Minggu, 02 November 2008

Bush Dijauhi Republik


AP Photo/Pablo Martinez Monsivais / Kompas Images
Presiden Amerika Serikat George W Bush (tengah) bertemu dengan calon presiden dari Demokrat, Barack Obama, dan calon dari Republik, John McCain, serta pemimpin Kongres berkaitan krisis keuangan di AS, akhir September lalu. Krisis menjadi catatan buruk lain yang ditinggalkan Bush.
Minggu, 2 November 2008 | 03:00 WIB


Tidak pernah atau jarang seorang presiden dijauhi pihak lain. Namun, hal inilah yang terjadi pada Presiden Amerika Serikat George Walker Bush. Setiap orang bangga dengan kehadiran seorang presiden walau sudah tidak menjabat. Pernah terjadi Jimmy Carter dijauhi, tetapi itu hanya sebentar. Sekarang setiap orang, bahkan dari Partai Republik, menjauhi Bush.

Bahkan, saat konvensi Partai Republik di St Paul, kehadiran Bush tidak dikehendaki. Beruntung Bush punya alasan pergi ke Houston, Texas, untuk mengawasi korban topan Gustaf. Popularitas Bush, yang terrendah sepanjang sejarah, membuat Partai Republik juga tidak merasa nyaman.

”Bush tidak lagi menjadi lame- duck, Bush adalah orang yang paling loyo sekarang ini,” kata Profesor Carole Simpson kepada wartawan Indonesia di Boston, AS, pekan ini.

Anggota DPR AS dari Partai Republik Arizona, John Shadeqq, juga mengatakan bahwa keadaan sekarang tidak menguntungkan negara.

Namun, Simpson mengatakan bahwa semua itu terjadi karena perangai Bush sendiri, yang pernah didepak oleh istrinya, Laura, karena berperangai buruk.

Keadaan ekonomi yang buruk, isu Irak yang mengecewakan warga AS, serta kroniisme yang dilakukan Bush di Gedung Putih membuat Republik menjauh. Perangai Bush seperti cowboy Texas juga turut membuat Republik menjauhinya.

John McCain sendiri, yang menjadi capres Republik, juga mengatakan dirinya sebagai maverick, orang yang lain dari partainya sendiri. Bahkan, McCain mengatakan, dia bukanlah George W Bush, sebuah pernyataan yang membuatnya jelas menjaga jaga jarak dari Presiden Bush. (Simon Saragih dari Boston, AS)

Pemilu AS


Jejak "Berat" Warisan Bush

Getty Images/John Moore / Kompas Images
Tentara Amerika Serikat berlari ke helikopter angkut Chinook seusai memasok pasukan baru dan perbekalan ke Lembah Korengal, Afganistan, 27 Oktober. Tentara AS berada di Afganistan bagian dari "perang melawan terorisme" Presiden George W Bush.
Minggu, 2 November 2008 | 03:00 WIB

Pemerintahan Presiden George Walker Bush yang berlangsung delapan tahun akan segera berakhir dengan berbagai catatan. Banyak pengamat, politisi, dan rakyat Amerika Serikat menilai bahwa presiden AS ke-43 itu adalah presiden terburuk sepanjang sejarah AS.

Tidak mengherankan bila delapan tahun pemerintahannya pun meninggalkan banyak catatan buruk. Konsekuensinya, siapa pun yang menggantikan Bush akan memikul beban berat untuk membersihkan catatan buruk itu.

Bush yang naik menjadi presiden setelah melalui hasil pemilu yang sempat kontroversial karena ketatnya persaingan suara dari lawannya, Al Gore dari Partai Demokrat, sebenarnya mewarisi kondisi sosial-politik dan ekonomi serta citra AS yang lumayan baik. Pemerintahan Presiden Bill Clinton dinilai cukup berhasil.

Akan tetapi, masa kepresidenan Bush lebih banyak dipengaruhi oleh peristiwa serangan teroris 11 September 2001 di New York dan Pentagon. Sebuah lembaran paling hitam dalam sejarah AS modern.

Bush yang tak punya pengalaman kebijakan luar negeri kemudian menetapkan target yang tinggi untuk dirinya dan negaranya. Demokrasi harus diperluas ke seluruh dunia dan memelihara peran AS sebagai satu-satunya adidaya di dunia.

Saat ini, kurang dari tiga bulan dari akhir masa jabatannya, Bush akan turun dengan catatan gagal mencapai target-targetnya itu. Ironinya, Bush bahkan akan pergi dengan meninggalkan krisis ekonomi terburuk sejak Depresi Hebat tahun 1930-an. Muncul kekhawatiran terjadi resesi dan pengangguran.

Irak dan Afganistan

Serangan 11 September 2001 yang menghancurkan menara kembar World Trade Center (WTC), New York, dibalas Bush dengan langkah gegabah menyerang Afganistan dan kemudian Irak. Ironisnya, hingga akhir masa jabatannya dia belum bisa menyelesaikan perang di Irak dan Afganistan, dua medan tempur yang disebutnya sebagai ”perang melawan terorisme”.

Bush yang tidak pernah berhenti berbicara soal kebutuhan untuk melindungi AS kini menghadapi tuduhan telah menghancurkan nilai-nilai luhur AS lewat jaringan penjara-penjara rahasianya, juga dengan menyerahkan para tahanan ke penjara yang tak tersentuh hukum di Teluk Guantanamo. Begitu juga dengan praktik-praktik interogasi yang penuh dengan penyiksaan. Alasan melawan terorisme menjadi pembenaran atas praktik tidak berperikemanusiaan itu. Langkah ini kerap kali mencemaskan para sekutu-sekutunya, mengundang kecaman meluas di dalam dan luar negeri. Masalah ini juga belum diselesaikan Bush hingga saat ini.

Meski begitu, Bush memuji diri. ”Saya rasa, saya akan diingat sebagai orang yang Anda tahu telah menghadapi banyak masalah berat untuk ditangani. Saya menghadapinya langsung dan saya tidak berusaha mundur,” katanya pada November 2007.

”Saya membuat keputusan-keputusan atas dasar prinsip-prinsip, bukan atas dasar jajak pendapat terbaru Gallup Poll,” ujarnya.

Prinsip-prinsip itu dia gambarkan sebagai sebuah misi untuk menyebarluaskan demokrasi, untuk memenangi ”perang ideologi” pada abad ke-21 ini. Hal inilah yang menjadi pusat argumentasinya untuk melakukan invasi ke Irak pada Maret 2003. Hal itu juga menjadi argumen pokok untuk doktrin ”perang preventif” yang kontroversial, saat terbukti Presiden Irak Saddam Hussein tidak memiliki senjata pemusnah massal atau punya hubungan dengan Al Qaeda.

