Jumat, 14 November 2008

’Sinyo’ Hitam di Gedung Putih


MATAHARI terbit kembali di Amerika. Setidaknya itulah yang dirasakan para pendukung Barack Obama setelah mendengar kemenangan kandidat Partai Demokrat itu dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat pekan lalu. Maklum, mereka merasa kepemimpinan George Walker Bush selama delapan tahun terakhir ini telah membawa negaranya ke dalam malam yang pekat. Amerika menginvasi Afganistan dan Irak, memenjarakan ribuan orang tanpa pengadilan di Guantanamo, dan menerbitkan undang-undang antiteroris yang represif.

Mulanya adalah serangan teroris ke menara kembar di New York, 11 September 2001. Belum lagi asap menghilang dari reruntuhan bangunan, suara marah dan semangat dendam keras berkumandang dari Gedung Putih. Perang terhadap teroris digelindingkan ke seluruh penjuru bumi dan dunia dipaksa memilih: ikut Washington atau akan dianggap sebagai lawan. Simpati dunia yang sempat membanjir begitu gedung World Trade Center roboh pun pelan-pelan berubah menjadi kekesalan. Popularitas Amerika melorot dan kaum antidemokrasi di seluruh bumi berteriak lantang: demokrasi telah gagal!

Kini rakyat Amerika membuktikan betapa kelirunya pernyataan itu. Di negara demokrasi, pengendali kekuasaan yang dianggap salah dapat diganti dalam sebuah proses yang damai. Tak cuma tanpa kekerasan, tapi juga dapat berlangsung seru, menegangkan, dan amat inspiratif. Bagaimana tidak, seorang anak yang ayahnya beragama Islam dan berasal dari Kenya, yang sempat dibesarkan di Menteng Dalam, Jakarta, dapat terpilih menjadi orang nomor satu di negara terkuat di dunia. Kejadian ini membuktikan bahwa Amerika tetaplah sebuah tanah bebas, tempat mimpi mungkin dikejar dan diwujudkan.

Paling tidak mimpi Dr Martin Luther King yang tewas ditembak 41 tahun silam kini menjadi kenyataan. Pejuang persamaan hak bagi kulit berwarna ini dibunuh karena mimpinya mengganggu kenyamanan kelompok masyarakat negaranya yang rasis. Rasisme yang menyebabkan hukum Virginia mengkriminalkan perkawinan berbeda warna kulit hingga Mahkamah Agung menyatakan hukum ini melanggar konstitusi pada 1967. Rasisme yang kini kelihatannya tinggal menjadi reruntuhan sejarah. Buktinya, Barack Obama juga menang suara di negara bagian yang pernah memimpin pemberontakan bersenjata terhadap Washington karena menolak kebijakan Presiden Abraham Lincoln menghapus perbudakan ini.

Amerika rupanya sedang berubah drastis. Perubahan yang tak terelakkan karena sistem yang berjalan selama ini ternyata membuahkan tiga krisis besar: perang di dua negara, krisis keuangan, dan guncangan perubahan iklim bumi. Obama menjanjikan untuk menyelesaikan perang, mengatasi krisis ekonomi, dan menanggulangi masalah lingkungan global ini melalui aliansi dengan negara-negara lain, tak lagi menempuh jalan Presiden Bush yang gemar melakukan kebijakan unilateral.

Pilihan Obama ini perlu kita sambut dengan tangan terbuka. Kemenangan pria yang pernah bersekolah di sekolah dasar negeri di Indonesia ini menunjukkan rakyat Amerika memilih sikap terbuka dan rendah hati dalam menghadapi tantangan masa depan. Sebuah pilihan yang tak mudah karena biasanya dorongan untuk menutup diri dan bercuriga kepada pihak asing amat terasa di saat krisis sedang melanda. Ini jelas menunjukkan bahwa rakyat banyak lebih cerdas ketimbang anggapan mencibir yang kerap disuarakan segelintir kelompok elite terdidik.

Buktinya, lebih dari tiga juta warga memberi sumbangan semampu mereka kepada Obama sehingga ketergantungan alumnus Universitas Harvard ini pada sumbangan konglomerat, yang biasanya merupakan penyumbang utama kandidat pertarungan politik, tak terbentuk. Jutaan orang yang biasanya kurang peduli untuk memilih pun kali ini rela antre berjam-jam untuk menggunakan hak suara mereka. Mereka ingin Amerika kembali pada khitahnya: sebuah pemerintahan yang dibentuk untuk kepentingan rakyat, oleh rakyat.

Keyakinan warga Amerika atas sistem demokrasi ini mudah-mudahan menjadi inspirasi bagi warga dunia, terutama rakyat Indonesia. Kita seolah diingatkan kembali bahwa prinsip dasar sistem demokrasi adalah kepercayaan bahwa rakyat yang bebas itu menghasilkan pemikiran kolektif yang cerdas. Bahwa hanya dalam kondisi setiap warga bebas mengutarakan pendapat dan ekspresi, pasar bebas politik akan menghasilkan gagasan terbaik untuk menghadapi tantangan bangsa. Justru tugas negara adalah memastikan bahwa pasar bebas gagasan ini terjaga dari intervensi kelompok yang gemar memaksakan aspirasi mereka dengan kekuatan nonkon-stitusional.

Keberhasilan Amerika dan banyak negara maju lainnya dalam menyejahterakan bangsa mereka adalah bukti empiris ampuhnya sistem demokrasi. Sejarah menunjukkan banyak bangsa yang sempat jaya di masa lalu akhirnya menjadi merana karena ketidakmampuan rezim penguasanya menghadapi perubahan zaman. Sebaliknya, sistem demokrasi yang merawat kebinekaannya seperti di banyak negara maju saat ini terbukti mempunyai kemampuan untuk selalu mengadaptasi diri menghadapi berubahnya zaman. Soalnya, bangsa yang demokratis selalu dapat mengganti pemimpinnya secara damai dan teratur agar selalu sesuai dengan tantangan yang baru.

Barack Obama dan Kekuasaan Amerika


Joseph S. Nye

  • Guru besar Harvard Kennedy School of Government dan bekas Asisten Menteri Pertahanan Amerika Serikat.

    DARI sejumlah tantangan awal yang dihadapi Presiden Barack Obama,

    krisis finansial adalah yang utama. Krisis ini telah melahirkan keraguan akan kekuatan Amerika Serikat di masa depan. Far Eastern Economic Review menulis, gejolak di Wall Street menimbulkan pergeseran tektonis global: awal keruntuhan kekuasaan Amerika. Presiden Rusia Dmitri Medvedev melihat krisis ini sebagai tanda pungkasnya kepemimpinan global Amerika. Presiden Venezuela Hugo Chavez menyatakan kini Beijing jauh lebih relevan ketimbang New York.

    Dolar—simbol kekuasaan keuangan Amerika—sejatinya menguat sebagaimana disampaikan Kenneth Rogoff. Guru besar ekonomi Harvard dan mantan ekonom Dana Moneter Internasional (IMF) ini menyatakan, ”Ironis bahwa ketika ekonomi kita centang-perenang, banyak orang asing ingin menyetorkan uang mereka ke negara kita. Mereka bingung hendak ke mana. Mereka lebih percaya pada kemampuan kita menyelesaikan soal, sedangkan kita sendiri belum yakin.”

