Senin, 03 November 2008

Kemenangan Obama-McCain Ditentukan 11 Negara Bagian

Minggu, 02 November 2008 | 14:43 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Sebanyak 11 negara bagian dengan total 126 kursi Dewan Pemilih masih belum bisa diproyeksikan siapa pemenangnya dalam pemilihan presiden Amerika Serikat. Ini karena sejumlah jajak pendapat memperlihatkan selisih dukungan bagi Barack Obama maupun John McCain sangat tipis.

Hasil analisis, seperti diungkap koran Washington Post, posisi Obama di lima negara bagian dengan total 39 kursi Dewan Pemilih menang tapi dengan selisih tipis. Selisih tipis itu artinya McCain mungkin akan merebutnya.

Sebaliknya, di enam negara bagian dengan 87 suara Dewan Pemilih, McCain unggul tipis dan mungkin Obama merebut satu atau dua negara bagian di sini.

Meski negara bagian tempat Obama menang tipis dalam jajak pendapat hanya menyediakan 39 kursi Dewan Pemilih, tapi itu lebih dari cukup karena bocah Menteng ini sudah mengumpulkan 252 kursi. Dengan menambah 18 kursi lagi, ia sudah menjadi presiden.

Sebaliknya John McCain baru mendapat dukungan 160 suara dari 20 negara bagian sehingga masih harus mendapat 110 suara Dewan Pemilih lagi jika ingin menang.

Jadi, kalaupun menang di keenam negara bagian itu, McCain tetap tidak bisa menjadi presiden. Ia masih membutuhkan 13 kursi Dewan Pemilih yang mesti ia perjuangkan dari negara bagian tempat Obama unggul tipis.

Posisi Terakhir:
Obama
Diproyeksikan menang: 20 negara bagian, total 252 Dewan Pemilih
Kekurangan untuk menang: 18 Dewan Pemilih
Unggul tipis:
5 negara bagian, 39 Dewan Pemilih

McCain
Diproyeksikan menang: 20 negara bagian, total 160 Dewan Pemilih
Kekurangan untuk menang: 110 Dewan Pemilih
Unggul tipis: 6 negara bagian, 87 Dewan Pemilih


Negara bagian Obama Unggul Tipis:
Total 39 kursi Dewan Pemilih
Virginia
13 Dewan Pemilih
Pemilu lalu George Bush menang mudah di sini tapi dalam dua tahun terakhir, dua legislator Demokrat menang di sini sehingga Obama bisa memanfaatkan momentum.

Colorado
9 Dewan Pemilih
Sejak 1992, Demokrat selalu kalah di Colorado tapi sekarang ada tanda-tanda Obama akan menang.

Iowa
7 Dewan Pemilih
Salah satu negara bagian yang diperkirakan akan berpindah ke Obama dari calon-calon Republik yang biasa mereka dukung.

Nevada
5 Dewan Pemilih
Obama hanya menang tipis dalam jajak pendapat di sini sehingga peluang McCain cukup besar.

New Mexico
5 Dewan Pemilih
Seperti biasa, New Mexico mendukung Republik. Tapi kali ini Obama menempel ketat sehingga kejutan masih mungkin terjadi.

Negara Bagian McCain Unggul Tipis:

Total 87 Dewan pemilih
Florida
27 Dewan Pemilih
Obama dan McCain masih bertarung ketat di negara bagian ini. Mereka menggelontorkan iklan dalam jumlah besar di sini. Sejumlah jajak pendapat memperlihatkan posisi kedua calon berimbang.

Ohio
20 Dewan Pemilih
Obama memimpin sangat tipis dalam jajak pendapat.

Carolina Utara
15
Posisi McCain di atas angin tapi Obama berharap dari para pemilih kulit hitam.

Missouri
11 Dewan Pemilih
Selama 104, kandidat pilihan negara bagian Missouri selalu menjadi presiden Amerika Serikat. Hanya satu kekecualian, yakni pada 1956. McCain unggul dalam jajak pendapat awal tapi, setelah Obama meluncurkan kampanye televisi besar-besaran, sebagian besar jajak pendapat memperlihatkan posisi kedua calon berimbang.

Indiana
11 Dewan Pemilih
Negara bagian yang biasa memenangkan calon Republik tapi pemilu kali ini sangat kompetitif. Jajak pendapat seusai pemilihan awal memperlihatkan Obama cukup kuat di sini.

Montana
3 Dewan Pemilih
Sejak 1992, saat Montana memilih Bill Clinton sebagai presiden, negara bagian itu selalu mendukung Partai Republik. Saat ini McCain unggul tipis dalam jajak pendapat.

Nurkhoiri

Memahami Pilpres AS



  • Oleh Fitriyah

PEMILU di Amerika Serikat untuk memilih presiden ke-44 dijadwalkan Selasa (4/11) besok. Presiden Bush yang telah menjabat selama dua periode tidak diizinkan mengikuti lagi, sesuai dengan Amandemen Ke-22 Konstitusi AS.
Dua calon utama dalam pilpres kali ini adalah Senator John McCain yang berpasangan dengan Gubernur Alaska Sarah Palin dari Partai Republik, dan Senator Barack Obama berpasangan dengan Senator Joe Biden dari Partai Demokrat. Sebelum terpilih mewakili partainya, kedua capres mengikuti hampir 60 pemilihan pendahuluan atau kaukus dan telah berkampanye untuk memenangi pemilihan pendahuluan selama 20 bulan lebih.