Popularitas internasional dan nasional Bush jatuh merosot dengan terjadinya skandal Abu Ghraib. Pidato kemenangan Bush dengan tulisan besar-besar ”misi selesai dilaksanakan” ditangkap oleh kalangan sipil secara luas sebagai sebuah kebohongan besar. Namun, Bush terus menggembar-gemborkan ke mana- mana bahwa perang di Irak dan Afganistan adalah perang ”pembebasan” 55 juta orang yang ada di kedua negara itu.

”Keputusan menggusur Saddam Hussein adalah keputusan tepat di awal kepresidenan saya. Itu adalah keputusan yang tepat pada masa kepresidenan saya saat ini, dan itu selamanya akan menjadi sebuah keputusan yang benar,” katanya pada Maret 2008.

Padahal, perang itu telah membuat sejumlah sekutu tradisional AS menjauhi AS, meruntuhkan prestise AS di dunia Islam, dan akhirnya membawa partai Republik-nya kalah dalam pemilihan umum parlemen pada pertengahan tahun 2006.

Perekonomian yang buruk

Bukan hanya dalam bidang hubungan luar negeri yang merah, di bidang ekonomi pun catatan Bush buruk. Dia mengarahkan pemotongan pajak besar-besaran lewat Kongres AS, yang dikatakannya untuk menggairahkan ekonomi AS. Padahal, defisit anggaran AS semakin membesar.

Ekonomi AS yang semula berada dalam kondisi baik, perlahan tetapi pasti, semakin merosot dengan dialihkannya sebagian besar anggaran untuk membiayai perang di Irak, Afganistan, dan upaya-upaya melawan terorisme lainnya. Apa yang disebutnya perang melawan terorisme itu telah mengalahkan berbagai kepentingan AS lainnya.

Akibatnya, banyak publik AS masih mengingat gambar-gambar menyedihkan akibat buruknya respons pemerintahan Bush terhadap topan Katrina, yang meluluhlantakkan sebagian besar wilayah New Orleans.

Di akhir masa jabatannya, Bush pun tak berdaya mencegah AS dari krisis keuangan yang kemudian dampaknya menyebar ke seluruh bagian dunia. Meski berbagai upaya coba dilakukan, Bush sudah sangat terlambat.

Apakah Bush kini kemudian menyadari bahwa masalah krisis ekonomi jauh menyengsarakan AS dan sebagian besar warga dunia ketimbang perang melawan terorisme yang dia agung-agungkan itu? Sulit ditebak.

Bagi beberapa orang, seperti pemimpin mayoritas Senat Harry Reid dari Demokrat, atau Profesor Elizabeth Sanders dari Cornell University, Bush akan tercatat sejarah sebagai ”presiden terburuk”. Akan tetapi, para pendukungnya yang saat ini sekitar tiga dari setiap 10 warga AS mengagumi keteguhan Bush pada prinsip dan meyakini sejarah akan membersihkan namanya.

Sidney Milkis, seorang profesor masalah luar negeri dan pemerintahan di University of Virginia, mencatat bagaimana tidak populernya Harry S Truman dan Perang Korea ketika dia turun dari jabatannya. ”Perasaan terhadap Truman persis sama, tetapi kemudian sejarah memperlakukan Truman dengan baik. Ada saja kemungkinan sejarah menilai George Walker Bush lebih baik daripada yang kita pikir soal dia pada saat ini,” ujarnya.

Meski demikian, Milkis juga berhati-hati sebab terjadinya krisis keuangan global akan membuat kemungkinan itu jauh lebih sulit. ”Jadi, ketimbang Truman, analogi mengenai dia lebih pas dengan (Herbert) Hoover,” ujarnya. Hoover dipersalahkan hingga saat ini karena gagal mencegah depresi hebat akibat dari bobroknya ekonomi AS.

Bush sendiri tampak tidak peduli bagaimana sejarah akan menilainya. ”Saya sudah akan mati sebelum mereka akhirnya menyimpulkan bagaimana pemerintahan saya karena membutuhkan waktu untuk mendapatkan sejarah yang benar mengenai sebuah pemerintahan,” katanya. (Rakaryan Sukarjaputra)

Dari Ohio hingga Colorado, Ajang Pertarungan Kunci


Sabtu, 1 November 2008 | 02:02 WIB

Pemenang pemilu presiden AS pekan depan tampaknya akan ditentukan di sejumlah negara bagian mengambang, atau yang biasanya disebut "medan pertempuran" (”battleground”). Berdasarkan sejarah pemilu presiden, sebuah negara bagian secara konsisten mendukung satu partai. Namun, ada beberapa negara bagian yang komposisinya begitu terbagi secara politis sehingga dukungan warganya berubah-ubah dari satu partai ke partai lain.

Ada negara bagian yang secara tradisional menjadi medan perebutan suara, seperti Florida dan Ohio. Pada pemilu presiden tahun 2008 ini, ada beberapa negara bagian mengambang baru, seperti Virginia dan North Carolina. Selama ini, negara bagian itu mendukung kandidat presiden Partai Republik, tetapi dalam pemilu lokal baru-baru ini mereka cenderung memilih kandidat Partai Demokrat.

Kedua kandidat presiden AS pada pemilu 2008, Barack Obama dari Partai Demokrat dan John McCain dari Partai Republik, menggelontorkan dana kampanye besar-besaran di negara bagian mengambang untuk merebut simpati pemilih. Berdasarkan data Campaign Media Analysis Group, sejauh ini Obama telah membelanjakan 182 juta dollar AS dan McCain menghabiskan 118 juta dollar AS untuk iklan.

Ketat

Hasil jajak pendapat oleh Reuters/Zogby menunjukkan, Obama unggul di lima dari delapan negara bagian kunci, sementara McCain unggul di dua negara bagian. Di Florida, keduanya bersaing ketat.

Berikut gambaran di beberapa negara bagian mengambang yang menjadi ajang perebutan kedua kandidat.

- Colorado (9 ”electoral votes”). Pada pemilu tahun 2004, George W Bush (Republik) mengalahkan John Kerry (Demokrat) 52 persen lawan 47 persen. Colorado adalah negara bagian dengan konsentrasi pemilih keturunan Hispanik yang kuat. Colorado banyak memberi perhatian pada isu reformasi imigrasi, serikat pekerja, dan upah minimal yang memungkinkan negara bagian ini mendukung Demokrat. Sejak tahun 2004, banyak kandidat Demokrat memenangi kursi DPRD dan jabatan gubernur. Jajak pendapat menunjukkan, Obama unggul 12 poin atas McCain.

- Florida (27 ”electoral votes”). Bush mengalahkah Kerry pada pemilu 2004 dengan perolehan 52 persen lawan 47 persen. Florida adalah pemain kunci dalam pemilu 2000 yang kontroversial dan akhirnya memenangkan Bush. Letaknya yang berada di selatan membuat Florida cenderung menjadi basis kuat Republik. Demokrat berharap bisa meraih dukungan pemilih keturunan Afrika-Amerika dan Hispanik. Pemilih berusia tua dan Yahudi cenderung mendukung McCain. Sebuah jajak pendapat menunjukkan, Obama unggul 1 poin atas McCain, jajak pendapat lain menunjukkan McCain unggul 2 poin atas Obama.

- Indiana (11 ”electoral votes”). Secara tradisional, Indiana adalah basis kuat Republik. Akan tetapi, tahun 2006 Demokrat memenangi tiga kursi DPR lokal. Indiana tidak pernah memilih kandidat Demokrat sejak Lyndon B Johnson tahun 1964. Pada pemilu 2004, Bush mengalahkan Kerry dengan selisih 20 poin. Jajak pendapat menunjukkan, McCain unggul 6 poin atas Obama.

- Missouri (11 ”electoral votes”). Negara bagian ini dijuluki ”pemimpin kawanan” yang telah lama menentukan mood bangsa AS. Inilah negara bagian yang menentukan sebagian besar pemenang kursi presiden AS. Bush mengalahkan Kerry pada pemilu 2004 dengan 53 persen berbanding 46 persen. Pertarungan kandidat pemilu tahun ini di Missouri cukup ketat. Sebuah jajak pendapat terkini menunjukkan bahwa Obama unggul 1-2 poin dan jajak pendapat lain menunjukkan, McCain unggul 1 poin.

- New Hampshire (4 ”electoral votes”). Pada pemilu 2004, Kerry mengalahkan Bush dengan selisih 1 poin. Negara bagian ini pernah menjadi andalan Republik, tetapi menjadi negara bagian mengambang sejak 1990. New Hampshire adalah satu-satunya negara bagian yang memenangkan Bush tahun 2000 dan kemudian memenangkan Kerry tahun 2004, meskipun dengan selisih tipis. Kemenangan McCain dalam pemilu pendahuluan memberi dia harapan bisa menang di New Hampshire. Tahun 2006, Demokrat meraih dua kamar di Kongres. Jajak pendapat terkini menunjukkan, Obama unggul hingga 15 poin atas McCain.

- New Mexico (5 ”electoral votes”). Bush mengalahkan Kerry dengan selisih kurang dari 6.000 suara pada pemilu 2004. McCain yang berasal dari Arizona, tetangga New Mexico, cukup dikenal pemilih New Mexico. Namun, blok pemilih Hispanik (40 persen populasi) yang terus bertambah menguntungkan Obama. Jajak pendapat terkini menunjukkan, Obama unggul 5-8 poin.

- Nevada (5 ”electoral votes”). Sebanyak 8 dari 10 pemilu presiden terakhir di negara bagian ini dimenangi kandidat Republik. Pada pemilu 2004, Bush mengalahkan Kerry dengan selisih 20.000 suara. Tumbuhnya populasi Hispanik yang mencapai seperempat jumlah penduduk menjadikan Nevada ajang perebutan suara. Jajak pendapat mengunggulkan Obama 4 poin atas McCain.

- North Carolina (15 ”electoral votes”). Meskipun kandidat wapres dari Demokrat pada pemilu 2004, John Edwards, berasal dari sini, Bush bisa mengalahkan Kerry dengan selisih 12 poin. Lebih dari seperlima populasi di North Carolina adalah kulit hitam yang bisa memberi peluang bagi Obama. Jajak pendapat menjagokan Obama 1-4 poin dan jajak pendapat lain mengunggulkan McCain dengan 2 poin.

- Ohio (20 ”electoral votes”). Negara bagian ini menjadi penentu kemenangan Bush tahun 2004 atas Kerry dengan selisih 120.000 suara. Tidak ada kandidat Republik yang menang pemilu tanpa memenangi Ohio. Namun, tahun 2006 Ohio memilih gubernur Demokrat, Sherrod Brown. Jajak pendapat mengunggulkan Obama hingga 5 poin, sementara pada jajak pendapat lain McCain unggul 3 poin.

- Pennsylvania (21 ”electoral votes”). Kerry mengalahkan Bush dengan 51 persen lawan 48 persen tahun 2004. Pennsylvania cenderung mendukung Demokrat sejak tahun 1992. Namun, populasinya yang beragam membuat negara bagian ini mengambang. Jajak pendapat menunjukkan, Obama unggul hingga 13 poin.

- Virginia (13 ”electoral votes”). Bush menang mudah dengan selisih 9 poin atas Kerry tahun 2004. Negara bagian ini tidak pernah memilih Demokrat sejak tahun 1964. Namun, baru-baru ini mereka memilih gubernur dan anggota senat dari Demokrat. Menurut jajak pendapat, Obama unggul 7-8 poin.

- Wisconsin (10 ”electoral votes”). Kerry menang tipis dengan selisih 11.000 suara atas Bush tahun 2004. Obama mengalahkan saingannya, Hillary Clinton, dalam pemilihan pendahuluan Demokrat. Jajak pendapat mengunggulkan Obama hingga 7 poin. (Fransisca Romana Ninik)

Agama Pemilih Bukan Lagi Penentu Utama


Sabtu, 1 November 2008 | 03:00 WIB

Sejarah pemilu AS selalu mencatat pengaruh penganut agama dan pilihannya terhadap calon presiden. Namun, kini sejarah itu diperkirakan akan berubah. Tidak ada alasan paling kuat bagi pemilih selain menanti tawaran terbaik dari para kandidat presiden soal jalan keluar dari krisis keuangan hebat yang melanda seluruh negeri.

Agama sangat berpengaruh dalam masyarakat AS, di mana delapan dari 10 warganya menyatakan masih percaya pada Tuhan. Hasil jajak pendapat Pusat Penelitian Pew pada musim panas tahun ini menunjukkan bahwa peta pilihan kelompok penganut agama-agama di AS pada pemilu tahun ini masih sama dengan Pemilu 2004. Kala itu, suara kaum Evangelis sangat membantu Presiden George W Bush terpilih untuk yang kedua kalinya.

Namun, kini peta itu berubah. Masalah ekonomi tampaknya lebih menarik perhatian, termasuk dibandingkan dengan persoalan terkait moral yang selama ini memengaruhi suara di kalangan penganut keagamaan di AS. Dengan kata lain, agama pemilih di AS tidak akan terlalu menentukan hasil Pemilu AS atau minimal untuk sekadar memproyeksikan calon pemenang pada pemilu presiden pada 4 November nanti.

Direktur Institute Ray C Bliss dan peneliti senior di Forum Pew di bidang agama dan masyarakat umum, John Green, menyatakan, perhatian semua kelompok religius lebih mengarah pada persoalan ekonomi. Apalagi, kini tak seorang pun dari dua kandidat presiden AS, John McCain dari Partai Republik dan Barack Obama dari Partai Demokrat, sungguh fokus pada masalah-masalah sosial yang biasanya membuat pandangan warga AS terbelah, yakni aborsi, pendidikan sosial, serta perkawinan sesama jenis, terutama kaum gay.

Meskipun demikian, toh sejumlah proyeksi terkait pilihan penganut keagamaan di AS terhadap calon presiden negeri itu tetap dilakukan. Penganut Protestan tetap merupakan mayoritas di AS saat ini, dengan pembagian sekitar 51,3 persen dari lebih dari 305 juta penduduk AS, atau 26,3 persen dari warga usia dewasa menyebut mereka kaum Evangelis, 18,1 persen mengaku sebagai penganut Protestan ”klasik”, serta 6,9 persen termasuk dalam gereja-gereja Protestan kaum kulit hitam.

Suara mengambang

Sementara itu, penganut Katolik, yang diperkirakan jumlahnya 23,9 persen di AS, terus tumbuh dalam jumlah seiring terus bertambahnya jumlah imigran asal Amerika Latin di AS. Sementara penganut Yahudi, yang jumlahnya sekitar 1,7 persen dari total populasi, diperkirakan jumlahnya setara dengan penganut Mormon.

Penganut Evangelis, yang berpegang teguh pada Injil, bersama kaum Mennonite dan Pantekosta, sepakat memberikan suaranya kepada Presiden Bush pada Pemilu 2004. Sekitar 78 persen penganut Evangelis kaum putih memilih Bush. Pemilihan Sarah Palin yang terkenal sangat konservatif sebagai pendamping McCain berpotensi mendongkrak perolehan suara pasangan calon dari Partai Republik itu.

Menurut jajak pendapat, sejak Palin dipilih pada awal September, 48 persen kaum Evangelis menyatakan akan memilih McCain. Dibandingkan dengan sebelum pemilihan Palin, suara kaum Evangelis tidak lebih dari 24 persen. Pada akhir September, menurut jajak pendapat Pew, 69 persen penganut Evangelis kulit putih telah siap memilih McCain. Sementara yang menyatakan pilihannya untuk Obama hanya sekitar 21 persen.

Opini terhadap pilihan antara McCain dan Obama lebih beragam terdapat pada penganut Protestan klasik. Suara mereka terbelah pada dua figur itu, melebihi kondisi yang ada pada pemilu tahun 2000 dan 2004. Ini terutama karena fakta bahwa Obama mengaku menjadi salah satu penganut Protestan klasik.

Jajak pendapat pada akhir September menunjukkan, 44 persen penganut Protestan klasik akan memilih McCain, sementara 43 persen memilih Obama. Namun, faktor Obama yang adalah calon presiden AS kulit hitam pertama dalam sejarah yang dinominasikan oleh salah satu partai besar jelas telah menarik dukungan tak kurang dari 96 persen penganut Protestan kulit hitam.

Kelompok agama yang dapat mengejutkan adalah penganut Katolik, yang sering dideskripsikan sebagai pemilih mengambang.

”Benar sekali jika penganut Katolik memegang peranan krusial dalam pemilihan presiden AS, terutama dalam dua pemilu terakhir. Sebab, mereka membagi suaranya pada sejumlah partai, bahkan memindahkan pilihannya pada satu partai ke partai yang lain,” kata Green.

Dalam sejumlah jajak pendapat, kaum Katolik tampaknya lebih memilih McCain, terutama di kalangan penganut Katolik moderat. Namun, survei menunjukkan bahwa Obama ternyata pun menarik perhatian para penganut Katolik, khususnya dari kaum Hispanik.

Akhir September lalu, merujuk pada hasil jajak pendapat Pew, kaum Katolik lebih banyak memilih McCain (52 persen) daripada Obama (39 persen).

Laporan Center for Aplied Research in Apostolate Universitas Georgetown di Washington, 4 dari 10 kaum Katolik di AS tinggal di New York, California, dan Texas. Sebagaimana terlihat, New York dan California adalah basis Demokrat, sementara Texas condong ke Republik.

Kaum Katolik konservatif diperkirakan akan sejalan dengan kaum Evangelis dalam sejumlah isu, seperti aborsi. Namun, kaum Katolik liberal tampaknya juga mendukung Partai Demokrat, khususnya pada sejumlah isu ekonomi yang diangkat.

Sementara itu, kaum Yahudi, yang secara tradisional mendukung Partai Demokrat, lebih memilih bersikap skeptis atas pemilu AS, tetapi tetap menaruh hormat untuk Obama.(Benny Dwi Koestanto)

Kemenangan Obama Bagus bagi Indonesia?


Sejumlah warga negara Indonesia, Minggu (8/6) di Jakarta, bertekad mendukung Barack Obama agar sukses menjadi presiden AS.
Jumat, 31 Oktober 2008 | 10:02 WIB

Oleh Bara Hasibuan

Pemilihan Presiden Amerika Serikat kali ini dinantikan dengan antusiasme tinggi oleh banyak kalangan di Indonesia. Antusiasme itu sangat beralasan. Belum pernah terjadi sebelumnya seseorang yang memiliki hubungan historis yang begitu kuat dengan Indonesia menjadi kandidat salah satu partai dan bahkan mempunyai kans yang sangat besar untuk menang.

Banyak kalangan di Indonesia juga menyimpulkan bahwa jika Barack Obama benar-benar terpilih menjadi Presiden AS, secara otomatis hubungan bilateral Indonesia dan AS akan berubah secara dramatis, dalam arti lebih dekat dan menguntungkan Indonesia.

Namun, betulkan begitu? Apakah hanya karena Obama pernah tinggal di Indonesia selama beberapa tahun semasa kecilnya, maka sebagai presiden, ia akan memberikan perhatian ekstra terhadap Indonesia? Satu hal yang pasti, kebijakan luar negeri bukan ditentukan oleh romantisme, melainkan prioritas dan kepentingan strategis.

Masalahnya kita tidak bisa menduga sampai seberapa strategis Indonesia bagi Obama karena Indonesia sebagai isu tidak pernah sekali pun disinggung selama masa kampanye, baik itu di dalam debat maupun pidato. Di dalam sebuah pidato kebijakan luar negeri yang paling komprehensif yang disampaikan Obama tahun lalu di Chicago, Indonesia hanya disinggung satu kali dan itu pun bukan di dalam konteks kepentingan strategis AS.

Rencana kebijakan luar negeri Obama, seperti yang tercantum di dalam situs web kampanyenya, hanya menyatakan bahwa ia akan seek new partnerships in Asia (mencari kerja sama-kerja sama baru di Asia) tanpa menyebutkan secara spesifik negara-negara mana saja di Asia yang akan diberikan prioritas baru.

Satu-satunya referensi serius yang Obama pernah kemukakan mengenai Indonesia adalah dalam konteks masa kecilnya yang ia pernah habiskan di negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Hal itu memberikannya perspektif yang paling unik dibandingkan dengan kandidat-kandidat lainnya untuk menghadapi salah satu tantangan utama yang akan dihadapi oleh Presiden AS nantinya, yaitu memperbaiki citra AS di dunia Muslim.

Kalau proses kampanye tidak dapat dijadikan ukuran bagaimana seorang kandidat memandang satu isu tertentu, cara lain yang bisa dilakukan adalah melihat rekor kandidat tersebut selama karier politiknya, yang dalam konteks Obama adalah posisinya sebagai senator. Sayangnya, itu juga tidak mudah untuk menyimpulkan nilai strategis Obama bagi Indonesia.

Tidak banyak orang di Indonesia—atau bahkan di AS—yang sadar bahwa Obama sebetulnya duduk di Subkomisi Asia Timur dan Pasifik di Komisi Hubungan Internasional Senat, subkomisi yang mengover isu-isu Indonesia. (Di Kongres AS setiap komisi dibagi lagi menjadi subkomisi berdasarkan isu-isu spesifik dan setiap senator/anggota kongres duduk di lebih dari satu komisi). Namun, walaupun begitu, Obama selama ini tidak dikenal sebagai senator yang mengangkat isu Indonesia.

Betul, walaupun kalau berbicara soal prioritas atas Asia di Kongres AS, isu Indonesia kalah dibandingkan dengan China, Korea Utara, Afganistan, India, dan Jepang. Ada beberapa senator dan congressmen (anggota House of Representatives-DPR) yang dikenal sering mengangkat isu Indonesia, apakah itu dalam arti kritis ataupun supportive. Sebut saja Senator Kit Bond, Senator Patrick Leahy, congressman Eni Faleomavaega dan congressman Robert Wexler.

Tidak jelas kenapa Obama tidak pernah menggunakan keanggotannya di SubKomisi Asia Pasifik untuk mengangkat isu-isu Indonesia. Dengan ikatan historis sebesar itu, Obama seharusnya bisa memosisikan dirinya sebagai sekutu Indonesia di Kongres. Satu hal yang mungkin, dari awal kariernya sebagai Senator—yang ia mulai Januari 2005—Obama sudah mulai memikirkan kemungkinan untuk maju sebagai calon presiden pada pemilihan tahun 2008 sehingga ia tidak ingin terlalu diasosiasikan dengan Indonesia. Atau, yang lebih mungkin, bagi Obama, Indonesia tidak memiliki nilai strategis dibandingkan dengan prioritas kebijakan luar negeri lainnya.

Memang dapat dipastikan siapa pun yang memerintah AS nantinya—Obama sekalipun— prioritas kebijakan luar negeri AS pada umumnya tidak akan berubah. AS tetap akan terkonsumsi pada isu-isu yang selama ini menyedot perhatian pemerintahan Bush, seperti situasi di Irak, masalah program nuklir Iran, penyelesaian konflik Israel-Palestina, terorisme global, isu keamanan energi, serta makin agresifnya Rusia sebagai kekuatan ekonomi dan militer.

Secara gaya dan pendekatan betul akan terdapat perbedaan fundamental kalau Obama yang menang, di mana prinsip multilateral lebih ditekankan. Namun, secara prioritas tidak akan ada perubahan dramatis.

Secara spesifik mengenai Asia, kebijakan luar negeri AS nantinya akan tetap pula didominasi isu- isu klasik, seperti berkembangnya China sebagai sebuah kekuatan ekonomi dan militer, penyelesaian isu program nuklir Korea Utara, instabilitas di Pakistan dan Afganistan, serta berkembangnya India sebagai kekuatan ekonomi. AS juga tetap akan mempertahankan hubungan dengan sekutu-sekutu tradisionalnya di Asia Pasifik, yaitu Jepang, Korea Selatan, dan Australia.

Kongres

Faktor lain yang harus diperhatikan adalah Kongres, institusi yang juga memiliki otoritas dan peran penting di dalam menentukan arah kebijakan luar negeri AS melalui apa yang sering disebut sebagai power of the purse (kekuatan dompet) atau diartikan dengan kekuatan melalui fungsi budgetingnya. Sering sekali Kongres mengeblok suatu alokasi dana atas program atau bantuan untuk negara tertentu, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu atas program IMET untuk Indonesia. Dalam memberikan persetujuan terhadap alokasi dana, Kongres juga selalu mencantumkan kondisi-kondisi yang menyebabkan ruang gerak pihak eksekutif di dalam memainkan politik luar negeri sering terbatas.

Setelah pemilihan tahun 2008 nanti. hampir pasti Kongres tetap akan dikuasai oleh Partai Demokrat (bahkan dengan jumlah kursi yang lebih banyak). Itu berarti isu-isu seperti hak asasi manusia, peran militer dan buruh, yang selama ini sering mengganjal hubungan bilateral AS dan Indonesia, mungkin akan tetap muncul.

Betul salah satu yang membuat rakyat AS tertarik dengan Obama adalah bahwa, sebagai presiden, ia akan mempunyai kemampuan untuk memobilisasi dukungan dari Kongres, tidak hanya dari anggota-anggota Partai Demokrat, tetapi juga Partai Republik. (Satu hal yang membuat rakyat Amerika muak dengan para politisi di Washington adalah dominannya semangat partisan sempit di proses politik sehingga sering terjadi gridlock atau kemacetan). Namun, belum bisa dipastikan apakah sebagai presiden, Obama akan mampu untuk mengubah posisi anggota-anggota partainya sendiri atas isu-isu yang secara tradisional melekat pada mereka. Tidak dapat dipastikan apakah Obama bersedia untuk memengaruhi anggota Partai Demokrat atas isu yang bukan merupakan prioritas pemerintahannya.

Yang juga penting untuk dicatat, secara ideologis Obama adalah seorang liberal. Bahkan, ia dinobatkan sebagai senator yang paling liberal pada tahun 2007 oleh majalah National Journal. Dengan begitu, secara prinsipil dan insting kemungkinan akan sulit baginya untuk tidak mengacuhkan isu-isu seperti hak asasi manusia dan buruh.

Selama masa kampanye pun, terutama selama proses nominasi Partai Demokrat, Obama beberapa kali mengeluarkan statemen bahwa sebagai presiden, ia akan mencantumkan isu-isu buruh dan hak asasi manusia sebagai kondisi penting dalam menyusun perjanjian perdagangan bebas dengan negara lain. Ia juga pernah mengkritik tajam berbagai perjanjian perdagangan bebas yang sudah ditandatangani AS, termasuk yang paling penting Area Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) karena kurang memerhatikan isu-isu buruh. Bahkan, ia juga pernah menyatakan, jika terpilih sebagai presiden, ia akan melakukan review atas berbagai perjanjian perdagangan bebas AS yang tidak memerhatikan isu-isu buruh.

Prospek kemenangan Obama

Meskipun demikian, prospek terpilihnya Obama akan tetap merupakan sesuatu yang menggairahkan. Dibandingkan dengan calon dari Partai Republik, John McCain, tidak dapat dibantah Obama-lah yang paling dapat memperbaiki image global AS secara cepat. Ia mempunyai aset yang sangat dahsyat, yaitu latar belakang dan wajahnya. Aset inilah yang merupakan manifestasi dari the new America yang plural dan berdasarkan prinsip siapa pun dengan latar belakang apa pun punya kesempatan untuk maju.

Aset inilah yang juga dapat direpresentasikan soft power AS untuk menghadapi tantangan terbesar yang akan menghadapi pemerintahan AS baru nanti, yaitu bagaimana memenangkan hati dan pikiran banyak pihak di dunia, termasuk di Indonesia, yang selama ini teralienasi oleh berbagai kebijakan kontroversial pemerintahan Bush.

Bayangkan efek yang dapat diciptakan atas citra AS ketika Obama sebagai presiden datang ke Indonesia dan mengunjungi bekas sekolahnya di Menteng. Namun, adalah sesuatu ilusi kalau itu semua akan secara otomatis membawa hubungan AS-Indonesia ke level yang baru, dalam arti lebih menguntungkan Indonesia. Untuk dapat memanfaatkan kemenangan Obama sebagai dasar untuk meningkatkan hubungan AS-Indonesia, tidak semata-mata tergantung dari pihak AS, tetapi kita di Indonesia juga.

Bara Hasibuan Congressional Fellow 2002-2003

Dukungan Menjauh, McCain Berjanji Kalahkan Obama

John McCain mengangkat Alyasa Howald yang baru berusia 16 bulan dalam kampanyenya di Mentor High School, Ohio, 30 Oktober 2008
Jumat, 31 Oktober 2008 | 21:41 WIB

WASHINGTON, JUMAT - Tinggal 4 hari lagi menuju pemilihan presiden AS, calon presiden AS dari partai Republik John McCain mengintensifkan pesannya yang tak populer untuk memenangkan dukungan di Ohio, Jumat (31/10). Sementara rival McCain, Barack Obama mengaitkan rivalnya itu dengan kebijakan Presiden George W. Bush yang selama ini dituding sebagai penyebab utama krisis keuangan di AS.

Hasil jajak pendapat terbaru yang diadakan oleh Associated Press-Yahoo News menunjukkan Obama unggul dari McCain dengan perbandingan suara 51 per 43 persen dan marjin kesalahan plus atau minus 3 poin persentase. Namun, hasil survei itu menunjukkan 1 dari 7 suara atau sekitar 14 persen tak dapat memutuskan atau menyampaikan dukungannya pada salah satu capres.

Hasil jajak pendapat nasional yang diadakan oleh CBS-NY Times menunjukkan Obama dan wakilnya Joe Biden meraih 52 persen suara. Sementara McCain dan Sarah Palin mendapatkan 39 persen suara.

Dalam wawancara dengan televisi ABC Jumat ini, McCain menuduh kebijakan ekonomi Obama berhaluan kiri. "Kebijakan ekonomi Senator Obama berhaluan kiri sementara kebijakan kami berhaluan tengah," kata McCain. "Pesan kebijakan Obama jelas, yaitu menaikkan pajak warga AS."

McCain menggencarkan kampanye dengan menumpangi bus “Straight Talk Express” pada hari kedua dengan singgah di Hanoverton dan kemudian Columbus bersama Gubernur California Gubernur California Arnold Schwarzenegger. Sementara Obama berkampanye di Midwest Jumat ini dan singgah sebentar untuk bertemu dengan anak-anaknya di Chicago sebelum meneruskan perjalanan ke Des Moines.

Obama telah berjanji akan meningkatkan pajak pada mereka yang berpenghasilan lebih 250.000 dollar AS per tahun serta menurunkan pungutan pajak bagi keluarga yang berpenghasilan di bawah pendapatan itu. Menurut Obama, kelompok yang diuntungkan dari pemotongan pajak itu mencapai 95 persen dari kalangan rumah tangga di AS.

Obama Tebar Pesona di Kandang Republik


Barack Obama menyempatkan diri berjabat tangan dengan kerumunan orang yang menghadiri kampanyenya di Widener University Main Quad, 28 Oktober 2008, di Chester, Pennsylvania.
Sabtu, 1 November 2008 | 22:03 WIB

WASHINGTON,SABTU-Barack Obama yang terus diunggulkan dalam berbagai jajak pendapat kian percaya diri. Calon presiden partai Demokrat itu pun berani menebar pesona di negara-negara bagian yang secara tradisional dikuasai Republik.

Obama akan menggelar kampanye di kandang Republik di hari-hari terakhir kampanye. Obama menuju Nevada, Colorado, dan Missouri, Sabtu (1/11). Dia dijadwalkan berkampanye di Ohio sepanjang Minggu (2/11) termasuk kampanye di Cleveland bersama penyanyi Bruce Springsteen. Setelahnya, Obama menggebrak Virginia dan Florida pada malam pemilihan.

Sementara itu, John McCain berjuang mempertahankan dominasinya di negara-negara bagian tersebut seperti Virginia yang senantiasa memenangkan Republik. George W Bush juga menang pemilu 2004 di antaranya setelah unggul di Virginia.

"Jika Anda memilih saya pada Selasa, kita tidak hanya memenangkan pemilu, kita akan mengubah negara ini dan mengubah dunia," kata Obama dalam pidato mingguan radio Partai Demokrat, Sabtu (1/11).

Dalam pidatonya, Obama kembali menegaskan pemilu terjadi saat krisis ekonomi paling buruk melanda sejak krisis serupa, Depresi Hebat, pada 1930. Ia pun berjanji berinvestasi di bidang energi, memangkas biaya kesehatan dan menyelesaikan perang Irak.

Di sisi lain, tim kampanye McCain menegaskan popularitas McCain kian mendekati
Obama dalam beberapa hari terakhir. Para pembantu McCain mengatakan McCain saat ini tertinggal empat poin dari Obama dalam jajak pendapat nasional. Namun, popularitas Senator Arizona itu kini, menurut tim kampanye McCain, telah berimbang dengan Obama.

McCain boleh berkoar bahwa ia kini berhasil mengimbangi Obama. Namun, faktanya Obama masih terlalu kuat. Dalam jajak pendapat terakhir di Virginia saja, Obama mampu mengungguli McCain. Padahal, Demokrat tidak pernah menang di Virginia sejak 1964.

Jajak pendapat Associated Press-Yahoo menunjukkan Obama unggul 51-43 dibanding McCain secara nasional. Meskipun satu dari tujuh pemilih, totalnya 14 persen, mengatakan mereka belum menjatuhkan pilihan atau ada kemungkinan berubah pikiran.