    Orang bilang, bila Amerika bersin, dunia sakit pilek. Akhir-akhir ini banyak yang mengklaim bahwa kebangkitan Cina serta negara-negara minyak telah menyelamatkan Amerika. Tapi manakala Amerika terkena flu finansial, yang lain segera saja terjangkit. Para pemimpin dunia beralih dari schadenfreude (rasa girang karena orang lain tertimpa bencana—Red.) kepada rasa takut serta jaminan surat utang Amerika.

    Krisis sering menggugurkan kebijaksanaan konvensional. Dan krisis yang satu ini menunjukkan kekuatan ekonomi Amerika tetap meyakinkan. Kinerja buruk Wall Street dan para regulatornya membuat Amerika membayar mahal. Namun pukulan tidak akan begitu fatal (tidak seperti Jepang pada 1990-an) jika Amerika berhasil mencegah kerugian serta membatasi kerusakan. Forum Ekonomi Dunia masih menempatkan ekonomi Amerika pada posisi paling kompetitif. Ini berkat kelenturan pasar tenaga kerjanya, pendidikan tinggi, stabilitas politik, serta keterbukaannya terhadap inovasi.

    Pertanyaan lebih mendasar adalah tentang kekuatan jangka panjang negara ini. Dewan Intelijen Nasional Amerika tengah menyiapkan prakiraan baru untuk 2025. Dewan memproyeksikan kedigdayaan Amerika—dengan militer sebagai kunci utama—bakal jauh menurun di tengah dunia yang kian kompetitif.

    Kekuasaan selalu bergantung pada konteks. Dalam dunia dewasa ini, kekuasaan disalurkan melalui satu pola yang mencerminkan permainan catur tiga dimensi nan kompleks. Di puncak papan catur, ada kekuasaan militer yang cenderung bersifat unipolar. Di tengah papan catur terbentang kekuasaan ekonomi multipolar. Amerika, Eropa, Jepang, dan Cina menjadi pemain utamanya sembari para pemain lain juga terus menguat.

    Di dasar papan catur terdapat bidang hubungan transnasional yang melintas batas kontrol pemerintah. Ia mencakup berbagai unsur: bankir yang mentransfer uang dalam jumlah melebihi anggaran pendapatan belanja negara, teroris, dan para hacker di Internet. Ia juga mencakup tantangan-tantangan baru berupa pandemi dan perubahan iklim. Di dasar papan catur, kekuasaan benar-benar menyebar. Jadi omong kosong belaka bila kita berbicara tentang unipolaritas, multipolaritas, atau hegemoni.

    Di bidang politik antarnegara, faktor terpenting adalah ”kembalinya Asia”—proses yang masih terus berlangsung. Pada 1750, Asia memiliki tiga perlima penduduk dunia dan tiga perlima ekonomi dunia. Pada 1900, setelah Revolusi Industri di Eropa dan Amerika, kekuatan ekonomi Asia turun menjadi seperlima ekonomi dunia. Namun Asia diperkirakan kembali mengukir suksesnya yang bersejarah pada 2040.

    Kebangkitan Cina dan India bisa jadi menciptakan instabilitas, tapi ini soal preseden. Kita belajar dari sejarah betapa kebijakan mempengaruhi hasil. Satu abad lalu, Inggris mampu mengelola kebangkitan Amerika tanpa konflik. Tapi dunia gagal menghadapi kekuatan Jerman yang malah meletuskan dua perang dunia. Kekuatan aktor-aktor yang bukan negara juga perlu ditata. Penyakit pandemik yang disebarkan burung dapat membunuh lebih banyak manusia dibanding jumlah yang tewas dalam Perang Dunia I dan II.

    Kian banyak isu dan problem yang tak terkontrol—bahkan oleh negara paling berkuasa—merupakan tantangan bagi Barack Obama. Meski Amerika dapat mengelola kekuatannya dengan baik menurut ukuran tradisional, ukuran-ukuran itu gagal menangkap apa yang didefinisikan politik dunia yang—karena revolusi dan globalisasi informasi—terus berubah. Karena itu menghalangi orang Amerika mencapai semua tujuan internasionalnya melalui usaha sendiri.

    Stabilitas finansial internasional menjadi perihal vital kesejahteraan Amerika. Tapi Amerika memerlukan kerja sama dengan pihak lain untuk menjamin hal ini. Dalam sebuah dunia dengan batas negara kian longgar bagi segala sesuatu—dari narkoba hingga terorisme—Amerika harus memobilisasi koalisi internasional dan menyampaikan ancaman serta tantangan yang mesti dihadapi bersama-sama.

    Sebagai kekuatan ekonomi terbesar dunia, kepemimpinan Amerika tetaplah penting. Problem kekuatan Amerika dalam krisis finansial ini bukanlah pada kemundurannya, melainkan perwujudannya, yakni bahwa negara paling digdaya sekalipun tak dapat mencapai tujuannya tanpa bantuan negara-negara lain.

    Syukurlah Barack Obama memahami hal itu.

  • MALAM BERSEJARAH OBAMA


    Barack Obama terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44. Ia punya tim sukses tangguh, kampanye yang meyakinkan, penggalangan dana yang unik. Dan ia membidik dengan tepat para pemilih muda.

    HARI itu pekan ketiga September. Para pekerja kantoran baru saja kembali dari makan siang ke tempat kerja mereka dengan tergesa. John McCain, kandidat Presiden Amerika Serikat dari kubu Republik, sedang berbicara di podium Balai Sidang di Jacksonville, Florida.

    Hari itu pula, Lehman Brothers rontok. Krisis finansial sudah menyentuh pelupuk mata. Namun, di atas panggung McCain terus meyakinkan kelimun orang dengan optimistis. ”Dasar ekonomi kita kuat. Jangan khawatir,” dia berseru.

    Dan hari itu, di kantor pusat kampanye Partai Demokrat di Chicago, staf kampanye Barack Obama menyaksikan pidato McCain. Lalu bergegas menelepon Dan Pfeiffer, direktur komunikasi tim sukses Obama. Ucapan McCain di atas podium Kota Jacksonville bisa jadi senjata karena menunjukkan betapa tidak pekanya kubu Republik.

    ”McCain bilang apa?” Pfeiffer bertanya di ujung telepon. Obama, yang baru saja kembali dari kampanye di Colorado, ikut nimbrung. Sebelum matahari tenggelam, tim kampanye Obama sudah siap dengan propaganda yang berisi video pidato McCain. Video itu terus membayangi dan menjadi mimpi buruk pihak Republik.

    Selasa malam pekan lalu (Rabu siang waktu Indonesia), mimpi buruk itu jadi kenyataan. Barack Obama memenangi pemilu Amerika Serikat dengan perbedaan electoral votes yang mencolok: 364:162. Presiden baru Amerika lahir di Grant Park, Chicago, malam itu—presiden yang, kata Obama sendiri, ”Wajahnya belum pernah Anda lihat di atas uang dolar Anda selama ini.”