Dibandingkan dengan pilpres sebelumnya, Pilpres 2008 mampu menyedot perhatian masyarakat seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ini tidak lepas dari fenomena Obama. Jika terpilih, dia akan menjadi presiden pertama AS dari keturunan Afrika. Kandidasi Obama menunjukkan nominasi kandidat berdasarkan kecerdasan dan integritas calon.

Selain dua calon utama tersebut, terdapat calon dari partai-partai menengah dan kecil, serta calon indipenden. Sistem pemilu di Amerika memungkinkan seseorang maju tanpa dukungan partai politik. Pilpres 2008 diikuti 12 capres di luar dua calon utama. Namun, seperti pilpres-pilpres sebelumnya, pemenang selalu berasal dari salah satu dari dua partai besar, Partai Republik atau Partai Demokrat.

Terlepas dari fenomena Obama, tulisan ini ditujukan untuk memberi informasi tentang dimensi sistem pemilu di Amerika Serikat yang menarik dan berbeda dari Indonesia.

Hari Pemilu

Di AS ada dua jenis pemilihan. Pertama, pemilihan pendahuluan yang dilakukan sebelum pemilu, untuk menentukan calon-calon dari partai yang akan maju. Hanya sebagian kecil negara bagian yang menggunakan konvensi negara bagian atau daerah untuk memilih calon.

Kedua, pemilihan umum (pemilu) untuk menentukan siapa yang terpilih memegang suatu jabatan. Pemilihan untuk pengisian jabatan tingkat federal, negara bagian, dan wilayah lokal dilaksanakan setiap tahun genap. Hanya beberapa negara bagian dan wilayah lokal yang mengadakan pemilihan pada tahun ganjil.

Rakyat AS terlibat di banyak pemilu. Setiap empat tahun, mereka memilih presiden dan wakilnya. Setiap dua tahun memilih anggota DPR, dan sepertiga dari 100 anggota Senat. Masih ada pemilu lainnya, baik untuk memilih orang guna mengisi jabatan publik maupun untuk usulan peraturan yang dimintakan persetujuan para pemilih. Semua warga negara yang berusia 18 tahun ke atas berhak memilih.

Uniknya, baik Pilpres, Pemilu DPR, maupun Pemilu Senat selalu digelar hari Selasa setelah Senin pertama bulan November dan pada tahun genap. Sesuai rumus tersebut, Pilpres 2008 digelar pada Selasa tanggal 4 November.
Pemilihan pendahuluan (kaukus) mengawali rangkaian pilpres.

Negara-negara bagian mengadakan kaukus untuk memilih delegasi. Calon yang mampu mengumpulkan mayoritas delegasi akan memenangi pemilihan sebagai kandidat presiden dalam konvensi pencalonan nasional partai politik.
Siapa calon wakil presiden (running-mate) pun diumumkan dalam konvensi nasional. Momen ini sekaligus meratifikasi platform partai, sehingga rakyat mengetahui pilihan-pilihan kebijakan jika memerintah. Pemilihan pendahuluan umumnya dilakukan Januari sampai Juni, sedangkan konvensi nasional pada bulan Juli, Agustus, atau September.

Electoral College

Presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat AS, tetapi dipilih oleh Dewan Pemilihan (electoral college). Rakyat AS terlibat di banyak pemilu. Setiap empat tahun, mereka memilih presiden dan wakilnya. Setiap dua tahun memilih anggota DPR, dan sepertiga dari 100 anggota Senat.

Dari aspek ini, Indonesia dikatakan lebih demokratis. Hari ini, rakyat Amerika di setiap negara bagian hadir ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk memilih sebuah ”kelompok pemilih” atau Dewan Pemilihan, guna mendukung salah seorang capres.

Selanjutnya, 41 hari sesudah pemilu atau 15 Desember 2008, anggota Dewan Pemilihan bertemu di masing-masing negara bagian untuk memasukkan suara mereka bagi presiden. Hasil pemilihan dihitung Kongres pada 6 Januari, dan pelantikan presiden terpilih tanggal 20 Januari 2009. Jadi ada empat tahapan pilpres, yakni a) pemilihan pendahuluan / kaukus, b) konvensi, c) pemilu, dan d) tahap Dewan Pemilihan.

Jumlah ”pemilih” tiap negara bagian bervariasi sesuai dengan jumlah delegasi Kongres. Formulanya sebanyak jumlah senator, yakni dua orang untuk tiap negara bagian, ditambah jumlah anggota DPR di suatu negara bagian yang besarnya dipengaruhi jumlah penduduk. Total jumlah anggota Dewan Pemilihan sebanyak 538 orang dari 50 negara bagian. Khusus Washington DC, yang bukan negara bagian, punya tiga wakil. Untuk menjadi pemenang pemilu, sesuai dengan prinsip mayoritas mutlak yang dianut, diperlukan minimal 270 suara.

Dana Kampanye

Masa kampanye di AS tidak dibatasi kapan dimulai dan kapan berakhirnya. Maknanya, sepanjang waktu kandidat bisa kampanye. Untuk memenangi nominasi, para kandidat presiden memulai kampanyenya dua tahun sebelum pemilihan. Sementara kandidat cawapres tidak berkampanye karena ia diseleksi oleh capres.

Dalam memilih cawapres tidak ada ketentuan formal. Yang diatur adalah larangan keduanya berasal dari satu negara bagian. Biasanya capres memperhatikan keseimbangan sebagai pasangan yang saling melengkapi. Misalnya Biden terpilih sebagai cawapres karena mempunyai pengetahuan dan pengalaman luas tentang isu-isu kebijakan luar negeri, sesuatu yang tak dimiliki Obama. Cawapres juga harus siap menggantikan presiden jika ada halangan di masa jabatannya. Penentuan tentang siapa cawapres yang dipilih adalah peristiwa penting dan ikut memengaruhi terpilihnya calon presiden.

The long campaign membutuhkan dana besar yang diperoleh para calon melalui penggalangan dana. Ada aturan ketat tentang bagaimana cara pengumpulan dan pembelanjaan dana kampanye. Aturan-aturan ini memungkinkan semua sumbangan yang diterima para calon tak bisa dimanipulasi, karena bisa dipantau oleh pihak ketiga yang independen.

Besaran sumbangan kampanye yang boleh diberikan oleh individu serta badan hukum dibatasi dan harus tercatat. Sumbangan individu tak boleh lebih dari 1000 dolar AS, dan jika diberikan dalam bentuk uang tunai tak lebih dari 100 dolar AS. Perusahaan besar yang amat berkepentingan dengan capres hanya dibolehkan menyumbang tak lebih dari 100 dolar AS.

Pembatasan ini membuat tak ada satu perusahaan atau perorangan yang dominan membiayai kampanye calon, sehingga tidak ada utang budi politik. Kemampuan calon mengumpulkan dana kampanye pada akhirnya menunjukkan kualitas calon dan luasnya dukungan pemilih. Pemerintah juga membiayai kampanye, tetapi terbatas hanya bagi calon yang mampu mendapat dukungan di minimal 20 negara bagian.

Kelemahan Sistem

Rakyat Amerika sudah mengenal tradisi pemilihan jauh sebelum pengesahan Konstitusi Amerika Serikat 1787. Dari waktu ke waktu, mekanisme pemilihan disempurnakan guna menjamin hak pilih universal. Sistem pemilu AS menjamin lahirnya kandidat berkualitas dengan platform yang responsif dan terukur, juga menjamin transparansi pengelolaan dana kampanye, serta bagaimana dana diperoleh. Tetapi bukan tak mengandung kelemahan.

Galibnya, sistem pemilu distrik dengan formula the winner takes all yang digunakan dalam semua pemilihan di AS, termasuk memilih anggota Dewan Pemilihan, dimungkinkan pilihan rakyat banyak terhadap capres tidak sinkron dengan pilihan melalui perwakilan di Dewan Pemilihan. Dimungkinkan capres yang memenangi suara rakyat, tetapi tidak terpilih sebagai presiden.

Sepanjang sejarah pemilu di AS, peristiwa tersebut telah terjadi 17 kali. Pertama kali pada Pilpres 1824 dan terakhir tahun 2000 ketika George W Bush menjadi presiden. Ketika hal itu terjadi, tak disikapi dalam bentuk kemarahan oleh mereka yang kalah dan para pendukungnya. Rakyat AS patuh dan menghormati aturan main yang disepakati dalam pemilu. Perilaku ini disebut perilaku demokrasi, sesuatu yang masih langka di Indonesia.

Kita perlu belajar tentang perilaku demokrasi dari pemilu di AS, mengingat intensitas pemilu di Indonesia makin tinggi. Tahun 2009 ada pemilu legislatif dan pilpres, selanjutnya selama kurun waktu 2010 sampai 2013, akan berlangsung 428 pilkada. Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan menguatnya pemekaran daerah. Kita perlu belajar untuk tidak tergoda selalu mengubah aturan main setiap menjelang pemilu, melalui revisi undang-undangnya. (32)

— Fitriyah, staf pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip

"Konflik" Agama dan Pemilu di Dua Negara


Senin, 3 November 2008 | 00:36 WIB

R William Liddle

Dalam kampanye presidensial Amerika Serikat 2008 ini, tuntutan kaum konservatif Kristen berkurang sekali ketimbang Pemilu 2004. Isu-isu mereka jarang dibicarakan kedua calon presiden, Barack Obama dan John McCain.

Dari awal kampanye tahun ini, ketika belum ada krisis perbankan dan pasar saham, yang menonjol adalah konflik kebijakan ekonomi, khususnya peran yang seharusnya dimainkan negara dan pasar.

Sebagai pengamat politik Indonesia, mungkin saya lebih peka terhadap perubahan ini, sebab keadaan Indonesia belakangan ini memberi kesan bertolak belakang dengan yang saya alami di Amerika Serikat. Sejak Pemilu 2004, tuntutan kaum konservatif Islam di Indonesia kian kedengaran. Di tingkat nasional kita menyaksikan perlawanan terhadap pluralisme, liberalisme, dan sekularisme, kampanye Undang-Undang Pornografi dan gerakan anti-Ahmadiyah. Di tingkat lokal, puluhan DPRD membuat berbagai peraturan bernuansa syariat.

Di AS, ada survei baru yayasan nirlaba Faith in Public Life (Iman dalam Kehidupan Publik) yang membantu saya mengerti apa yang terjadi di negeri Paman Sam. Ternyata ada pergeseran pandangan politik orang beragama, khususnya orang muda, yang memanfaatkan Barack Obama. Lebih banyak orang AS menganggap Obama ”ramah terhadap agama” ketimbang McCain (49 persen lawan 45 persen). Di kalangan pemilih usia 18-34 tahun, 71 persen mengaku akan memilih Obama pada pemilihan presidensial 4 November. Dari kelompok muda ini, lebih banyak orang Katolik suka Obama (55 persen) ketimbang McCain (40 persen).

Dari para pemilih yang mengikuti kebaktian di gereja satu atau dua kali sebulan, 60 persen mengaku akan memilih Obama, dibanding 49 persen memilih John Kerry, capres Partai Demokrat, tahun 2004. Hal ini mengingatkan kita kepada George Bush pada Pemilu 2004. McCain mendapat dukungan mayoritas Protestan evangelis (68 persen lawan 25 persen yang pro-Obama). Meski demikian, ada tanda, evangelis muda pun mulai bergeser dari kesetiaan lama pada Partai Republik (65 persen pro-McCain, 29 persen pro-Obama).

Di luar pilihan calon presiden, beberapa temuan meyakinkan Faith in Public Life bahwa the God gap, kesenjangan Tuhan, mulai dijembatani. Mayoritas besar pemilih menyebutkan ekonomi, harga minyak, dan asuransi kesehatan sebagai isu paling penting masa kini. Lebih banyak orang muda Katolik mendukung hak aborsi ketimbang orangtua mereka (60 persen lawan 50 persen). Di kalangan evangelis putih, 52 persen orang muda (dibanding 39 persen orangtua) menyetujui hak orang gay dan lesbian. Lebih banyak orang evangelis putih muda percaya, moralitas terpisahkan dari agama dan bahwa diplomasi lebih baik daripada kekuatan militer.

AS dan Indonesia

Membaca angka-angka ini, saya teringat hasil survei yang dirilis Lembaga Survei Indonesia tentang kekuatan partai-partai Islam di Indonesia. Temuannya mirip dengan Faith in Public Life. Hal ini meyakinkan, benturan politik di permukaan belum tentu mencerminkan sikap rakyat di bawah. Hampir 90 persen masyarakat Indonesia beragama Islam, tetapi hanya 17 persen yang mengaku akan memilih partai berasas Islam pada Pemilu 2009. Pemilih Islam di Indonesia cenderung mendukung partai-partai berasas Pancasila, khususnya PDI-P, Golkar, dan Partai Demokrat.

Dari berbagai segi, tiga partai ”sekuler” itu dianggap lebih mampu memerintah. Menurut 17 persen dan 16 persen responden, Golkar dan PDI-P memiliki citra mewakili rakyat kecil. Sekitar 12 persen berpendapat, Partai Demokrat punya image itu. Dari semua partai Islam, PKS di depan dengan tujuh persen. Ketika responden ditanya apakah salah satu partai punya program bagus, peduli pada keinginan rakyat, atau memiliki pemimpin yang mampu memecahkan masalah bangsa, jawabannya hampir sama. Hanya saat ditanya tentang kebersihan dari korupsi, PKS (10 persen) ditempatkan di atas Partai Demokrat (7 persen), PDI-P (6 persen), dan Golkar (4 persen).

Masalah umum

Sebagaimana halnya pemilih Kristen di AS, pemilih Islam di Indonesia mementingkan masalah-masalah yang kiranya jauh dari agama. Sifat-sifat paling penting dimiliki suatu partai politik adalah kepedulian pada kepentingan rakyat (32 persen), memiliki program untuk kesejahteraan rakyat (29 persen), kesediaan mewakili kepentingan semua lapisan masyarakat (16 persen), serta kebersihan dari korupsi (12 persen). Saat ditanya hal-hal yang paling mendesak dan harus ditangani pemerintah, 76 persen menyebut ”ekonomi dan kesejahteraan rakyat”, hanya 0,8 persen mengatakan ”moral dan agama”.

Meski demikian, belum bisa dikatakan, konflik agama di dua negara kita sudah selesai. Akarnya terlalu dalam dan tebal. Namun, ada kemungkinan kita sudah bersama-sama memasuki fase baru dalam politik yang lebih mementingkan masalah ekonomi ketimbang agama. Meski penuh tantangan, apalagi dalam suasana krisis yang kini merundung kita. Bagi saya, fase ini lebih menjanjikan asal ada kebijakan yang tepat, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah sesuatu yang bisa dicapai di dunia ini.

R William Liddle Profesor Ilmu Politik, Ohio State University, Columbus, Ohio, AS

AMERICANA


Senin, 3 November 2008 | 03:00 WIB

Harapan Mayer

Musisi John Mayer (31) tidak lagi sabar menanti dunia untuk berubah. Dalam blog di harian internet The Huffington Post atau kerap disingkat HuffPo, Kamis lalu, John mengirim tulisan ”Hope Is Not a Buzz Word”. Di dalam tulisannya, pria kelahiran 16 Oktober 1977 di Connecticut itu terlihat jelas terkesan dengan kandidat Presiden Partai Demokrat, Barack Obama.

John mengaku mendapat semangat dan harapan baru dari kampanye ”HOPE” Obama. ”Yang saya tangkap dari Obama adalah pada saat-saat sulit seperti ini, kita masih punya harapan. Ketika saya kira tugas saya hanya membantu negara melewati masa-masa krisis terparahnya, Obama membuat saya yakin saya bisa menjadi saksi perubahan yang paling brilian dalam sejarah AS,” tulis John.

John juga mengaku tidak pernah memandang isu pemilihan dari perspektif Obama. ”Ia (Obama) mengatakan, AS akan mengalami perubahan luar biasa yang akan bisa diceritakan kepada anak cucu. Ini konsep yang luar biasa untuk anak muda,” tulisnya.

John yang baru-baru ini mempersembahkan lagu untuk Obama dalam sebuah konser musik di Los Angeles menilai orang-orang dewasa yang memilih Obama menganggap Obama tokoh yang bisa mengembalikan masa-masa kejayaan AS. Sementara bagi anak-anak muda, Obama menjadi figur yang memperkenalkan kejayaan AS.

Konsep ”HOPE” atau harapan yang disebarkan Obama, menurut John, menjadi komoditas penting bagi rakyat AS yang dianggapnya kehilangan harapan. ”Harapan bisa membentuk kembali cara individu berpikir dan hidup. Jika kita tidak percaya akan harapan, keinginan untuk hidup akan berubah,” tulis John, yang telah mengeluarkan album Room for Squares dan Heavier Things. (LUK)

Falco Ajak Relawan

Edie Falco (45) terlihat gelisah dan gugup. Rupanya pemeran Carmela Soprano dalam serial The Sopranos produksi HBO itu diminta berbicara di hadapan para penggemarnya di North Carolina dalam rangka ajang kampanye kandidat presiden Partai Demokrat, Barack Obama, Sabtu (1/11). Perempuan yang lahir di Brooklyn, New York, 5 Juli 1963, itu mengaku tidak pernah bisa mengerti pemikiran pemilih. ”Saya tidak pernah berniat mengubah pikiran orang,” kata Falco, yang mengaku mendukung Obama.

Falco hanya berbicara selama lima menit dan tidak sekali pun menyebut nama kandidat presiden Partai Republik, John McCain, atau Presiden AS George W Bush. ”Banyak politikus yang sebenarnya tidak mengerti politik. Saya malu punya wakil seperti mereka,” ujarnya.

Ketika berbicara di hadapan penggemarnya sekaligus para pendukung Obama, Falco mengajak mereka membantu petugas pemilihan. ”Kalau Anda punya waktu luang untuk jadi relawan, Anda bisa membantu para petugas atau membawakan makanan dan minuman,” ajaknya.

Partisipasi Falco dalam pemilihan bukan sekali ini saja. Pada waktu pemilihan presiden AS tahun 2004, Falco aktif tampil dalam iklan TV berdurasi 30 detik mewakili perkumpulan Kaum Ibu Penentang Bush (Mothers Opposing Bush/MOB). ”Ibu selalu mengutamakan kepentingan anak-anaknya. Apakah Anda juga seperti itu, Mr Bush?” kata Falco dalam iklan itu.

Falco dikabarkan memberikan bantuan dana 1.000 dollar AS untuk kampanye John Kerry, 300 dollar AS untuk Komite Nasional Demokrat, serta 1.000 dollar AS dan 300 dollar AS untuk Hillary Clinton pada tahun 2005. (AP/LUK)

Survei Opini sejak 1824


Senin, 3 November 2008 | 01:30 WIB

Pemanfaatan survei opini dalam ajang pemilu di Amerika Serikat telah mengakar sedemikian lama. Dalam beberapa catatan, pemilu tahun 1824 menjadi tonggak pertama kalinya survei dilakukan. Saat itu, surat kabar Harrisburg Pennsylvanian, Wilmington, dan Delaware memelopori pengumpulan opini publik terkait preferensi mereka terhadap kandidat presiden yang bersaing.

Metode yang digunakan sangat sederhana dan belum bersifat ilmiah. Siapa pun warga AS dapat menyatakan pilihannya terhadap kandidat presiden Andrew Jackson, John Quincy Adams, Henry Clay, dan William Harris Crawford. Pilihan dinyatakan dengan selembar formulir dan dikirimkan ke harian tadi.

Hasilnya, Andrew Jackson lebih popular dibandingkan dengan ketiga kandidat lainnya. Hasil pemilu memang mengantarkan Andrew Jackson sebagai peraih suara pemilih (popular votes) terbanyak. Namun, hasil tersebut tidak mengantarkannya menjadi presiden oleh karena dalam perhitungan electoral votes menempatkan John Quincy Adams meraih lebih banyak.

Semenjak peristiwa ini, media massa berlomba-lomba dalam penyelenggaraan survei. Dalam perjalanannya, berkali-kali pula survei mengalami ketidakakuratan saat digunakan sebagai alat memprediksi kemenangan.

Tahun 1936 juga menjadi tonggak sejarah penyelenggaraan survei opini publik. Saat itu, majalah Literary Digest menyelenggarakan survei dengan mengandalkan sekitar 2 juta responden. Pada saat yang sama, American Institute of Public Opinion (AIPO) pimpinan George Gallup, Fortune Survey pimpinan Paul T Cherington dan Elmo Roper, serta Crossley Poll pimpinan Archibald M Crossley juga menyurvei opini publik dengan mengandalkan tidak lebih dari 1.500 responden.

Mengejutkan, hasil prediksi berbeda-beda. Literary Digest memprediksikan kemenangan Alfred M Landon, kandidat Republik. Sementara ketiga institusi survei lainnya sepakat memprediksikan kemenangan Franklin D Roosevelt dari Demokrat. Hasil resmi menunjukkan kemenangan Franklin D Roosevelt. Inilah era di mana survei yang dilakukan secara scientifik mampu memprediksi secara akurat sekalipun menggunakan sampel yang jauh lebih kecil.

Keberhasilan memprediksi pada tahun 1936 dengan sendirinya membangkitkan popularitas institusi survei berbasis scientifik. AIPO berubah menjadi Gallup Poll dan merambah ke berbagai negara di Eropa. Survei dalam pemilu semenjak itu lebih dominan menggunakan pendekatan ilmiah, antara lain dengan bantuan statistika.

Pada tahun 1948, pukulan keras dialami institusi survei. Saat itu Presiden Harry Truman, kandidat Demokrat, diprediksikan akan mengalami kekalahan. Sementara penantangnya, Thomas Dewey, kandidat Republik, diprediksikan sebagai pemenang oleh Gallup Poll, Crossley, maupun Roper. Pada kenyataannya, Truman mempertahankan kursi kepresidenan untuk kedua kali.

Pada periode-periode selanjutnya, sekalipun peristiwa tahun 1948 menjadi momok, kepercayaan masyarakat terhadap hasil survei terpulihkan. Institusi survei pun semakin memperbaiki metode dan hasil prediksi.

Sebagai contoh, responden Amerika dikategorikan dalam dua tingkatan, yaitu pemilih terdaftar (registered voters) dan pemilih terdaftar yang positif akan menggunakan hak pilihnya pada pemilu (likely voters). Perhitungan yang semula hanya mengandalkan pemilih terdaftar kerap kali mengaburkan prediksi mengingat tingkat partisipasi pemilih di AS pada beberapa pemilu terakhir hanya berkisar 50 persen.

Hasil-hasil perbaikan ini berbuah hasil. Terbukti, pascatahun 1948 institusi semacam Gallup Poll berhasil memprediksi kemenangan secara tepat dengan selisih yang sangat kecil dari perhitungan resmi. (Bestian Nainggolan, Dari Berbagai Sumber)

Peluang Para Kandidat Presiden

AP Photo/Charles Dharapak / Kompas Images
Kandidat presiden Amerika Serikat, John McCain dan Barack Obama, bertatap muka sebelum dimulainya debat calon presiden di University of Mississippi, Oxford, Amerika Serikat, September lalu.
Senin, 3 November 2008 | 03:00 WIB

Bestian Nainggolan

Menjelang pemilu dilakukan, berbagai survei opini publik di Amerika Serikat cenderung menempatkan keunggulan Barack Obama atas John McCain. Survei juga mengungkap pola pengelompokan yang telah terbentuk sejak lama dan bersifat konsisten. Secara teoretis, masihkah McCain berpeluang menang?

Apabila mengkaji dari hasil survei pre-election yang dilakukan tiga institusi survei ternama di AS, sekalipun dilaksanakan dengan metode yang beragam, secara umum memang menguatkan keunggulan Barack Obama dari Partai Demokrat.

Gallup Poll, misalnya, institusi survei dengan 70 tahun pengalaman, melalui survei terakhirnya akhir Oktober 2008, menempatkan dukungan Obama oleh 50 persen pemilih terdaftar, sementara McCain meraih 42 persen. Gambaran semacam itu konsisten selama 20 kali survei sejak Juni 2008 kecuali pada pertengahan September 2008.

CBS News dan New York Times, institusi media yang sejak tahun 1976 berkolaborasi dalam penyelenggaraan survei pemilu, juga mendudukkan keunggulan Obama. Survei terbaru akhir Oktober 2008 menyatakan, Obama didukung 52 persen dan McCain 41 persen.

Survei CBS News dan New York Times dilakukan berkala sejak Februari 2008. Dua survei terakhir menggunakan model panel, yaitu sampel yang sama dalam dua waktu penyelenggaraan survei yang berbeda. Sampel yang terpilih bukan hanya berstatus sebagai pemilih terdaftar, tetapi mereka yang menyatakan positif akan menggunakan hak pilihnya pada pemilu.

Cara demikian cukup presisi untuk menampilkan dinamika perubahan dari masing-masing responden survei. Dalam hal ini, terlihat pada minggu terakhir posisi Obama semakin menguat.

Menguatnya posisi Obama juga dipaparkan Harris Poll, institusi yang aktif sejak tahun 1963 dalam penyelenggaraan survei. Menggunakan metode online survey dengan pembobotan, survei mereka pada 16-20 Oktober 2008 menampilkan keunggulan Barack Obama enam persen di atas John McCain. Selisih keunggulan ini semakin besar dibandingkan dengan survei-survei mereka sebelumnya.

Bukan prediksi

Ratusan survei yang telah diselenggarakan di AS sepanjang pemilu 2008 ini kerap kali dimaknai sebagai upaya memprediksi kemenangan kandidat yang bertarung.

Keunggulan salah satu kandidat dalam survei dianggap ”jaminan” kemenangan dalam pemilu sesungguhnya.

Padahal, setiap institusi survei di AS sepakat bahwa hasil pre-election survey yang mereka publikasikan bukan untuk memprediksi hasil. Survei untuk memahami perilaku para pemilih, termasuk preferensi (tingkat kesukaan) politik pemilih terhadap para kandidat yang bersaing saat survei diselenggarakan.

Dengan demikian, kemungkinan terjadinya kejutan sesungguhnya tetap terbuka.

Hal ini bermakna, bagi John McCain, sekalipun selalu tertinggal, masih punya peluang membalikkan situasi. Patut juga diperhatikan bahwa hasil rangkaian survei yang biasanya bersifat mingguan tersebut juga mengungkapkan pola kecenderungan pilihan dari waktu ke waktu.

Kedua informasi inilah yang sebenarnya paling hendak digambarkan oleh survei. Dalam kaitan ini tergambar, misalnya, betapa sulit McCain menggapai kemenangan terhadap Obama.

Hebatnya, meski survei yang dilakukan CBS News, New York Times, maupun Harris Poll berbeda metode, hasil pemetaan pola-pola preferensi yang didapat bisa mirip. Temuannya, pola dukungan yang terbentuk terhadap masing-masing calon ternyata cukup dekat dengan aspek identitas pemilih. Dalam hal ini, identitas primordial seperti ras, etnisitas, dan agama merupakan faktor yang signifikan memengaruhi dukungan publik Amerika Serikat.

Pola dukungan

Obama, misalnya, sangat menonjol didukung oleh kelompok ras nonkulit putih, termasuk kulit hitam dan hispanik. Dalam survei Gallup, lebih dari 90 persen kalangan kulit hitam dan 60 persen hispanik mendukung Obama. Adapun dukungan kalangan kulit putih non-hispanik berjumlah sekitar 44 persen. Di kubu McCain, basis dukungan datang dari kalangan kulit putih non-hispanik. Hanya 3 persen dari kalangan kulit hitam dan 29 persen kaum hispanik.

Dalam kategori lain, yaitu penganut ritual keagamaan, 66 persen pemilih yang mengaku setiap minggu beribadah mendukung McCain. Cukup kontras dengan pendukung Obama yang 56 persen mengaku jarang atau tak pernah beribadah.

Temuan yang mirip juga tampak dalam pemilahan identitas berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin, maupun jenjang pendidikan. Pendukung Obama secara kontras mengelompok pada kalangan muda (18-30 tahun), perempuan, dan berpendidikan tinggi. Tidak kurang dari 60 persen mendukung Obama. Sangat berbeda dengan pendukung McCain yang mengelompok pada kalangan tua dan berpendidikan menengah-bawah.

Pengelompokan dukungan berdasarkan identitas pemilih secara konsisten makin terlihat pada kategori parpol. Simpatisan Demokrat, baik yang terbagi dalam liberal, moderat, maupun konservatif, setia mendukung Obama. Makin liberal simpatisan, semakin kuat dukungan mereka. Demikian juga bagi McCain, dari yang konservatif maupun moderat. Namun, dukungan terkuat datang dari yang konservatif. (Litbang Kompas)

Belajar untuk Kecewa


Senin, 3 November 2008 | 03:00 WIB

Sistem pemilu presiden di AS bakal menimbulkan kisruh, rusuh, apabila diterapkan di Indonesia. Mengapa? Soalnya, hasil pemilu presiden di AS sangat memungkinkan seseorang yang meraih suara terbanyak alias popular votes tidak menjadi presiden terpilih karena kalah dalam electoral votes.

Simak hasil pemilu presiden tahun 2000 dengan selisih suara yang sangat tipis antara George W Bush (Republik) dan Al Gore (Demokrat) di Florida. Waktu itu, Bush meraih 271 electoral votes dari 30 negara bagian, sedangkan Gore memperoleh 266 electoral votes dari 20 negara bagian plus Washington DC.

Padahal, Bush memperoleh 50.456.002 suara popular (47,9 persen). Gore lebih banyak dengan meraih 50.999.897 suara popular (48,4 persen). Tetapi, Bush ditetapkan sebagai presiden karena unggul dalam electoral votes. Konstitusi mengatur demikian.

Hal serupa sudah pernah terjadi beberapa kali di AS. Banyak yang kecewa karena popular votes jelas mewakili suara masyarakat banyak pada seorang kandidat. Tetapi, sistem menegaskan bahwa suara dari electoral college yang menentukan. Kini ada upaya untuk mengubah sistem yang dinilai tidak cocok lagi itu.

Di Indonesia, jelas sistem ini bakal kisruh karena masyarakat atau pemilih di sini masih harus belajar untuk menghadapi kekecewaan. Belajar untuk menerima kekalahan karena memang sistem atau konstitusinya sudah mengatur demikian. Padahal, sistem atau konstitusi yang mengatur sistem tadi sebelumnya sudah dibahas dan disepakati bersama.

Makanya sudah lumrah apabila pemilihan pada level apa pun di negeri ini sering diwarnai dengan benturan fisik. Lebih disayangkan lagi harta benda, termasuk kantor atau fasilitas umum yang sebenarnya milik pemerintah, dibangun dengan uang dari pajak ikut dirusak sebagai pelampiasan kekecewaan. Tidak bisa menerima kekalahan.

Padahal, seluruh sistem yang ada di sini berdasarkan kesepakatan bersama, setelah lebih dulu dibahas juga secara bersama. Anehnya lagi, para kandidat yang bertarung dalam pemilu di Indonesia juga sudah memahami semua aturan yang ada. Bahkan, mereka juga ikut membuatnya.

Akan tetapi, dalam banyak kasus, justru para kandidat tokoh ini yang tidak bisa belajar menerima kekalahan. Massa dibujuk untuk melawan. Berbagai alasan seperti kecurangan dan suap dikemukakan. Alasan tanpa bukti. Hanya semata karena tidak besar hati. Tidak siap menerima kekalahan. Tidak pernah belajar untuk kecewa.