Dana "Pesta" Rp 12,6 Triliun


Calon presiden AS dari Partai Demokrat, Barack Obama, berbicara di depan lebih dari 150.000 orang dalam kampanye di Civic Center Park, Denver, Colorado, Minggu (26/10). Kampanye Obama di sejumlah negara kunci dalam sepekan ini dihadiri sekitar 400.000 orang. Obama akan berhadapan dengan calon presiden AS dari Partai Republik, John McCain, pada pemilu 4 November nanti.
Sabtu, 1 November 2008 | 15:14 WIB

Berapa biaya sewa per jam pesawat Boeing 757, ”O Force One”, yang disewa Barack Obama, calon presiden dari Partai Demokrat? Sebesar 20.000 dollar AS atau Rp 200 juta per jam. Bukan masalah besar.

Sewa pesawat Obama adalah bagian dari belanja kampanye supermewah dalam pemilu AS kali ini. Itu bukan masalah karena dana kampanye yang terkumpul kali ini juga sebuah rekor. Sudah di atas 1 miliar dollar AS.

Pada pemilu presiden tahun 2004, dana kampanye mencapai 693 juta dollar AS atau sekitar Rp 6,3 triliun. Tahun 2008, Komisi Pemilu Federal mengumumkan, total dana kampanye dua kandidat presiden, Obama dari Partai Demokrat dan John McCain dari Partai Republik, mencapai 1,2 miliar dollar AS atau Rp 12,6 triliun. Rekor baru.

Selama September lalu, McCain meraup dana baru hingga 230 juta dollar AS dan membelanjakan 194 juta dollar AS. Namun, Obama meraup 454 juta dollar AS dan belanja 377 juta dollar AS.

Dana kampanye Obama sebesar 95 persen didapat dari pribadi-pribadi lewat internet. Manajer kampanye Obama, David Pouffle, mengaku punya tambahan 632.000 pendonor baru selama September. Mereka meraup 3,1 juta dollar AS atau sekitar 86 dollar AS per orang.

Obama pun menjadi kandidat pertama yang membiayai hampir seluruh kampanye dari sumbangan pribadi-pribadi.

Dukungan dari tokoh, seperti mantan Menlu Colin Powell, semakin mendongkrak penggalangan dana kampanye Obama. Konser oleh rocker legendaris Bruce Springsteen dan Billy Joel menambah 7 juta dollar AS bagi pundi-pundi Obama.

McCain lebih mengandalkan pendonor dari partai. Situs Usatoday.com menulis, lebih dari 500 donatur terkaya Partai Republik memasok 75,6 juta dollar AS. Pengusaha Donald Trump, pemilik usaha San Diego Chargers Alex Spanos, dan mantan CEO Univision Jerry Perenchio adalah pendukung McCain.

Rod Pachero, misalnya, menyumbang lebih dari 50.000 dollar AS. Pengacara ini pemuja sang veteran Perang Vietnam tersebut. ”Saya tidak menuntut apa pun selain melihatnya menjadi presiden,” ujar Rod.

Belanja supermewah

Dengan besarnya dana, para kandidat tak sulit memilih fasilitas terbaik dengan nilai belanja supermewah. Obama mencarter pesawat Boeing 757-200 ER milik North American Airlines untuk kampanye. Brad Blakeman yang pernah menangani penerbangan Presiden George Walker Bush mengatakan, sewa Boeing 757 setidaknya 20.000 dollar AS atau Rp 200 juta per jam. Obama menyewa pesawat tadi sejak tahun lalu.

Obama memoles slogan ”Change We Can Believe In” dan barackobama.com pada kedua sisi pesawatnya. Dari segi fasilitas, pesawat ”O Force One” ini tergolong kelas satu. Di belakang kokpit ada areal VIP untuk Obama serta tamu penting. Juga ada kabin dengan empat kursi untuk rapat atau makan.

Ada kursi khusus Obama di kabin, dibubuhi tulisan ”Obama ’08 dan ”President” yang dibordir di belakang kursi.

”Kabin para calon presiden tipikal kelas bisnis. Lebih mirip kamar, lebih rapi dibandingkan dengan kabin staf dan pers. Sangat memadai,” kata wartawan Politico, Mike Allen, yang kerap ikut terbang bersama Obama, seperti dikutip CBSNews.

Sementara itu, wartawan CBSNews, John Bentley, mengatakan, McCain menggunakan pesawat lebih kecil, Boeing 737. Pesawat itu punya empat kompartemen, yaitu kelas satu tempat McCain biasa duduk, areal untuk wawancara, areal kelas bisnis untuk staf, dan belakang untuk media.

Belanja supermewah lainnya adalah urusan berpakaian dan mempercantik penampilan. Republican National Committee (RNC) menghabiskan sampai 150.000 dollar AS untuk pakaian dan aksesori kandidat wakil presiden Sarah Palin.

Palin belanja di sejumlah tempat terkemuka, seperti Saks Fifth Avenue dan Macy’s and Neimann Marcus. Hanya mimpi bagi orang kebanyakan. Palin membayar 49.425 dollar AS di Saks Fifth Avenue di St Louis dan New York.

Palin juga membayar 75.000 dollar AS di Neiman Marcus, Minneapolis. Pengeluaran ilegal menurut aturan Komisi Pemilihan Federal, yang melarang dana kampanye dipakai untuk pribadi. ”Semuanya akan dipakai untuk tujuan amal setelah kampanye berakhir,” ujar Tracey Schmitt, jubir McCain dan Palin, membela diri. (Irma tambunan)

"Leftist America" / Amerika Kiri


Para pendukung Barack Obama tampak menggigil menahan rasa dingin saat mendengarkan pidato senator Illinois itu dalam kampanye di Widener University, Chester, Pennsylvania


Sabtu, 1 November 2008 | 15:27 WIB
Oleh Jeffrey Johanes Massie

Tampaknya slogan ”change (we can believe in)” yang diusung Senator Barack Hussein Obama dalam kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat 2008 bukanlah sembarang retorika. Obama secara meyakinkan ingin mengubah AS menjadi sebuah negara yang berhaluan sama dengan paham politiknya, yakni ekstrem kiri (”leftist”).

Indikasi ini terbukti saat Obama berkampanye dan berinteraksi dengan seorang tukang leding bernama Joe Wurzelbacher di Ohio, beberapa pekan lalu. Obama mengemukakan idenya untuk menjalankan program ”redistribusi kekayaan”.

Wurzelbacher, yang belakangan terkenal dengan julukan ”Joe the Plumber”, dalam kesempatan itu melontarkan pertanyaan kepada sang capres perihal apakah pengusaha seperti dirinya akan menjadi korban dari rancangan paket pajak versi Obama.

Dijelaskan oleh Obama bahwa paket pajak yang dikampanyekannya bertujuan tidak untuk menghukum kesuksesan si tukang leding, tetapi akan digunakan meredistribusi kekayaan kepada orang lain (juga). Redistribusi kekayaan yang dimaksud Obama adalah ketika seseorang berpenghasilan di atas 250.000 dollar AS per tahun, yang bersangkutan akan dikenakan payroll tax (pajak penghasilan) sebesar 6,2 persen yang mana hasilnya akan dikompensasikan (baca: dihadiahkan) kepada mereka yang berpenghasilan lebih rendah (seperti kata Obama: ”spread the wealth around”).

