visi McCain, Obama mengharapkan adanya peningkatan hubungan AS dengan negara-negara Asia. Alasannya sederhana, guna memastikan China mematuhi peraturan internasional yang ada. Di bidang keamanan, Obama mengatakan, ”The gravest danger to the American People is the threat of a terrorist attack with a nuclear weapon and the spread of nuclear weapons to dangerous regimes.” Persepsi ancaman ini dapat mendorong AS untuk menggairahkan kembali perundingan perlucutan senjata agar dapat mengawasi lalu lintas senjata nuklir secara cermat. Hal ini dapat dilakukan, misalnya, dengan memilih fissile material cut-off treaty (FMCT) sebagai lokomotif penggeraknya. Sementara itu, McCain menginginkan angkatan bersenjata AS perlu diperbesar, dimodernisasi, dan senantiasa dilengkapi senjata canggih.

Satu-satunya soal dalam visi kedua calon yang nyaris tidak ada bedanya adalah masalah perubahan iklim. Obama menegaskan, mengatasi perubahan iklim adalah satu tantangan moral terbesar generasi kini. Obama mengusulkan investasi sebesar 150 miliar dollar AS selama 10 tahun untuk mengembangkan biofuels dan pemanfaatan energi yang dapat diperbarui. Akan ditingkatkan efisiensi energi 50 persen pada 2030, di antaranya dengan program hibah pembangunan gedung hemat energi. Obama akan membentuk Forum Energi Global negara konsumen energi besar dunia guna menyelesaikan masalah lingkungan hidup. Setara dengan itu, McCain menegaskan menjamin kelangsungan udara dan air bersih, dan penggunaan lahan hijau yang berkesinambungan adalah tanggung jawab yang patriotik. Ia mendukung pengembangan teknologi batu bara bersih, penggunaan energi nuklir, dan pengeboran minyak di lepas pantai untuk mengurangi ketergantungan AS pada impor minyak. Siapa pun yang terpilih menjadi presiden AS akan lebih konstruktif pada masalah perubahan iklim ataupun Kyoto Protocol.

Obama memiliki komitmen yang teguh pada MDGs, khususnya pengentasan kemiskinan. Untuk maksud itu, pemerintahnya akan menyediakan 25 miliar dollar AS dalam tahun pertama dan pada tahun terakhir akan meningkatkan bantuannya menjadi 50 miliar dollar AS. Untuk membantu negara miskin yang memiliki utang luar negeri yang memberatkan, Obama akan membiayai sebesar 50 miliar dollar sampai tahun 2013.

Pemikiran-pemikiran polugri Obama di masa kampanye sedikit banyak mencerminkan perspektif Liberal yang menonjolkan rasa kemanusiaan dan HAM. Hal ini dimaklumi karena para ahli pendampingnya dalam merumuskan gagasan polugri, seperti Susan E Rice dari Brooking Institute, Anthony Lake, mantan Penasihat Keamanan Nasional; Richard Danzig, mantan Menteri Angkatan Laut AS; dan Gregory B Graig, mantan Direktur Perencanaan Kemlu AS, berasal dari kubu Liberal. Sebaliknya, visi polugri McCain banyak menganut mazhab konservatif yang bersikeras pada masalah pertahanan dan keamanan, khususnya terorisme. Orang-orang di belakang perumusan polugri McCain, seperti William Kristol, Robert Kagan, Richard Williamson, Peter W Rodman, James Woolsey (mantan Direktur CIA), dan Scheunemann, adalah penganut setia paham konservatif.

Meskipun demikian—melihat konstelasi politik internasional— siapa pun presiden baru AS, dalam praktiknya tidak akan bergeser dari dasar-dasar polugri AS saat ini. Tentunya ada beda nuansa, fokus, prioritas, gaya, dan implementasinya, tetapi isinya masih sama. AS akan terus melanjutkan usahanya mengatasi krisis keuangan dunia, terorisme, proliferasi senjata nuklir, perdagangan narkoba, dan menangkap Osama bin Laden. Terciptanya sistem perdagangan dunia berdasarkan free-trade, menjamurnya good governance dan pemerintahan yang bersih, serta penghormatan dan perlindungan HAM masih menjadi pilar polugri AS. Kedua calon pasti akan bereaksi keras pada masalah yang mengancam keamanan nasional AS.

Munculnya presiden baru AS perlu disambut Indonesia dengan tangan terbuka. Hal-hal yang telah dilakukan Indonesia belakangan ini seperti berbenah diri menciptakan demokrasi dan pembangunan, mengembangkan pemerintah yang bersih, menghadapi terorisme dengan gigih, langkah antikorupsi yang nyata dan perhatian memadai pada masalah kesehatan dan lingkungan hidup merupakan modal berharga bagi peningkatan hubungan bilateral Indonesia dengan AS di kemudian hari. Bagi pihak yang terlalu berharap akan adanya langkah spektakuler presiden baru dan perubahan drastis polugri AS akan kecewa. Karena, sistem polugri AS sudah mapan dan senantiasa ditandai adanya kelanggengan, stabilitas, dan pragmatisme.

Makarim Wibisono Mantan Duta Besar/Wakil Tetap RI di New York dan Geneva; Pengajar di Universitas Paramadina dan Universitas Atma Jaya

Tidak ada komentar: