Jumat, 31 Oktober 2008

Peristiwa Besar Sejarah Kulit Hitam AS


Jumat, 31 Oktober 2008 | 02:20 WIB

Warga kulit hitam di AS kini mencapai 12,8 persen dari 305,5 juta penduduk negara itu. Dengan 39,1 juta jiwa, warga kulit hitam menempati urutan ketiga dalam jumlah setelah warga kulit putih (80 persen) dan warga keturunan Hispanik (15,1 persen).

* Tahun 1619 Budak Afrika pertama tiba di Virginia, AS.

* Tahun 1787 Undang-Undang AS menyatakan bahwa Kongres AS tidak melarang perdagangan budak hingga 1808.

* Tahun 1793 Penemuan pertanian kapas meningkatkan permintaan budak di AS selatan. Fugitive Slave Act menuntut pengembalian budak pelarian, tetapi hal ini jarang diterapkan di AS utara.

* Tahun 1808 Impor budak dilarang.

* Tahun 1831-1861 Sekitar 75.000 budak lari ke Utara dengan kereta api dan bebas.

* Tahun 1831 Nat Turner memimpin pemberontakan budak di Virginia.

* Tahun 1850 Fugitive Slave Act direvisi menuntut pemulangan budak pelarian, memaksa pihak Utara memilih antara menerapkan perbudakan dan abolisi.

* Tahun 1857 Mahkamah Agung (MA) AS memutuskan kasus budak bernama Dred Scott yang menggugat kebebasan. Pengadilan menyatakan, budak-budak adalah milik pribadi dan tidak ada budak atau keturunannya yang berhak menjadi warga AS.

* Tahun 1861 Konfederasi dibentuk ketika wilayah Selatan menyerah. Perang Sipil dimulai.

* Tahun 1863 Presiden Lincoln mengeluarkan Proklamasi Emansipasi, menyatakan bahwa semua buruh di seluruh konfederasi dibebaskan.

* Tahun 1865 Perang Sipil berakhir. Presiden Abraham Lincoln dibunuh. Amandemen ke-13 melarang perbudakan.

* Tahun 1868 Amandemen ke-14 menjamin hak penuh para budak menjadi warga AS.

* Tahun 1870 Hak memilih diberi kepada pria kulit hitam.

* Tahun 1948 Presiden Harry Truman mengeluarkan peraturan yang menggugurkan segregasi di Angkatan Bersenjata AS.

* Tahun 1954 Keputusan MA menyatakan segregasi rasial di sekolah-sekolah adalah tindakan melanggar undang-undang.

* Tahun 1955 Rosa Parks, seorang wanita kulit hitam, menolak memberi kursinya di bus di mana tempat duduk juga dipisahkan dalam kejadian di Montgomery, Alabama. Penangkapan atas Parks memicu sebuah boikot dipimpin Martin Luther King. Boikot bertujuan membatalkan segregasi di dalam bus kota.

* Tahun 1963 Martin Luther King dipenjarakan karena melakukan protes untuk memperjuangkan hak-hak sipil di Birmingham, Alabama. King menyampaikan pidatonya yang terkenal, ”I Have a Dream”, di Washington.

* Tahun 1964 Presiden Lyndon B Johnson menandatangani Civil Rights Act. King meraih Hadiah Nobel Perdamaian.

* Tahun 1965 Pejuang hak-hak sipil Malcolm X dibunuh. Kongres AS meloloskan Voting Rights Act, yang memberi hak memilih kepada semua warga AS.

* Tahun 1968 Martin Luther King dibunuh di Memphis, Tennessee.(Mon/infoplease.com)

Lima Presiden AS Kulit Hitam


Jumat, 31 Oktober 2008 | 02:23 WIB

Oleh Simon Saragih

Hingga sekarang, apalagi masa dulu, isu ras, terutama antara kulit hitam dan kulit putih, merupakan isu politik. Bahkan, AS sebagai negara besar pernah dihebohkan dengan konflik SARA. Isu ini hampir selalu mewarnai pemilu AS, bahkan pemilu presiden.

Bahkan, ada masanya darah campuran seorang capres atau presiden AS juga dikutak-katik. Dalam perjalanan sejarah AS, ada beberapa presiden AS berdarah campuran kulit hitam.

Joel A Rogers dan Dr Auset Bakhufu pernah menulis sebuah buku yang menyebutkan setidaknya ada lima presiden kulit hitam di AS. Hal ini sebenarnya relatif masuk akal.

Soalnya jumlah pria Eropa yang bermigrasi ke AS dulu kala lebih banyak dari jumlah wanita yang melakukan hal serupa. Lagi pula, pada saat itu, tindakan memerkosa pria kulit putih atas perempuan kulit hitam bukanlah kriminal.

Andrew Jackson (presiden ketujuh periode tahun 1829-1837) adalah salah satu dari anak ”haram” itu. Sebagaimana ditulis di The Virginia Magazine of History Volume 29, Jackson adalah putra kulit putih perempuan asal Irlandia yang ”menikah” dengan seorang pria kulit hitam yang saat itu berstatus budak. Bahkan, salah satu saudara Jackson telah dijual sebagai budak di Carolina.

Joel Rogers mengatakan, Andrew Jackson Sr meninggal sebelum Presiden Andrew Jackson Jr (kemudian menjadi presiden AS) lahir. Namun, Jackson Senior meninggalkan seorang istri dari kulit putih. Rogers mengatakan, ibu presiden itu hidup di daerah pertanian Crawford, California.

Di daerah pertanian itu ada budak-budak kulit hitam dan salah satu budak itu adalah ayah Andrew Jr. Dengan kata lain, terjadi perselingkuhan antara seorang budak kulit hitam dan ibunya.

Thomas Jefferson, presiden ketiga AS (tahun 1801-1809), juga salah satu keturunan kulit hitam. Setidaknya berdasarkan buku yang ditulis Thomas Hazard tahun 1867 berjudul The Johnny Cake Papers.

Hazard mewawancarai seorang warga bernama Paris Gardiner, yang mengatakan pernah hadir pada salah satu masa kampanye presiden pada tahun 1796. Saat itu seorang lain yang juga hadir pada kampanye itu menyeletuk bahwa Thomas Jefferson adalah putra dari seorang ayah berdarah separuh Indian squaw (dari garis ibu) dan mulato Virginia (dari garis ayah).

Dalam bukunya, The Slave Children of Thomas Jefferson, Samuel Sloan juga menulis bahwa Jefferson menghancurkan semua berkas, potret, dan pengaruh pribadi ibunya, Jane Randolph Jefferson, ketika meninggal pada 31 Maret 1776.

Dia bahkan menulis surat ke setiap orang yang pernah menerima surat dari ibunya, meminta mereka mengembalikan surat itu. Sloan menulis, ”Ada sesuatu yang aneh, bahkan psikopatik, tentang perjalanan jauh Thomas Jefferson hanya untuk menghancurkan semua kenangan tentang ibunya untuk mengamankan 18.000 kopi surat-suratnya sendiri dan dokumen-dokumen lain untuk peruntungan pribadi. Seseorang harus bertanya, ’Apa yang coba dia sembunyikan?’” demikian isi salah satu buku Sloan.

Abraham Lincoln, presiden ke-16 (1861-1865) AS, juga berdarah non-putih. Rogers mengutip ibu Lincoln, yang mengatakan bahwa Abraham Lincoln adalah anak tak resmi seorang keturunan Afrika. William Herndon, rekan pengacara Lincoln, mengatakan bahwa Lincoln memiliki kulit agak gelap dan rambut melilit dan berdarah Etiopia.

Dalam buku Herndon berjudul The Hidden Lincoln disebutkan bahwa Abraham Lincoln adalah anak berdarah campuran kulit hitam. Para penantang Lincoln membuat kartun yang menggambarkannya sebagai seorang negro dengan nama julukan ”Abraham Africanus the First”.

Calvin Coolidge adalah presiden ke-30 AS, yang menggantikan Warren Harding. Coolidge dengan bangga mengakui ibunya berdarah Indian campuran. Akan tetapi, Dr Bakhufu mengatakan, pada tahun 1800 darah Indian di New England, AS, tidak lagi murni Indian karena sudah bercampur dengan kulit hitam. Nama panggilan ibunya Calvin Coolidge adalah ”Moor”. Di Eropa panggilan ”Moor” diberikan pada semua kulit hitam sama seperti kata Negro yang dipakai di AS.

Pengakuan Coolidge ini merupakan kebalikan dari sikap pendahulunya, Harding. Contoh terakhir yang menyebutkan Harding berkulit hitam adalah bukunya Marsha Stewart berjudul Warren Harding U. S. President 29: Death by Blackness (2005). Stewart adalah seorang kulit hitam yang menyatakan diri sebagai saudara jauh Presiden Harding. Tahun 1920 Harding meluncurkan kampanye besar yang menekankan masa kecilnya di Ohio dengan latar belakang kota kecil.

Hampir semua presiden tersebut beruntung terlahir dengan bawahan fisik berkulit putih dan tak pernah mengakui memiliki darah campuran kulit hitam.

Kemenangan Obama Bagus bagi Indonesia?


Jumat, 31 Oktober 2008 | 02:26 WIB

Oleh Bara Hasibuan

Pemilihan Presiden Amerika Serikat kali ini dinantikan dengan antusiasme tinggi oleh banyak kalangan di Indonesia. Antusiasme itu sangat beralasan. Belum pernah terjadi sebelumnya seseorang yang memiliki hubungan historis yang begitu kuat dengan Indonesia menjadi kandidat salah satu partai dan bahkan mempunyai kans yang sangat besar untuk menang.

Banyak kalangan di Indonesia juga menyimpulkan bahwa jika Barack Obama benar-benar terpilih menjadi Presiden AS, secara otomatis hubungan bilateral Indonesia dan AS akan berubah secara dramatis, dalam arti lebih dekat dan menguntungkan Indonesia.

Namun, betulkan begitu? Apakah hanya karena Obama pernah tinggal di Indonesia selama beberapa tahun semasa kecilnya, maka sebagai presiden, ia akan memberikan perhatian ekstra terhadap Indonesia? Satu hal yang pasti, kebijakan luar negeri bukan ditentukan oleh romantisme, melainkan prioritas dan kepentingan strategis.

Masalahnya kita tidak bisa menduga sampai seberapa strategis Indonesia bagi Obama karena Indonesia sebagai isu tidak pernah sekali pun disinggung selama masa kampanye, baik itu di dalam debat maupun pidato. Di dalam sebuah pidato kebijakan luar negeri yang paling komprehensif yang disampaikan Obama tahun lalu di Chicago, Indonesia hanya disinggung satu kali dan itu pun bukan di dalam konteks kepentingan strategis AS.

Rencana kebijakan luar negeri Obama, seperti yang tercantum di dalam situs web kampanyenya, hanya menyatakan bahwa ia akan seek new partnerships in Asia (mencari kerja sama-kerja sama baru di Asia) tanpa menyebutkan secara spesifik negara-negara mana saja di Asia yang akan diberikan prioritas baru.

Satu-satunya referensi serius yang Obama pernah kemukakan mengenai Indonesia adalah dalam konteks masa kecilnya yang ia pernah habiskan di negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Hal itu memberikannya perspektif yang paling unik dibandingkan dengan kandidat-kandidat lainnya untuk menghadapi salah satu tantangan utama yang akan dihadapi oleh Presiden AS nantinya, yaitu memperbaiki citra AS di dunia Muslim.

Kalau proses kampanye tidak dapat dijadikan ukuran bagaimana seorang kandidat memandang satu isu tertentu, cara lain yang bisa dilakukan adalah melihat rekor kandidat tersebut selama karier politiknya, yang dalam konteks Obama adalah posisinya sebagai senator. Sayangnya, itu juga tidak mudah untuk menyimpulkan nilai strategis Obama bagi Indonesia.

Tidak banyak orang di Indonesia—atau bahkan di AS—yang sadar bahwa Obama sebetulnya duduk di Subkomisi Asia Timur dan Pasifik di Komisi Hubungan Internasional Senat, subkomisi yang mengover isu-isu Indonesia. (Di Kongres AS setiap komisi dibagi lagi menjadi subkomisi berdasarkan isu-isu spesifik dan setiap senator/anggota kongres duduk di lebih dari satu komisi). Namun, walaupun begitu, Obama selama ini tidak dikenal sebagai senator yang mengangkat isu Indonesia.

Betul, walaupun kalau berbicara soal prioritas atas Asia di Kongres AS, isu Indonesia kalah dibandingkan dengan China, Korea Utara, Afganistan, India, dan Jepang. Ada beberapa senator dan congressmen (anggota House of Representatives-DPR) yang dikenal sering mengangkat isu Indonesia, apakah itu dalam arti kritis ataupun supportive. Sebut saja Senator Kit Bond, Senator Patrick Leahy, congressman Eni Faleomavaega dan congressman Robert Wexler.

Tidak jelas kenapa Obama tidak pernah menggunakan keanggotannya di SubKomisi Asia Pasifik untuk mengangkat isu-isu Indonesia. Dengan ikatan historis sebesar itu, Obama seharusnya bisa memosisikan dirinya sebagai sekutu Indonesia di Kongres. Satu hal yang mungkin, dari awal kariernya sebagai Senator—yang ia mulai Januari 2005—Obama sudah mulai memikirkan kemungkinan untuk maju sebagai calon presiden pada pemilihan tahun 2008 sehingga ia tidak ingin terlalu diasosiasikan dengan Indonesia. Atau, yang lebih mungkin, bagi Obama, Indonesia tidak memiliki nilai strategis dibandingkan dengan prioritas kebijakan luar negeri lainnya.

Memang dapat dipastikan siapa pun yang memerintah AS nantinya—Obama sekalipun— prioritas kebijakan luar negeri AS pada umumnya tidak akan berubah. AS tetap akan terkonsumsi pada isu-isu yang selama ini menyedot perhatian pemerintahan Bush, seperti situasi di Irak, masalah program nuklir Iran, penyelesaian konflik Israel-Palestina, terorisme global, isu keamanan energi, serta makin agresifnya Rusia sebagai kekuatan ekonomi dan militer.

Secara gaya dan pendekatan betul akan terdapat perbedaan fundamental kalau Obama yang menang, di mana prinsip multilateral lebih ditekankan. Namun, secara prioritas tidak akan ada perubahan dramatis.

Secara spesifik mengenai Asia, kebijakan luar negeri AS nantinya akan tetap pula didominasi isu- isu klasik, seperti berkembangnya China sebagai sebuah kekuatan ekonomi dan militer, penyelesaian isu program nuklir Korea Utara, instabilitas di Pakistan dan Afganistan, serta berkembangnya India sebagai kekuatan ekonomi. AS juga tetap akan mempertahankan hubungan dengan sekutu-sekutu tradisionalnya di Asia Pasifik, yaitu Jepang, Korea Selatan, dan Australia.

Kongres

Faktor lain yang harus diperhatikan adalah Kongres, institusi yang juga memiliki otoritas dan peran penting di dalam menentukan arah kebijakan luar negeri AS melalui apa yang sering disebut sebagai power of the purse (kekuatan dompet) atau diartikan dengan kekuatan melalui fungsi budgetingnya. Sering sekali Kongres mengeblok suatu alokasi dana atas program atau bantuan untuk negara tertentu, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu atas program IMET untuk Indonesia. Dalam memberikan persetujuan terhadap alokasi dana, Kongres juga selalu mencantumkan kondisi-kondisi yang menyebabkan ruang gerak pihak eksekutif di dalam memainkan politik luar negeri sering terbatas.

Setelah pemilihan tahun 2008 nanti. hampir pasti Kongres tetap akan dikuasai oleh Partai Demokrat (bahkan dengan jumlah kursi yang lebih banyak). Itu berarti isu-isu seperti hak asasi manusia, peran militer dan buruh, yang selama ini sering mengganjal hubungan bilateral AS dan Indonesia, mungkin akan tetap muncul.

Betul salah satu yang membuat rakyat AS tertarik dengan Obama adalah bahwa, sebagai presiden, ia akan mempunyai kemampuan untuk memobilisasi dukungan dari Kongres, tidak hanya dari anggota-anggota Partai Demokrat, tetapi juga Partai Republik. (Satu hal yang membuat rakyat Amerika muak dengan para politisi di Washington adalah dominannya semangat partisan sempit di proses politik sehingga sering terjadi gridlock atau kemacetan). Namun, belum bisa dipastikan apakah sebagai presiden, Obama akan mampu untuk mengubah posisi anggota-anggota partainya sendiri atas isu-isu yang secara tradisional melekat pada mereka. Tidak dapat dipastikan apakah Obama bersedia untuk memengaruhi anggota Partai Demokrat atas isu yang bukan merupakan prioritas pemerintahannya.

Yang juga penting untuk dicatat, secara ideologis Obama adalah seorang liberal. Bahkan, ia dinobatkan sebagai senator yang paling liberal pada tahun 2007 oleh majalah National Journal. Dengan begitu, secara prinsipil dan insting kemungkinan akan sulit baginya untuk tidak mengacuhkan isu-isu seperti hak asasi manusia dan buruh.

Selama masa kampanye pun, terutama selama proses nominasi Partai Demokrat, Obama beberapa kali mengeluarkan statemen bahwa sebagai presiden, ia akan mencantumkan isu-isu buruh dan hak asasi manusia sebagai kondisi penting dalam menyusun perjanjian perdagangan bebas dengan negara lain. Ia juga pernah mengkritik tajam berbagai perjanjian perdagangan bebas yang sudah ditandatangani AS, termasuk yang paling penting Area Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) karena kurang memerhatikan isu-isu buruh. Bahkan, ia juga pernah menyatakan, jika terpilih sebagai presiden, ia akan melakukan review atas berbagai perjanjian perdagangan bebas AS yang tidak memerhatikan isu-isu buruh.

Prospek kemenangan Obama

Meskipun demikian, prospek terpilihnya Obama akan tetap merupakan sesuatu yang menggairahkan. Dibandingkan dengan calon dari Partai Republik, John McCain, tidak dapat dibantah Obama-lah yang paling dapat memperbaiki image global AS secara cepat. Ia mempunyai aset yang sangat dahsyat, yaitu latar belakang dan wajahnya. Aset inilah yang merupakan manifestasi dari the new America yang plural dan berdasarkan prinsip siapa pun dengan latar belakang apa pun punya kesempatan untuk maju.

Aset inilah yang juga dapat direpresentasikan soft power AS untuk menghadapi tantangan terbesar yang akan menghadapi pemerintahan AS baru nanti, yaitu bagaimana memenangkan hati dan pikiran banyak pihak di dunia, termasuk di Indonesia, yang selama ini teralienasi oleh berbagai kebijakan kontroversial pemerintahan Bush.

Bayangkan efek yang dapat diciptakan atas citra AS ketika Obama sebagai presiden datang ke Indonesia dan mengunjungi bekas sekolahnya di Menteng. Namun, adalah sesuatu ilusi kalau itu semua akan secara otomatis membawa hubungan AS-Indonesia ke level yang baru, dalam arti lebih menguntungkan Indonesia. Untuk dapat memanfaatkan kemenangan Obama sebagai dasar untuk meningkatkan hubungan AS-Indonesia, tidak semata-mata tergantung dari pihak AS, tetapi kita di Indonesia juga.

Bara Hasibuan Congressional Fellow 2002-2003

JAJAK PENDAPAT KOMPAS


Harapan di Balik Obama
Jumat, 31 Oktober 2008 | 02:29 WIB

Model kebijakan yang dipandang lebih moderat, tetapi meyakinkan, menjadi salah satu daya tarik utama ketertarikan publik Indonesia terhadap Barack Obama. Sementara terhadap John McCain, senioritas adalah modal menjadi presiden yang paling berarti.

Kedua model preferensi publik tersebut merupakan gambaran tingkat kesukaan publik Indonesia terhadap dua calon presiden Amerika Serikat, Barack Obama dan John McCain, yang akan bertarung dalam pemilu, 4 November mendatang.

Secara keseluruhan kategori, publik tampaknya jauh lebih mengunggulkan Barack Obama menjadi presiden AS ketimbang pesaingnya, John McCain. Proporsi publik yang menyukai Obama menjadi presiden AS mencapai hampir sepuluh kali lipat daripada yang menyukai McCain (72,5 persen banding 7,7 persen).

Publik tampaknya tidak terlalu kesulitan menjatuhkan preferensi penilaian tokoh mana yang diunggulkan bakal menjadi presiden Amerika. Meskipun tidak mengetahui secara langsung, sebagian besar publik ternyata mengikuti atau paling tidak mengetahui terjadinya proses pemilihan presiden Amerika Serikat dan nuansa-nuansa politiknya.

Hiruk-pikuk proses pemilihan presiden AS di media massa diakui menjadi salah satu pemberitaan yang cukup memikat bagi publik Indonesia. Hampir seluruh responden (90,1 persen) dari total 848 orang menyatakan mengikuti pemberitaan tentang pemilu AS meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda melalui berbagai media.

Alasan di balik kesukaan publik terhadap Obama tampaknya lebih variatif, tersebar kepada berbagai aspek. Empati publik kepada Obama tersebar, mulai dari faktor politik (rencana kebijakan), individu (kepandaian, karisma, usia), hingga soal historis (pernah tinggal di Indonesia). (lihat tabel)

Ada beberapa jawaban responden yang bersifat primordial sebagai alasan menyukai Obama, seperti soal warna kulit, agama, dan aspek minoritas, tetapi jumlahnya tidak signifikan.

Kondisi sebaliknya, keunggulan McCain di mata publik lebih terpusat kepada faktor kinerja dan individu, seperti soal senioritas dan ketegasan dalam bersikap. Relatif terpusatnya preferensi jawaban publik kepada McCain agaknya juga terpengaruh oleh sedikitnya jumlah responden yang menyukai sosok tersebut menjadi presiden AS.

Citra ”superpower”

Terlepas dari penilaian publik terhadap pola kebijakan luar negeri Indonesia (yang dinilai belum ideal), tingginya proporsi ”keberpihakan” dan harapan publik kepada Barack Obama tidak lepas dari citra politik luar negeri Amerika Serikat.

Hal apa yang sebenarnya diinginkan publik dengan terpilihnya Barack Obama ketimbang McCain tak lepas dari harapan perbaikan kondisi hubungan antara Indonesia dan Amerika dan Amerika dengan politik luar negerinya.

Jika dirunut dengan jajak pendapat sebelumnya, bulan November 2006 (saat kedatangan Presiden George Bush), benang merah empati publik kepada Barack Obama tampak menjadi lebih jelas.

Pada satu segi, terlihat pandangan publik bahwa negara Amerika Serikat adalah negara adidaya yang mau tak mau harus ”diakomodasi” oleh negara mana pun, termasuk Indonesia, sekalipun ”akomodasi” itu tidak dikehendaki. Pandangan semacam ini belum banyak bergeser di mata publik.

Suka atau tidak suka, kebijakan luar negeri Amerika, seperti invasi ke Irak, Afganistan, hingga langkah kecil seperti kunjungan George Bush dengan mendarat di tengah kebun raya Bogor, tetap ”harus” bisa dilaksanakan di tengah hujatan berbagai pihak.

Wajar jika hubungan Indonesia-Amerika saat ini lebih banyak dimaknai publik sebagai bentuk subordinasi ketimbang kesetaraan kekuatan negara yang sama-sama berdaulat.

Bagi publik Indonesia, saat ini pun sebagian besar (64,7-77,9 persen) responden mengaku jika mendengar nama Amerika Serikat, yang pertama terbayang adalah negara adidaya, superpower, bahkan ”polisi” dunia. Nyaris tak ada responden yang mengasosiasikan negara itu kata ”demokrasi”, ”kemanusiaan”, ataupun ”pendidikan”.

Dari jajak pendapat tahun 2006 tergambar dalam persoalan politik, ekonomi, militer, iptek, bahkan kesehatan diyakini oleh lebih dari tiga perempat responden jajak pendapat sebelumnya belum mampu melepaskan ketergantungan dari Amerika. Untunglah kepercayaan diri tampaknya meningkat dalam hasil jajak pendapat kali ini untuk lepas dari ketergantungan kepada Amerika.

Dengan konteks semacam itu, tidak mengherankan jika di mata publik citra negara Amerika Serikat masih dipandang buruk. Lebih dari separuh responden jajak pendapat kali ini menilai citranya buruk, meskipun jumlahnya agak menurun daripada penilaian tahun 2006 yang dinyatakan 65,6 persen responden.

Seandainya Barack Obama benar-benar terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, ada harapan yang besar bagi publik bahwa Amerika akan berubah paling tidak dalam kebijakan luar negerinya. Harapan itu, yang merupakan harapan bagian terbesar publik, mudah-mudahan tidak hanya jadi harapan kosong, kembali jadi warga negara ”bawahan”. (Toto Suryaningtyas/ Litbang Kompas)

Pemilu Sarat Makna


Jumat, 31 Oktober 2008 | 02:30 WIB

Bisa saja orang berargumentasi, Amerika Serikat sudah merdeka sejak tahun 1776. Indonesia baru saja merdeka tahun 1945. Kalau mau dicari-cari lagi, Amerika Serikat dijajah oleh Inggris, sedangkan Indonesia dijajah oleh Belanda dan sempat diduduki oleh Jepang selama tiga setengah tahun.

Argumentasi ini masuk akal mengemuka, saat menyinggung bagaimana pesta demokrasi pemilu presiden dan legislatif AS bisa berjalan begitu bernas, bermakna, bermutu tanpa ada benturan fisik. Padahal, sempat muncul isu agama, isu warna kulit, dan berbagai kampanye negatif lainnya. Di Indonesia, pemandangan seperti ini sebuah hal langka. Pemilihan kepala desa di beberapa tempat berakhir dengan perusakan harta benda, bahkan sampai pembunuhan antara pendukung.

Pertarungan Barack Obama, calon presiden AS dari Partai Demokrat, membuat pesta demokrasi di AS setiap empat tahunan ini menjadi lebih lain. Obama adalah pria berkulit hitam karena berdarah Kenya dari ayah. Pertama kali seorang calon presiden dari partai besar berasal dari warga kulit hitam AS yang hanya 12,8 persen dari 305 juta warga AS. Sangat minoritas dibanding 80 persen warga kulit putih.

Namun, Obama tampil memukau. Pintar, dengan gaya bicara yang hebat, Obama bisa menjelaskan begitu gamblang dan sederhana, bagaimana dia menghadapi kasus di Irak dan Afganistan, krisis ekonomi, pajak, dan berbagai program perbaikan kesehatan di dalam negeri.

Para pemilih AS pun tidak lagi melihat Obama yang berkulit hitam. Juga tidak lagi sibuk mengurusi tuduhan berkaitan dengan ayahnya yang Muslim dari Kenya. Juga tidak ambil peduli bahwa Obama semasa kecil pernah tinggal di Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.

Memilih seorang pemimpin seharusnya memang hanya melihat bagaimana kehebatan dan kepintarannya dalam menangani masalah-masalah pelik yang ada. Memilih seorang pemimpin juga harus erat dikaitkan dengan karakter, sepak terjang, dan komitmen, serta integritasnya.

Kehadiran Obama membuat banyak pemilih AS merasa menemukan pemimpin yang membuat mereka bangga. Membuat mereka yakin masalah mereka akan segera bisa diatasi, sedikit banyak segera bisa berkurang. Warna kulit bukan lagi persoalan rumit.

Obama berhasil menggeser Hillary Clinton dari pertarungan menjadi calon presiden dari Partai Demokrat. Sejauh ini, Obama juga unggul dalam jajak pendapat dalam pertarungannya menghadapi John McCain dari Partai Republik untuk mencapai Gedung Putih pada 4 November nanti.

Hillary adalah mantan first lady saat Presiden Bill Clinton. Perempuan hebat dengan pengalaman segudang. McCain adalah senator, veteran Perang Vietnam yang mendapat respek dalam masyarakat AS. Tetapi, Obama menjadi pilihan Konvensi Partai Demokrat karena integritas, kehebatan dan kepintarannya.

Pemilu presiden AS kali ini jelas sarat makna dan pesan bagi berbagai pesta demokrasi di Indonesia. Sudah saatnya setiap calon entah calon presiden, gubernur, bupati atau anggota legislatif mulai mempertimbangkan integritas, kemampuannya dalam mengatasi masalah yang ada. Tidak ada lagi isu-isu sempit yang cenderung memecah-belah dan mengundang benturan dijadikan topik kampanye.

Kalimat bijak mengatakan, orang dengan kemampuan dangkal, frustrasi, yang banyak mengutamakan isu-isu sempit, berbeda dengan orang yang pintar, integritas hebat, yang tahu duduk masalah dan bagaimana mengatasinya.

Pemilu presiden AS, terutama dengan penampilan Obama yang cerdas, pintar, bisa menjadi pemicu bagi perbaikan para peserta pesta demokrasi di Indonesia. (ppg)

Mengapa pada Selasa, 4 November 2008?


Jumat, 31 Oktober 2008 | 02:32 WIB

Oleh Simon Saragih

Hari Selasa setelah Senin pertama pada bulan November selalu menjadi hari pemilu presiden AS. Hari Selasa setelah Senin pertama tahun 2008 jatuh pada tanggal 4 November.

Awal penentuan soal hari Selasa ini diputuskan pada tahun 1845. Kemudian pada tahun 1875, hari Selasa juga sekaligus diputuskan sebagai hari pemilihan DPR AS. Pada tahun 1914, hari Selasa juga ditetapkan pemilu Senat AS.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa pemilu dilakukan pada awal November? Pada awalnya, komposisi warga AS didominasi para petani. Karena itu, politisi AS menilai bahwa bulan November adalah bulan paling senggang bagi para petani untuk beramai-ramai memberikan suara.

Waktu senggang ini perlu agar para petani memiliki masa santai berjalan dari pelosok pedesaan ke sentra-sentra pemilu. Masalah, bulan November adalah bulan di mana masa panenan sudah usai, atau masa musim gugur yang ditandai dengan musim panen sudah usai.

Masa tanam terjadi pada musim semi dan musim panas adalah masa mengelola tanaman, menyiangi dan memupuki, serta seterusnya. Nah, masa musim gugur, cuaca masih dianggap bersahabat bagi warga bepergian menuju kotak-kotak pemilu yang dulunya harus melalui jalanan rusak dan becek.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa harinya jatuh di setiap hari Selasa itu. Dulu kala, warga AS harus menempuh jarak yang relatif jauh untuk memilih. Hari Senin dianggap kurang tepat karena warga harus mulai berangkat untuk memilih sejak hari Minggu. Padahal, hari Minggu adalah saat berbakti di gereja-gereja.

Ada juga alasan lain mengapa pemilu selalu dilakukan hari Selasa setelah Senin pertama. Politisi AS ingin menghindari agar hari pemilu tidak jatuh pada tanggal 1 November. Ada dua alasan untuk ini.

Pertama, setiap 1 November adalah Hari Semua Orang Kudus (All Saints Day), hari libur bagi pemeluk Katolik. Jadi, jika 1 November jatuh pada hari Selasa, maka pemilu tidak akan dilakukan karena hari Selasa pada tanggal ini bukanlah hari Selasa setelah hari Senin pertama di bulan November.

Alasan kedua, hampir semua pedagang umumnya sibuk melihat rekening pembukuan setiap tanggal 1 setiap bulannya. Politisi AS khawatir bahwa sukses atau kegagalan bisnis pada bulan sebelumnya akan memengaruhi pilihan para pedagang.

Hayden Ajak Anak Muda Memilih


Jumat, 31 Oktober 2008 | 08:58 WIB

Menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat, bukan hanya kandidat presiden Barack Obama (Partai Demokrat) dan John McCain (Partai Republik) yang gencar melemparkan jurus-jurus pamungkas dalam kampanye. Bintang-bintang Hollywood juga ikut sibuk kampanye mengajak warga AS untuk memberikan suaranya. Seperti yang dilakukan Hayden Panettiere (19) di American University, Washington, Minggu (26/10).

Aula kampus penuh sesak mahasiswa, dosen, dan pegawai lain yang terlihat antusias mendengarkan ”pidato” pemeran tokoh Claire dalam film serial TV Heroes itu. ”Hari ini saya akan bicara tentang pemungutan suara,” kata Hayden di depan ratusan penggemarnya yang mayoritas anak-anak muda.

Dengan bersemangat, Hayden mengajak anak-anak muda untuk ikut pemilu. Ia mengaku dirinya sudah tidak sabar menunggu hari pemilihan tiba. ”Ini pertama kalinya saya ikut pemilu. Saya harap anak-anak muda—terutama pemilih pemula—juga bersemangat ikut pemilu seperti saya,” ujarnya sambil tersenyum.

Peran selebriti dalam pemilu, menurut Hayden, sangat penting, bahkan bisa berperan menjadi semacam humas atau iklan berjalan tentang pemilu karena selebriti akan bisa menarik minat masyarakat dan menjadi contoh.

Ketika ditanya BBC mengenai banyaknya pendapat yang menyatakan selebriti lebih baik tidak ikut campur dalam politik, Hayden dengan tegas membantah. ”Kami memang selebriti, tetapi bukan berarti kami bodoh atau tidak tahu apa yang kami bicarakan. Menjadi selebriti bukan berarti kami tidak belajar seperti orang lain,” ujarnya tegas.

Salah seorang mahasiswa yang mengikuti kampanye sekaligus penggemar berat Hayden, Shelby Logel (18), merasa yakin selebriti akan bisa lebih berpengaruh daripada politikus yang cenderung lebih serius dan membosankan. ”Cara selebriti berpromosi itu lebih enak daripada politikus,” ujarnya. (BBC/LUK)

AMERICANA


Jumat, 31 Oktober 2008 | 02:33 WIB

Lindsay Lohan Versus Sarah Palin

Menyusul jejak Oprah Winfrey, Barbra Streisand, Steven Spielberg, dan Leonardo DiCaprio, bintang muda Hollywood Lindsay Lohan (22) menyatakan dirinya sebagai pendukung setia kandidat presiden AS Barack Obama (Partai Demokrat), awal September lalu. Lohan—tanpa diminta—ikut sibuk membantu kampanye dengan mendorong kepada anak-anak muda pemilih pemula untuk mendukung Obama.

Bahkan, saking nge-fans dengan Obama, Lohan kerap menunjukkan ketidaksenangannya kepada kandidat wakil presiden AS, Sarah Palin (Partai Republik). Lohan menumpahkan kekesalan kepada Palin—terkait isu hak kaum gay—dalam halaman blog MySpace miliknya.

”Saya benar-benar mati rasa setiap kali bicara tentang Sarah Palin. Apakah negeri kita ini sudah sangat terpecah belah sampai-sampai Republik memilih calon andalan yang memiliki pikiran sempit dan haus sorotan media,” tulis Lohan yang geregetan dengan artikel dari kantor berita Associated Press yang memaparkan rencana gereja Palin mengubah kaum gay menjadi heteroseksual.

Pernyataan keras Lohan terhadap Palin ini rupanya mengganggu kubu Obama. Menurut harian Daily News, tim kampanye Obama menilai Lohan tidak bisa menjadi figur publik menguntungkan bagi Obama. Pasalnya, Lohan pernah ditangkap polisi karena mabuk dan menyimpan obat-obatan terlarang. (LUK)

Hayden Ajak Anak Muda Memilih

Menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat, bukan hanya kandidat presiden Barack Obama (Partai Demokrat) dan John McCain (Partai Republik) yang gencar melemparkan jurus-jurus pamungkas dalam kampanye. Bintang-bintang Hollywood juga ikut sibuk kampanye mengajak warga AS untuk memberikan suaranya. Seperti yang dilakukan Hayden Panettiere (19) di American University, Washington, Minggu (26/10).

Aula kampus penuh sesak mahasiswa, dosen, dan pegawai lain yang terlihat antusias mendengarkan ”pidato” pemeran tokoh Claire dalam film serial TV Heroes itu. ”Hari ini saya akan bicara tentang pemungutan suara,” kata Hayden di depan ratusan penggemarnya yang mayoritas anak-anak muda.

Dengan bersemangat, Hayden mengajak anak-anak muda untuk ikut pemilu. Ia mengaku dirinya sudah tidak sabar menunggu hari pemilihan tiba. ”Ini pertama kalinya saya ikut pemilu. Saya harap anak-anak muda—terutama pemilih pemula—juga bersemangat ikut pemilu seperti saya,” ujarnya sambil tersenyum.

Peran selebriti dalam pemilu, menurut Hayden, sangat penting, bahkan bisa berperan menjadi semacam humas atau iklan berjalan tentang pemilu karena selebriti akan bisa menarik minat masyarakat dan menjadi contoh.

Ketika ditanya BBC mengenai banyaknya pendapat yang menyatakan selebriti lebih baik tidak ikut campur dalam politik, Hayden dengan tegas membantah. ”Kami memang selebriti, tetapi bukan berarti kami bodoh atau tidak tahu apa yang kami bicarakan. Menjadi selebriti bukan berarti kami tidak belajar seperti orang lain,” ujarnya tegas.

Salah seorang mahasiswa yang mengikuti kampanye sekaligus penggemar berat Hayden, Shelby Logel (18), merasa yakin selebriti akan bisa lebih berpengaruh daripada politikus yang cenderung lebih serius dan membosankan. ”Cara selebriti berpromosi itu lebih enak daripada politikus,” ujarnya. (BBC/LUK)