    Nicolaus Teguh Budi Harjanto, mahasiswa program doktoral di Northern Illinois, Chicago, menyebut malam itu sebagai pesta rakyat yang amat meriah. Lebih dari seratus ribu orang menjadi saksi malam bersejarah. Semuanya tumpah-ruah dalam kegembiraan.

    Teguh mencatat tak hanya orang Amerika yang larut dalam perhelatan. ”Ada yang jauh-jauh terbang dari Polandia,” katanya. Teguh melihat orang-orang Afrika-Amerika memekikkan yel ”My Black President” berulang kali. Keriuhan mencapai puncaknya ketika sirene pasukan keamanan berbunyi dan Obama naik panggung menyampaikan pidato kemenangan. Chicago terjaga sampai pagi.

    Inilah babak baru sejarah Amerika. Seorang presiden yang menjanjikan perubahan pada 20 Januari nanti. Dari tangan George W. Bush, dia akan menerima Amerika yang tengah remuk-redam. Sembari berjanji memandu negeri itu keluar dari kehancuran ekonomi, dan trauma perang serta perselisihan di negeri-negeri timur jauh. Obama menjadi presiden kulit hitam pertama sejak Amerika merdeka 232 tahun silam. Kini 47 tahun, dia menjadi presiden kelima termuda dalam sejarah Amerika.

    Apa yang membuat orang yakin bahwa Obamalah pemimpin yang ditunggu? Dua tahun lalu, ia hanya setitik pijar dalam radar politik Amerika. Latar belakangnya bagai pungguk dan bulan dibanding para pangeran politik Amerika yang lahir dari klan-klan terkemuka: Bush, Kennedy, Adams, Roosevelt. Obama lahir dari keluarga yang amat biasa, tumbuh tanpa figur ayah, dan bersandar pada asuhan neneknya.

    Toh namanya terkerek dalam waktu singkat. Kepandaian memilih isu perubahan adalah keunggulan utama dia. Jejak multikulturalnya menebalkan keunggulan itu. Dengan ayah kandung kulit hitam dari Kenya, ibu kulit putih berdarah Indian Cherokee, ayah tiri berkulit sawo matang, adik ipar berdarah Cina-Kanada, Obama menawarkan jawaban Amerika terhadap dunia yang memandang negeri itu dengan cemas hati. ”Ia berbicara tentang perubahan dan kemungkinan dalam keberagaman. Saya pikir itulah yang membuat Barack diterima banyak orang,” ujar adik seibu Obama, Maya Soetoro-Ng, dalam wawancaranya dengan Tempo pekan lalu.

    Faktor ”bukan siapa-siapa” juga menguntungkan Obama. Ia merupakan gambaran ideal Amerika kelas menengah. Punya rumah yang pantas, keluarga harmonis, pekerjaan bagus, dan pekerja keras. Dia kontras menarik dari kehidupan McCain yang mirip opera sabun. Setelah kembali dari Perang Vietnam, McCain bercerai dari istrinya, Carol. Lalu menikahi Cindy Hensley yang memiliki kekayaan lebih dari US$ 300 juta (Rp 3 triliun lebih). Dia putri tunggal keluarga Hensley, hartawan dan konglomerat bir Amerika.

    Kelebihan lain Obama adalah memiliki tim kampanye yang andal dan cerdas. Sebagian besar mereka adalah orang muda. Inilah tim yang dalam pidato kemenangan Obama di Grant Park disebut ”tim yang paling hebat dalam sejarah Amerika”.

    Tim kampanye ini, misalnya, menyerbu 218 juta pengguna Internet—dari 303 juta penduduk—di Amerika. Separuh pengguna Internet adalah orang muda. Obama mengangkat Chris Hughes, 24 tahun, sebagai manajer kampanye web, untuk menaklukkan para pemilih belia dari ranah maya. Di bawah pendiri situs jejaring sosial Facebook ini, tim kampanye Obama merambatkan pengaruh dengan cepat. Hughes mengerahkan situs pertemanan macam MySpace, Twitter, Facebook, dan Plurk. Dan menjadi mesin penyebar pesan Obama paling ampuh.

    Di bawah Hughes, Obama sukses merangkul lebih dari 1,7 juta sahabat di Facebook dan 510 ribu teman di MySpace. Jumlah ini sepuluh kali lipat dari teman maya McCain. Lewat Internet pula Obama berhasil menggalang sebagian besar dana kampanye yang bernilai total US$ 659,7 juta (Rp 6,9 triliun). Ia berhasil membujuk lebih dari tiga juta pengguna komputer untuk menyumbang. Jumlah ini hampir tiga kali lipat dana kampanye McCain dan mengalahkan dana yang dapat dihimpun dua kandidat presiden pada 2004.

    Agresivitas tim Obama juga tampak dari pemasangan iklan di media-media yang tak lazim digunakan sebelumnya. Mereka melekatkan wajah dan pesannya di bermacam game video online. Tim ini jeli melihat bahwa 70 persen pemilih berusia 18-30 tahun ternyata menyukai game online.

    Hasilnya, Obama berhasil mengajak 24 juta pemilih berusia 18-24 tahun, atau 54,5 persen orang muda—yang berhak memilih—ke tempat pemungutan suara. Ini jumlah pemilih muda terbanyak sepanjang sejarah Amerika. ”Saya kaget betapa efektifnya Internet meraih rakyat, baik dalam hal finansial maupun organisasi,” katanya. ”Ini salah satu kejutan terbesar dalam kampanye ini,” Obama menambahkan.

    Di luar Internet, Obama memiliki David Plouffe, 40 tahun, manajer kampanye yang hebat. Dia mendesain mesin kampanye yang menghubungkan setiap orang di daftar pemilih dan membiarkan mereka bekerja. Dengan jaringan berlapis mirip multilevel marketing, orang-orang yang bersimpati pada Obama siap menggunakan komputer pribadi mereka untuk berkampanye. Mereka memanfaatkan fasilitas telepon gratis pada malam hari dan akhir pekan dari jaringan telepon seluler. Tujuannya, mengorganisasi kampanye dari tingkat paling bawah.

    ”Mereka punya alat dan mereka membangun jaringan sendiri,” kata Joe Trippi, juru kampanye kandidat Howard Dean, yang pada 2004 memusatkan perhatian pada pemilih muda. Ia terkesima melihat anak-anak muda yang menjadi tulang punggung kampanye Obama. ”Kampanye Dean bagaikan Wright bersaudara yang menemukan kapal terbang. Empat tahun kemudian sudah berkembang sepesat roket Apollo,” Trippi mengumpamakan.

    Obama sendiri lihai meyakinkan orang agar mau melongok program-programnya. Sebagai bekas penggiat komunitas gereja, dia punya pengalaman mengetuk dari pintu ke pintu. Dalam sebuah conference call dengan 400 pemimpin sukarelawan pendukungnya, ia memberikan tip begini: ”Jangan minum. Jangan hanya bicara, tapi simaklah yang banyak,” katanya.