Pengertian yang lebih sederhana atas program ”bagi-bagi uang” Obama ini adalah: mereka yang kreatif, inovatif, dan berkeringat harus membagi keuntungan kepada mereka yang tidak berkeringat dan yang umumnya lebih banyak bersandar pada program social welfare (tunjangan sosial) pemerintah. Tidak berlebihan jika program Obama tersebut di atas rasanya sinkron dengan statement pencetus komunisme Karl Marx, ”from each according to his ability, to each according to his need” (yang mana terjemahan kasarnya mungkin berbunyi: ”dari seseorang sesuai kemampuannya, kepada seseorang sesuai kebutuhannya”).

Kelompok William Ayers

Indikasi lain yang menguatkan Obama sebagai seorang ”leftist” yang membawa ”change” ke dan di AS adalah kedekatannya dengan sejumlah aktivis radikal era 1960-an yang tergabung dalam The Weatherman (belakangan jadi The Weather Underground).

William Ayers dan Bernardine Dohrn yang dikenal sebagai pendiri The Weathermen adalah beberapa nama yang sering dikaitkan dengan kegiatan awal politik Obama di Chicago. The Weatherman sendiri adalah kelompok yang secara gamblang memublikasikan platform politik mereka, yaitu untuk mencapai ”penghancuran imperialisme AS serta untuk mencapai sebuah dunia yang tidak mengenal perbedaan kelas, yakni komunisme global”. Kedua tokoh utama The Weathermen, Ayers dan Dohrn, dikenal sebagai pelaku utama di balik rangkaian pengeboman di dalam negeri AS—sebagai bentuk protes atas keterlibatan pasukan AS dalam Perang Vietnam.

Dalam laporan FOX News, ”Newly Released Documents Highlight Obama’s Relationship With Ayers”, (26 Agustus, 2008) jelas bahwa kedua pribadi ini punya hubungan cukup erat. Keduanya dilaporkan pernah bersama-sama aktif dalam mengurus yayasan yang bergerak dalam bidang reformasi pendidikan di Chicago tahun 1990-an. Bahkan, pada tahun 1995, di rumah Ayers, karier politik Obama diorbitkan untuk bertarung sebagai senator dengan menyelenggarakan acara informal ”perkenalan atas si kandidat” yang belum dikenal.

Menyusul kontroversi akan kedekatannya dengan Ayers, Obama—yang terpilih menjadi Senator Negara Bagian Illinois pada tahun 1997—mengklaim bahwa hubungannya dengan Ayers hanya sebatas teman. Dia tidak menyetujui aksi-aksi terorisme yang pernah dilakukan Ayers dan anggota The Weatherman yang lain.

Obama juga dekat dengan the Association of Community Organizations for Reform Now (ACORN). ACORN adalah sebuah organisasi sosial beranggota 350.000 orang yang mengadvokasi dan memperjuangkan banyak hal, antara lain kredit rumah bagi keluarga tidak mampu (kebanyakan warga minoritas) serta jaminan kesehatan dan layanan bersifat politis untuk mendaftarkan para pemilih di suatu wilayah guna mendapatkan hak pilihnya (voter registration).

Menurut paparan Stanley Kurtz di harian New York Post, ”O’s Dangerous Pals” (29 September, 2008), ACORN sering berargumen ”demi keadilan kepada kelompok minoritas” guna memperoleh bantuan ratusan juta dollar AS untuk disalurkan kepada anggota mereka yang punya sejarah kredit tak memuaskan.

Sehubungan dengan kaitan antara Obama dan ACORN, Walsh mengupas bahwa Senator Illinois itu pernah bekerja sebagai pelatih kepemimpinan (leadership trainer) para aktivis ACORN dan menjadi pengacara organisasi ini dalam sebuah kasus gugatan atas ACORN di Illinois. Awal tahun ini Obama dilaporkan menyumbang 800.000 dollar AS kepada ACORN guna menunjang kegiatan sosial untuk mengajak warga berpartisipasi dalam pemilu. Konfirmasi akan kedekatan ACORN dan Obama semakin jelas ketika ACORN yang ’seharusnya’ nonpartisan mendeklarasikan dukungannya terhadap Obama sebagai capres AS.

Perkawinan sesama jenis

Senada dengan ACORN, dukungan atas Obama juga mengalir dari aktivis dan organisasi prohomoseksual yang banyak tersebar di AS. Bahkan, di situs web resmi pasangan Obama-Biden ada sebuah seksi khusus yang mendiskusikan posisi politik Obama tentang isu lesbian, gay, biseksual, dan transjender (pride.barackobama.com).

Dalam kajian ”Married to Redefining Marriage”, yang ditulis kolumnis Rich Lowry pada 23 Mei 2008 di majalah National Review, Obama dianggap sebagai capres AS pertama yang mendukung perkawinan sesama jenis (same sex marriage). Sikap Obama ini berbeda dengan kolega satu partainya yang menjadi capres 2004, John Kerry, yang terkenal liberal. Obama dengan posisinya ini, kata Lowry, bahkan membuat Kerry tampak seperti seorang konservatif.

Berkaitan masalah biologis lainnya adalah isu klasik tentang aborsi yang selalu jadi perdebatan politik di AS. Posisi Obama sangat jelas mendukung penuh hak untuk aborsi. Bahkan, posisi politiknya untuk isu yang satu ini terkenal sangat ekstrem.

Dalam editorial harian The washington Post, ”Obama’s Abortion Extremism” (2 April, 2008), karya Michael Gerson, disebutkan bahwa saking ekstremnya sikap Obama akan aborsi sehingga dirinya pun mendukung partial- birth abortion (aborsi terhadap bayi yang secara struktural telah terbentuk). Banyak pihak menyamakan sikap Obama ini sebagai persetujuan atas infanticide (praktik pembunuhan secara sengaja atas bayi).

Obama semenjak awal kariernya selalu mempertahankan sikapnya tentang aborsi. Namun, ketika Obama berbicara tentang nilai (values), mungkin hal ini pula yang menjadi kekurangan daripada janji perubahan (change) yang selalu dikatakannya. Perubahan bisa menjadi sebuah retorika yang sangat menjual dan memikat jutaan pemilih. Namun, nilai adalah sesuatu yang sangat luhur, yang tidak patut untuk dipolitisasi, dieksploitasi, dan dimanipulasi demi mendapatkan benefit politik. Nilai adalah sesuatu yang inheren bagi seorang politisi, apalagi bagi seorang politisi Barat yang pernah tinggal dan dibesarkan di Timur.

Jeffrey Johanes Massie Anggota Komisi I DPR RI