    Senator Illinois itu juga mahir melihat kemungkinan munculnya konflik yang akan menyulitkannya. Itu tampak ketika Obama melepas salah seorang penasihat kampanyenya, Mazen Asbahi, yang tadinya diharapkan bisa menghimpun pemilih muslim. Asbahi mundur setelah muncul laporan bahwa ia pernah bekerja sama dengan seorang imam yang punya hubungan dengan organisasi Ikhwanul Muslimin.

    Dengan tim yang kuat, Obama berkeliling Amerika. Berbeda dengan strategi tim kampanye John Kerry yang memantapkan kampanye di basis tradisional Partai Demokrat, Obama justru lebih banyak pergi ke kandang lawan. ”Ia harus merebut suara di basis Republik. Tak perlu banyak, cukup menaklukkan Virginia dan Ohio, pertarungan selesai,” kata David Axelrod, 53 tahun, sang kepala strategi.

    Axelrod benar. Perolehan suara Obama di ”wilayah angker” yang dikenal dengan istilah battleground itu jauh melampaui perkiraan. Dari delapan battleground yang selama puluhan tahun dimenangkan Republik, Obama merebut enam wilayah, termasuk Ohio, Virginia, Pennsylvania, Missouri, dan Florida.

    Selama 18 bulan masa kampanye, Obama membuktikan timnya tetap solid: tak ada krisis keuangan atau pergantian strategi, tak ada konflik internal. Bahkan slogan kampanye ”Perubahan yang Kita Percaya” tak berubah sejak awal.

    Satu-satunya ”badai” adalah ketika AP mempublikasikan sebuah laporan hanya beberapa hari sebelum pemilu. Dalam investigasi itu diberitakan Zeituni Onyango, bibi Obama di Kenya, dulu masuk ke Amerika secara ilegal. Berita ini dimanfaatkan kubu McCain untuk membalikkan hasil polling. Dalam sehari keunggulan 10 poin atas McCain merosot menjadi 8 poin.

    Markas kampanye Obama di Chicago tegang. Valerie Jarret, 51 tahun, penasihat dan sahabat baik Michelle dan Obama, dipanggil. Dia dikenal sebagai ”orang yang selalu jujur dan mengatakan apa yang ada di pikirannya”. Jarret segera menelepon Obama agar bicara jujur. Dengan terbuka, sang senator mengungkapkan bahwa ia sama sekali tak tahu bibinya masuk ke Amerika secara ilegal. ”Walaupun saya sayang padanya, silakan ia dideportasi jika melanggar hukum,” ucap Obama.

    Ketegasan dan kejujuran Obama inilah yang kemudian ”dijual” kembali ke publik. Alhasil, popularitas Obama kembali terdongkrak.

    Pada hari pemilihan, Obama membuktikan ia merupakan orang yang tepat untuk memimpin Amerika. Dari 133,3 juta pemilih—atau 62,5 persen penduduk yang berhak memilih—ia menangguk 53 persen suara (popular votes). Dalam hitungan electoral college ia meraih 364 dari total 538 electoral votes. Obama menang telak.

    Di Grant Park Chicago, Selasa pekan lalu, dunia menyaksikan suatu malam bersejarah bagi Obama dan Amerika.

    Angela Dewi, Yos Rizal (AFP, AP, BBC, CNN, Chicago Tribune, The Washington Post)

    Obama, 2008

    Weep no more, my lady,
    Oh weep no more today

    Kau kembali ke pojok yang agak diterangi matahari di kerimbunan hutan itu. Kau kembali dengan mesin waktu yang tak sempurna, tapi masih kau dengar kor itu, My Old Kentucky Home, lagu murung yang bertahun-tahun terdengar sampai jauh lepas dari Sungai Mississippi, sejak Stephen Foster menulisnya. Itu tahun 1853. Budak belian hitam yang mencoba jeda dari terik dan jerih ladang tembakau. Sebuah selingan sederhana dari rutin panjang yang tak pernah dinamai "Penghisapan". Sebuah sudut hutan yang jadi majelis tersembunyi. Sebuah ruang buat orang-orang yang dirantai dan dinista untuk berkumpul dan bertanya: apa sebenarnya semua ini?

    Kau tak tahu kapan kau datang. Tapi dengan mesin waktu yang tak sempurna kau lihat seorang perempuan tua berbicara di depan majelis itu, di depan jemaat yang takut menyebut nama Tuhan. Ia mengingatkan kamu kepada Baby Suggs dalam Beloved Toni Morrison. Kau dengar ia berbicara tentang sesuatu yang menakjubkan tapi diabaikan, sesuatu yang biasa tapi tak terduga-duga: daging, jangat, tulang, sendi yang sanggup menanggung pukulan dan dera perbudakan, kelenjar yang menitikkan air mata, jantung yang sesak sebelum tangis, tubuh yang menyembuhkan lukanya sendiri, badan yang dari kepedihan bisa menyanyi, menari, menyanyi.

    Saudara-saudaraku, tubuh kita bisa mengejutkan kita. Kadang-kadang dengan kegagahan. Kadang-kadang dengan keindahan. Semuanya terbatas, tapi dengan itu kita menggapai yang tak terhingga. Semuanya fana, tapi tiap kali memberi arti yang kekal. Maka jangan menangis lagi.

    Kau lihat orang-orang terpekur. Kau mungkin tak tahu kenapa: mereka ingin percaya. Tapi mereka juga mendengar, konon di atas tubuh bertahta Takdir. Yang tetap. Yang tegar. Yang lurus dan terang-benderang. Yang tangan-tangannya menebarkan daya tersendiri, merasuki ke otak, setitik demi setitik.

    Otak itulah yang kemudian memproduksi alasan. Telah lahir penjelasan yang gamblang, bahwa ada nasib yang memasang pigmen dalam kulit. Pigmen kita membuat hakikat kita. Ada orang hitam, ada kulit "negro", ada juga yang "putih". Warna-warna itulah yang mengarahkan sejarah. Identitas adalah nujum. Ada esensi sebelum eksistensi.

    Tapi benarkah Takdir merancang semuanya? Di majelis hutan Mississipi itu, suara perempuan tua itu merendah: "Saudara-saudaraku, kegelapan menyertai kita."

    "Kegelapan di balik pori-pori, di ceruk sel darah merah dan getah bening. Kegelapan dalam suara serak, dalam lagu Old Black Joe yang memberat menjelang ajal. Kegelapan Maut, kegelapan kata-kata Tuhan yang tak selamanya kita mengerti, kegelapan yang mengelak dari Takdir yang makin lama makin putih.

    "Kegelapan yang membiarkan kita tak punya nama, yang menampik nama bila nama adalah daftar milik yang jelas dari tuan-tuan kita. Kegelapan hutan ini yang teduh. Kegelapan yang melindungi kita dari Kebengisan."

    Blood on the leaves
    And blood at the root
    Black bodies swinging
    In the southern breeze
    Strange fruits hanging
    From the poplar trees

    Kebengisan itu tak pernah kau lihat. Mesin-waktumu yang tak sempurna hanya menemukan potret tubuh George Hughes yang digantung di dahan pohon. Tak hanya digantung. Ia dibakar. Ini Sherman, Texas, 1930.

    Kau bisa baca di perpustakaan kota itu: "negro" buruh tani ini ditangkap dengan tuduhan membunuh majikannya dan memperkosa istri si tuan. Di kampung kecil yang jarang dihuni itu, bisik-bisik beredar: Hughes adalah "hewan yang tahu betul apa yang dimauinya".

    Para petani kulit-putih yang tinggal di dusun itu telah lama bringas, dan kini punya alasan buat lebih bringas. Mereka yang selamanya takut, curiga, dan benci kepada makhluk dengan pigmen berbeda itu kini punya dalih. Mereka serbu gedung pengadilan tempat Hughes ditahan. Mereka bakar. Hughes mereka seret ke luar dan mereka lemparkan ke atas truk. Polisi tak berbuat apa-apa - malah membantu mengatur lalulintas. Di sebuah lapangan dekat tempat tinggal orang hitam, Hughes diikat dan dikerek ke atas sebuah pohon. Api besar dinyalakan.

    Dalam sebuah potret kau lihat: Hughes yang tinggal arang, terpentang, bergayut, pada pokok yang rendah.

    Orosco mengabadikan adegan itu dalam sebuah litograf dari tahun 1934, Negros Colgados. Lihat, tak cuma satu "negro". Tubuh-tubuh yang dibunuh itu begelantungan seperti puluhan buah yang aneh. Billie Holiday mengungkapkannya dalam Strange Fruits: suaranya setengah serak, dengan pilu yang seakan-akan telah jadi napas: Darah pada daun/ darah pada akar/ Jasad hitam yang terayun-ayun/di angin selatan/ buah ganjil yang tergantung/ di pohon poplar.

    Ada sesuatu yang lain pada lagu itu, yang mula-mula tampak pada litograf Orosco: pohon dan dahan itu - tak dihiasi daun-daun -- seakan-akan menegaskan kekuatan yang lurus, lugas, tegak. Juga ia tempat pameran yang meyakinkan. Tak sengaja Orosco mengingatkan kita bahwa sebuah negeri, sebuah tata, adalah bangunan yang kuat karena ia memamerkan sesuatu yang lurus dan sekaligus mengancam. Dengan kata lain: kebengisan.

    Kebengisan itu sering ditutupi dengan kata-kata: "utuh", "harmonis", "mufakat", seakan-akan sesuatu yang mulia telah diraih. Seakan-akan tak ada pergulatan politik di baliknya. Seakan-akan yang ada hanya arsitektur Tuhan. Tapi nyanyian Billie Holiday mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi yang disembunyikan: ia berbisik tentang daerah pedalaman Selatan Amerika yang punya sejarah yang gagah, the gallant South, tapi ia segera menyebut wajah kesakitan orang-orang hitam yang tercekik. Ia menyebut "harum segar manis kembang magnolia", tapi di baris berikutnya "bau jangat terbakar yang terhidu tiba-tiba".

    Tiap tata dibentuk dengan taksonomi: "putih", "hitam", "borjuis", "proletar", "asli", "tak-asli", "mayoritas", "minoritas". Tiap taksonomi dimulai dengan kepalsuan dan pemaksaan.

    Tapi itu berarti ini tak ada tangan Takdir yang merancang. Tak ada hakikat sebelum apa yang diperbuat. Tak ada esensi sebelum eksistensi. Pembagian, apalagi pemisahan rasial, sepenuhnya hasil sebuah proses politik. Si "hitam" bukan jadi "hitam" karena ia diciptakan "hitam", melainkan karena ia distempel dan disensus dan dikelompokkan ke dalam kategori "hitam". Sejarah "hitam" dan "putih" adalah riwayat pergelutan, terkadang dengan pertempuran, terkadang dengan teriak mengajak maju, serempak, berbaris, 1000 pekik dari pita suara yang panas.

    Yes, we can
    Yes, we can

    Kau dengar suara itu di kerumunan manusia di Grant Park, Chicago, 4 November 2008 malam. Ya, kita dapat. Ya, kita sanggup. Kita - kata orang-orang itu -- sanggup membuat seorang Amerika dengan nama yang aneh dipilih jadi presiden dengan dukungan yang meyakinkan. Kita sanggup mengubah warisan sejarah yang telah memicu Perang Saudara di abad ke-19. Kita sanggup mengguncang pohon tempat kebengisan dipajang seakan-akan sebuah struktur yang cantik.

    Tapi ini bukan hanya cerita kemenangan seorang yang bisa melintasi taksonomi "hitam-putih". Ini terutama cerita kemenangan dari pengertian lain tentang "politik". Sebab yang datang bersama Obama bukanlah politik sebagai kiat untuk mendapatkan yang-mungkin. Di tahun 2008 ini, di Amerika Serikat kita justru menyaksikan "politik" sebagai hasrat, setengah nekad, untuk menggayuh yang-tak-mungkin.

    Yang-tak-mungkin memang akan selamanya tak-mungkin. Tapi yang-mustahil itu jadi berarti karena ia memanggil terus menerus, dan ia membuat kita merasakan sesuatu yang tak terhingga - yang agaknya menyebabkan jutaan orang bersedia antri berjam-jam untuk memilih dan mengubah sejarah: mereka menyebutnya Keadilan, atau Kemerdekaan, atau nama lain yang menggugah hati. Seperti cinta yang terbata-bata tapi tulus. Seperti sajak yang hanya satu bait tapi menggetarkan.

    Seperti tubuh-tubuh yang kau lihat menyanyi di hutan itu.

    Weep no more, my lady,
    Oh, weep no more today.

    Goenawan Mohamad

    Keberagaman Membentuk Wataknya

    Maya Soetoro-Ng:

    KETIKA dunia larut dalam kemenangan Barack Hussein Obama Jr. dalam pemilihan umum Presiden Amerika Serikat, pekan lalu, sekitar 7.000 ribu kilometer dari Chicago, seorang perempuan berambut panjang hitam legam ikut berbagi kebahagiaan. Dialah Maya Kassandra Soetoro-Ng, adik seibu Obama.

    Malam itu, di apartemen seluas 600 meter persegi di Jalan Beretania, Honolulu, Hawaii, Maya sebetulnya sedang sibuk menyiapkan proses pemakaman nenek mereka, Madelyn Dunham. Sang nenek, yang mereka panggil ”Toot”, wafat tepat sehari sebelum Obama menang.

    Lebih muda sembilan tahun daripada sang abang, Maya lahir di Jakarta, 38 tahun silam, dari pasangan Stanley Ann Dunham dan pria Indonesia bernama Lolo Soetoro. Keduanya menikah di Hawaii, setelah Ann Dunham bercerai dengan ayah Obama.

    Meski mereka berbeda ayah, Maya sangat dekat dan selalu berbagi cerita dengan sang abang. Ketika Obama memutuskan ikut bertarung dalam konvensi Partai Demokrat, Maya rela meninggalkan pekerjaannya sebagai pengajar di sebuah sekolah putri di Honolulu dan dosen kuliah malam di University of Hawaii di Manoa.

    Dalam berbagai kampanye di depan pendukung Obama, Maya tampil ”mempromosikan” sang abang. Bukan dalam bentuk janji politik, melainkan lebih banyak berkisah tentang masa kecil dan remaja yang ia lalui bersama sang abang.

    Media yang ingin tahu masa lampau Obama mulai memperhatikan Maya. Tidak mengherankan jika kemudian ibu seorang putri kecil bernama Suhaila, dari pernikahannya dengan Konrad Ng, ini ikut terkerek namanya.

    Rabu pagi waktu setempat, setelah pesta kemenangan itu, di sela perkabungannya, wartawan Tempo, Angela Dewi, mewawancarai Maya lewat saluran telepon internasional. Percakapan terputus beberapa kali karena Maya sangat sibuk menyiapkan proses pemakaman. Meski suaranya terdengar terburu-buru dan bernada murung, Maya menjawab pertanyaan—dalam bahasa Indonesia bercampur Inggris—dengan ramah.

    Selamat atas kemenangan abang Anda dan ikut berdukacita atas kepergian nenek Anda.

    Terima kasih. Kami memang sedang dalam suasana perkabungan. Saya tidak bisa bercerita bagaimana perasaan saya saat ini.

    Anda tidak berada di dekat abang Anda ketika kemenangannya diumumkan....

    Saya ikut berbagi kebahagiaan atas kemenangan Barack Obama. Tapi, sekali lagi, kami berada dalam suasana duka....

    Seberapa besar arti Obama buat Anda?

    Sejak kecil kami sangat dekat, karena kami tumbuh tanpa keluarga yang lengkap. Barack Obama menjadi pengganti ayah bagi saya. Dia melindungi, bossy, tapi sayang kepada saya. Saya ingat dia suka mengolok-olok jika saya tidak bisa mengerjakan tugas sekolah. Dia bilang saya harus punya tujuan hidup dan pencapaian yang tinggi.

    Anda berbeda usia cukup jauh dengannya.…

    Sembilan tahun. Jadi banyak sekali yang saya pelajari dari dia. Bagaimana dia menghadapi masalah, bagaimana dia menyelesaikannya. Dia mengajarkan kepada saya bagaimana menjalani kehidupan.
    (Dalam satu artikel mengenai kedekatan Maya dan Obama, majalah Time menulis bagaimana Obama mengenalkan dunia kepada Maya. Ia membelikan Maya kaset jazz dan blues, mengajak Maya menonton dan membelikan novel. Tidak mengherankan jika kemudian mereka punya selera yang sama terhadap musik, sastra, dan filsafat. Kantor berita AFP juga pernah menulis, ketika ayah Maya wafat pada 1987, Obama membantunya memulihkan perasaan. Kasih sayang Obama kepada sang adik juga tampak dalam kalimat di bukunya, Dreams from My Father. Obama menulis kesannya tentang sang adik, yang berdiri di sampingnya ketika Obama menikah, pada 1992. ”Aku menatap ke arah adik kecilku dan melihat seorang perempuan yang tumbuh dewasa, cantik, dan bijaksana serta terlihat seperti perempuan bangsawan Latin dengan kulitnya yang selembut minyak zaitun dan rambut panjangnya yang hitam terurai.”)

    Apa yang paling berkesan dalam diri abang Anda?

    Dia punya perpaduan yang unik antara sikap independen, penuh percaya diri, empatik, dan melankolis.

    Barangkali karena dia dibesarkan di tengah banyak perempuan?

    Saya rasa begitu. Ibu, Nenek, dan saudara-saudara perempuan lainnya membawa pengaruh pada pembentukan watak penuh perhatian yang dimiliki abang saya.

    Bagaimana dengan pengaruh ibu Anda?

    Ibu kami adalah perempuan yang sibuk, independen, tapi penuh perhatian dan selalu memastikan semuanya baik-baik saja. Saya pikir abang saya mewarisi banyak karakter ibu kami, meski dalam beberapa tahun masa kecilnya Obama lebih banyak menghabiskannya bersama Nenek. Saya pikir abang saya juga mewarisi dari ibu jiwa sosial dan kemampuan merangkul banyak orang.
    (Beberapa media pernah menulis reaksi tenang Stanley Ann Dunham ketika tahu Obama lebih banyak menyinggung sang ayah dalam bukunya, Dreams from My Father. Perempuan yang meninggal pada 1995 ini hanya berkomentar, ”Memang seharusnya begitu.”)

    Abang Anda banyak menghabiskan waktu remajanya di Hawaii. Apa pengaruhnya bagi dia?

    Kami tinggal bersama di Honolulu dari 1973 hingga 1976. Ketika Obama tinggal bersama Kakek dan Nenek, saya sering berkunjung sampai akhirnya dia tamat dari Punahou School pada 1979 dan pindah ke mainland untuk melanjutkan kuliah. Keberagaman di Hawaii juga membentuk wataknya.

    Bagaimana dengan pengaruh masa kecil di Indonesia?

    Abang saya melewatkan sebagian masa kecil dan perkenalannya dengan dunia luar di Jakarta. Saya rasa abang saya mulai memiliki konsep tentang jiwa sosial dan kemiskinan serta jurang antarkelas ketika kami tinggal di Jakarta. Abang saya berbaur dengan teman-temannya dari bermacam kelas, dan itu sangat baik untuk membentuk karakter.
    (Dalam bukunya yang lain, Audacity of Hope, Obama berkisah bahwa meski ibu mereka seorang ekspatriat, kehidupan mereka pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an itu sesungguhnya mirip orang kebanyakan. Jakarta saat itu dalam keadaan kacau. Listrik sulit, jalan tak beraspal. Indonesia baru berganti rezim dari Soekarno ke Soeharto. Setelah keuangan Lolo Soetoro membaik dan mereka pindah rumah ke Matraman Dalam, tetap saja keluarga Soetoro tidak mampu menyekolahkan Obama ke sekolah asing yang mentereng. Tidak mengherankan jika kemudian Obama lebih banyak bergaul dengan anak kampung.)

    Banyak media Barat yang berusaha mengaitkan kehidupan masa kecil abang Anda di Jakarta dengan Islam.

    Saya gusar dan frustrasi. It is terrible. Sering saya sampaikan bahwa keluarga kami tumbuh di tengah budaya Islam karena kedua ayah kami berlatar belakang Islam, tapi itu kemudian diartikan sepotong-sepotong. Saya percaya di tempat-tempat lainnya, juga di Indonesia, ada banyak berita lain yang mematahkan hal-hal semacam itu.

    Abang Anda takut menyinggung-nyinggung Islam karena itu akan jadi kampanye buruk bagi dirinya?

    Tidak sama sekali. Kami tidak takut. Saya tidak ingin menolak Islam dalam bagian kehidupan keluarga kami. Saya pikir sangat bijak jika kita mencoba memahami Islam, pemahaman yang lebih baik. Namun, pada saat yang sama, ada ketidakadilan yang dilekatkan pada Barack Obama.

    Anda dan abang Anda dikenalkan pada budaya Islam?

    Seingat saya, abang saya pernah memakai sarung dan bermain dengan anak-anak di masjid. Ketika kecil, saya juga pernah membaca Quran. Setiap pagi kami mendengar azan. Ibu bilang azan itu indah. Tapi, secara falsafah, saya adalah orang Buddha dan abang saya kristiani.

    Ibu Anda?

    Ibu saya agnostik, ia menganggap semua agama membawa kebaikan yang sama.

    Anda bahagia tumbuh di tengah keluarga yang beragam seperti itu?

    Saya pikir itulah yang membuat Barack Obama diterima oleh banyak orang. Ia bicara tentang perubahan dan sebuah kemungkinan dalam keberagaman. Kami berada dalam keberagaman itu. Kami tahu bagaimana rasanya.

    Abang Anda tidak keberatan disebut Afro?

    (Maya tertawa perlahan) Dia suka disebut hitam. Bukan bentuk penghinaan. Dia menikmati panggilan itu.

    Kalau Anda? Anda merasa lebih Indonesia atau kulit putih?

    Saya hibrida.… Saya separuh Asia dan separuh Amerika. Saya juga menikmati itu. Saya pikir anak saya juga akan merasakan hal yang sama. Sebuah hibrida tidak bisa dilihat dari satu sisi. (Maya menikah dengan pria Cina-Kanada, seorang profesor di University of Hawaii.)

    Ini pertanyaan yang diajukan banyak orang: abang Anda bisa bicara dalam bahasa Indonesia?

    Oh, di depan orang ramai dia tidak percaya diri. Tapi, dengan saya, dia suka berguyon. Dia suka bilang, ”Maya sini, Maya sini.…” Bicaranya halus....

    Abang Anda pernah bicara soal Indonesia beberapa tahun terakhir?

    Seingat saya, dia terakhir kali ke Jakarta pada 1991 untuk menyusun bukunya. Ia bilang banyak perubahan. Saya pikir dia punya kesan yang mendalam pada kunjungan itu. Dia pernah bercerita bahwa ia mengkhawatirkan Indonesia.
    (Sebuah bagian dalam Audacity of Hope yang berkisah tentang Indonesia juga menyebut bagaimana Obama ingin mengajak istri dan anak-anaknya melihat Bali, tapi khawatir suasananya sudah tidak sama lagi dengan kenangan tentang Bali yang ia kunjungi ketika masih kecil.)

    Bagaimana Anda melihat hubungan abang Anda dengan Michelle?

    Saya mengagumi hubungan mereka yang hangat dan kuat. Saya rasa abang saya menemukan akar tempat ia melekat di Chicago dengan pernikahannya ini. Ini menyenangkan mengingat bagaimana kami menjalani kehidupan di tengah latar belakang yang beragam.

    Anda kini menjadi bagian dari keluarga paling penting di Amerika. Ada yang berubah?

    Saya penduduk Hawaii dan saya seorang guru sekolah. Tapi saya akan melakukan semua yang saya mampu untuk membantu abang saya.

    Presiden Amerika Serikat seperti apa yang Anda lihat dalam diri abang Anda?

    Ibu saya pernah bilang, kamu bisa jadi apa saja yang kamu inginkan. Tapi seriuslah dengan semuanya. Saya pikir ia akan berdiri di depan kita semua sebagai presiden yang punya pengalaman dan tumbuh dalam lingkungan yang beragam. Ia memahami apa yang tidak diketahui orang-orang Amerika kebanyakan. Sebagai Presiden Amerika Serikat, perubahan seperti yang dibawa Barack Obama adalah sebuah mimpi yang mustahil di masa lampau. Saya pikir kami beruntung.

    Sang Presiden dari Menteng Dalam


    Barack Obama sudah bercita-cita jadi presiden sejak tinggal di Jakarta.
    Karakternya terbentuk oleh didikan keras sang ibu.

    IA cuma pegawai rendahan. Pekerjaannya saban pagi adalah menyiapkan proyektor dan LCD di ruang kelas PPM Institute of Management, di kawasan Menteng, Jakarta. Tapi Rabu siang pekan lalu, Saman, anggota staf bagian umum lembaga pendidikan itu, mendadak menjadi selebritas.

    Saat Barack Obama disebut sebagai Presiden Amerika terpilih untuk periode 2009-2013 pada siang itu (atau Selasa malam di Chicago, Amerika Serikat), teman-teman sekantor Saman langsung menyerbunya. ”Selamat, Pak,” kata seseorang yang menyalaminya di lift. ”Kalau enggak ada Bapak, Obama tak akan jadi presiden,” ucap yang lain.

    Obama bagi pria 58 tahun asal Gunung Kidul itu memang bukan nama yang asing. Ia bagian dari kehidupan masa lalu Saman. Saat itu, 38 tahun silam, Saman mendapat tugas dari ibu Obama, Stanley Ann Dunham, untuk ”mengikuti Barry ke mana pun dia pergi”. Barry adalah nama panggilan Obama kecil.

    Keluarga Barry ketika itu belum lama pindah dari Jalan KH Ramli Nomor 16, Menteng Dalam, Jakarta, ke Jalan Taman Matraman Barat Nomor 22. Barry tinggal bersama Ann, Lolo Soetoro—ayah tirinya—dan adiknya, Maya Kassandra Soetoro, serta tiga pembantu yang lain. Lolo bekerja pada bagian topografi TNI Angkatan Darat, sebelum pada 1972 pindah kerja ke Union Oil, perusahaan minyak Amerika yang kelak berganti nama menjadi Unocal (terakhir Chevron).

    Saman masih ingat pada 1970 itu ia kerap mengantar Barry ke Sekolah Dasar 01 Besuki (sekarang SD Menteng 1) menggunakan sepeda ontel. Ia bertugas mengantar bila Barry tak ikut mobil jemputan ibunya, yang bekerja sebagai guru bahasa Inggris di PPM (yang waktu itu berlokasi) di Budi Kemuliaan, Jakarta. Di jalan itulah, atau saat bermain, teman-teman Barry kerap meledeknya dengan panggilan ”Negro, Negro”. Obama membalas ejekan itu dengan teriakan ”Huuu… kampungan!”

    ”Barry sudah mulai lancar berbahasa Indonesia dan sudah bisa bilang lu-gue,” ujar Saman kepada Tempo.

    Obama bersekolah di Jakarta dari 1968 hingga akhir 1971. Ia belajar di SD Fransiskus Strada Asisi (sekarang SD Katolik Fransiskus Asisi) sejak 1968 hingga awal 1970. Selanjutnya, ia pindah ke SD 01 Besuki saat kelas III hingga kelas IV. Ia kemudian melanjutkan pendidikan dasarnya di Hawaii.

    Sebelum Obama berangkat ke sekolah, Ann biasanya memberinya tugas belajar. Tugas itu harus diselesaikan sebelum sang ibu pulang kerja. ”Kalau Barry tak menyelesaikan tugas yang diberikan ibunya, dia akan dikunci di dalam kamar,” kata Saman.

    Dengan disiplin keras inilah Ann mendidik Barry. Saat tinggal di Menteng Dalam, misalnya, Obama harus menimba air sumur sendiri. Sang anak pun tak boleh menolak menu makan yang disuguhkan. Nucky Nugroho, 53 tahun, bercerita pernah melihat Obama, Lolo, dan Ann makan nasi dengan hanya berlaukkan ikan asin dan sambal. ”Saya sebenarnya kasihan melihatnya. Tapi Barry makan makanan sederhana itu dengan lahap,” ujar pengusaha batu bara yang kini tinggal di Cirebon itu seraya terkekeh. Nucky adalah anak Trisulo, mantan pejabat Pertamina. Istri Trisulo merupakan kakak kandung Lolo.

    Mungkin lantaran masih belum kenyang, Barry bertandang ke rumah temannya. Keluarga Askiar dari Padang, tetangganya di Menteng Dalam, menjadi tempat favorit Barry menyantap rendang. Djoemiati, 66 tahun, Bu RT 11 di Menteng Dalam itu, mengisahkan kenakalan Obama. Barry, misalnya, pernah hampir menghabiskan kue tar yang hendak disuguhkan kepada tamu keluarga tetangga Djoemiati. Karena berang, pembantu rumah itu mengejar-ngejar Barry. Obama lari terbirit-birit sebelum bersembunyi di kolong tempat tidur. ”Gaya lari Barry lucu banget, mirip bebek sawah,” ucapnya.

    Dalam buku Dreams from My Father (1995) yang ia tulis, Obama memuji kedisiplinan dan jejak multikultural yang ditinggalkan sang ibu. Ann meninggal di Hawaii pada 1995. ”Saya berutang kepadanya untuk semua hal yang terbaik dalam diri saya,” demikian tulisnya.

    Jejak ini bahkan menjadi modal paling penting Obama ketika kembali ke Amerika dan kemudian terjun ke dunia politik. Dengan ayah kandung kulit hitam dari Kenya, ibu kulit putih berdarah Indian Cherokee, dan ayah tiri berkulit sawo matang, ia tak lagi gusar saat mendapat sebutan ”miring” dari teman-temannya. David Axelrod, sahabat yang kemudian menjadi manajer strategi kampanye Obama, mengisahkan, ketika Obama masuk sekolah menengah di Honolulu, teman-teman putih Amerikanya justru memanggil dia dengan julukan ”Negro dari Indonesia”.

    Dengan kematangan multikultural itu ia menapaki panggung politik. Hanya dalam waktu dua tahun setelah menjadi senator pada 2004, wajah Obama sudah terpampang di sampul majalah Time. Judulnya sangat provokatif, ”Barack Obama: Apakah Dia Presiden Berikutnya?”

    Obama memang menjadi bintang yang melesat cepat di politik Amerika Serikat. Padahal ia baru resmi menjadi politikus pada 1996—sebagai politikus lokal di Negara Bagian Illinois. Saat terpilih sebagai senator pada usia 43 tahun itu, Obama tak menjanjikan hal yang muluk. Kepada wartawan, ia mengatakan yang pertama dilakukan setelah menjadi senator adalah mempelajari bagaimana lembaga itu bekerja, bagaimana membuka keran di wastafel, serta bagaimana menggunakan telepon di sana. Inilah strategi ”mengenal lingkungan terdekat”.

    Dengan strategi ini ia menancapkan pengaruhnya di Illinois. Seperti bebek sawah yang terus mengitari sawah yang ia kenal, Obama mengetuk dari satu pintu ke pintu lain, dari satu komunitas ke komunitas lain, hingga akhirnya ia merebut para pemilih di seluruh Amerika. Ia menjadi Presiden Amerika pada usia muda: 47 tahun.

    Inilah cita-cita yang, kata Obama, ”tak ada yang tak mungkin diwujudkan di Amerika”. Di Indonesia, ketika duduk di kelas III, Obama pernah diminta Israella Pareira Darmawan, guru di SD Fransiskus Asisi, mengarang dengan tema ”Cita-citaku”. Israella, kini 64 tahun, ingat betul, bocah delapan tahun itu pernah menulis: ”Cita-citaku: Presiden.”

    Saman pun mengingat suatu obrolan antara Obama dan Lolo Soetoro. ”Kamu besok mau jadi apa?” tanya Lolo. Obama menjawab, ”Ingin jadi PM.” Saman baru ngeh sekarang bahwa PM yang dimaksudkan Barry dulu adalah perdana menteri. ”Cita-citanya kesampaian,” kata Saman.

    ”Dia warga Menteng Dalam pertama yang jadi Presiden Amerika,” ucap Coenraad Satjakoesoemah, 77 tahun, suami Djoemiati, seraya tersenyum.

    Di Grant Park, Chicago, Selasa malam itu perayaan kemenangan Obama dihadiri 80 ribu orang. Di Bellagio Boutique Mall, Mega Kuningan, Jakarta, ratusan fan Obama dari beberapa negara berkumpul pada Rabu pukul 19.00 hingga tengah malam. Musik jazz mengayun, pelbagai minuman cepat tandas, kaus dan poster bergambar Obama ludes, balon warna-warni diterbangkan, enam spanduk besar menjuntai dari lantai dua hingga ke lantai dasar. Tulisannya: ”We Love You Obama Presidenku”.

    Sekitar 20 teman SD 01 Besuki berkumpul di Pisa Cafe, Menteng, Rabu siang. Mereka merencanakan kegiatan reuni dan merancang ucapan selamat kepada sang sahabat: Barry. Untuk pertemuan itu, sebagian besar dari mereka tak masuk kerja. ”Saya sudah izin kantor untuk menyaksikan penghitungan ini,” kata Cut Citra Dewi, 48 tahun, teman sebangku Obama saat kelas III-A.

    Nucky, di rumah dengan luas lebih dari 500 meter persegi di Jalan Perjuangan VII, Cirebon, mengundang puluhan wartawan menonton siaran langsung penghitungan suara. ”Lihatlah, semua orang seperti kesirep,” serunya. Saat Obama dinyatakan menang, ia pun segera menelepon saudara-saudaranya di Jakarta dan Yogyakarta.

    Kismardhani S. Roni, anak Suwarti, kakak Lolo Soetoro, mengenang kembali Obama dan Maya Soetoro yang dulu sering berlibur di rumah eyang mereka di Kampung Jayeng Prawiran, Yogyakarta. ”Om Lolo sangat sayang kepada Barry,” ucapnya. Lolo meninggal pada 1987 karena komplikasi lever.

    Ide menggelar syukuran keluarga besar Trisulo dan Lolo Soetoro pun terbit. Tapi Sonny Trisulo, adik Nucky, tak setuju. ”Itu berlebihan. Kita doakan saja Barry selamat,” kata Sonny, yang telah bertemu dengan Obama pada Juni lalu.

    Saman, ”sang pengawal” Presiden Amerika, juga tak punya rencana hajatan. Ia hanya warga jelata yang setiap hari naik sepeda motor dari rumahnya di Pulogebang, Jakarta Timur, ke kantornya untuk menyiapkan properti sekolah. Sudah sejak 1972 ia bekerja di sana. Ann-lah yang meminta PPM mempekerjakan Saman menjelang pulang ke Hawaii. Saman mengawali karier sebagai juru parkir dan masuk bagian yang ia tempati sekarang sejak 1975. Dunia Saman masih tak beranjak jauh dari mesin proyektor.

    Yos Rizal S., Iqbal Muhtarom, Cornila, Ivansyah (Cirebon), Pito Agustin (Yogyakarta)