Jadi, sebenarnya sistem pemilihan presiden AS ini bukan tidak cocok dengan iklim di Indonesia, tetapi banyak dari mereka yang bertaruh dalam pemilihan level apa pun di negeri ini yang tidak siap menerima kekalahan. Tidak pernah belajar untuk kecewa. Selama kondisi itu tidak pernah diperbaiki, maka sistem apa pun termasuk sistem pemilihan yang sekarang ini diterapkan tidak pernah memadai.

Belajar menerima kekalahan, belajar untuk kecewa juga berlaku umum dalam level kehidupan apa pun. Dan menjadi tugas semua orang, apalagi para tokoh yang berpengaruh di negeri ini, untuk sejak kini mengajarkan bahwa hidup tidak pernah selalu nyaman, menang. Kecewa juga bagian yang harus diterima. Besar hati, lapang dada. (ppg)

Berharap dari Hasil Pemilu AS

Presiden Amerika Serikat George W Bush (tengah) bertemu dengan calon presiden dari Demokrat, Barack Obama, dan calon dari Republik, John McCain, serta pemimpin Kongres berkaitan krisis keuangan di AS, akhir September lalu. Krisis menjadi catatan buruk lain yang ditinggalkan Bush.
Senin, 3 November 2008 | 03:43 WIB
Dewi Fortuna Anwar

Sebagai satu-satunya negara adidaya yang memiliki pengaruh di seluruh belahan bumi, pemilihan presiden Amerika Serikat—manusia paling berkuasa di dunia—selalu menarik perhatian masyarakat internasional, tidak terkecuali di Indonesia. Majunya kandidat presiden berkulit hitam, Barack Obama, sebagai calon kuat dari Partai Demokrat semakin menyedot perhatian.

Selain latar belakangnya yang tidak konvensional, Obama menjanjikan perubahan kebijakan yang cukup mendasar dari pemerintahan George W Bush yang sangat tidak populer akibat kebijakannya menyerang dan menduduki Irak. Menyadari bahwa kebijakan unilateralisme Bush telah menyebabkan citra dan posisi Washington terpuruk di mata komunitas internasional, Obama berjanji untuk kembali menjadikan AS sebagai warga dunia yang baik, yang mengedepankan pendekatan multilateral dan kerja sama internasional.

Janji Obama ini tampaknya cukup mampu meraih simpati internasional yang telah gerah dengan sikap Bush yang dinilai terlalu arogan menonjolkan kedigdayaan kekuatan militer AS. Berbagai jajak pendapat menunjukkan sebagian besar masyarakat dunia mengharapkan Obama memenangi pemilihan presiden AS, tidak terkecuali di Indonesia.

Pengalaman Obama yang pernah tinggal di Indonesia selama beberapa tahun sewaktu ia masih kecil semakin menambah rasa simpati dan kedekatan masyarakat Indonesia terhadap calon presiden dari Partai Demokrat ini. Masyarakat Indonesia, dan warga Muslim dunia pada umumnya, percaya bahwa di bawah kepemimpinan Obama yang lebih mengedepankan dialog daripada konfrontasi, hubungan dunia Islam dan Barat yang belakangan cenderung memburuk karena kebijakan Bush dengan perang melawan terornya akan membaik kembali.

Dapat dipastikan bahwa banyak pihak akan kecewa, termasuk di Indonesia, seandainya John McCain, calon presiden dari Partai Republik, yang tampil sebagai pemenang dalam pemilihan presiden nanti. Selain hanya dilihat sebagai penerus Presiden George W Bush, figur McCain juga kurang dikenal di Indonesia. McCain tidak akan mengubah citra internasional Washington yang mulai pudar.

Dengan mengedepankan penggunaan hard power-nya dalam 5 tahun terakhir, Washington kehilangan sebagian dari soft power-nya untuk menjadi pemimpin dunia yang dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat internasional. Sama dengan Bush, McCain cenderung melihat dunia dari perspektif realist kawan dan lawan—ia akan mengisolasi negara yang dianggap lawan serta berupaya menggalang kekuatan negara-negara yang dianggap kawan untuk mengimbangi kekuatan pesaing.

Sebaliknya, Obama cenderung lebih idealist karena ia mendorong agar Washington bermitra dengan negara-negara lain dalam menyelesaikan masalah-masalah internasional serta ingin mengubah ”lawan” menjadi ”kawan”. Apakah akan ada dampak khusus terhadap Indonesia apabila Obama atau McCain memerintah AS?

Meskipun pendekatan internasional kedua calon presiden cukup berbeda, yang akan melahirkan kebijakan luar negeri yang berbeda pula, misalnya dalam hubungan AS dengan Iran, kebijakan Washington terhadap Asia Tenggara umumnya dan Indonesia khususnya diperkirakan tidak akan banyak mengalami perubahan.

Asia Tenggara tidak menempati prioritas yang tinggi dalam kebijakan luar negeri AS yang banyak tersita oleh berbagai konflik di Timur Tengah, khususnya Irak, munculnya kembali kekuatan Taliban di Afganistan, sementara di Asia Timur perhatian AS lebih banyak tertuju pada masalah keamanan di Semenanjung Korea. Sejak berakhirnya Perang Vietnam, Asia Tenggara relatif damai dengan kebijakan ekonomi yang berorientasi ke Barat sehingga tidak perlu mendapatkan perhatian khusus Washington.

Namun, ada beberapa hal yang patut dicatat dalam hubungan Indonesia-AS. Secara umum, sejak tahun 1970-an, kebijakan AS lebih menguntungkan Indonesia manakala presiden yang menempati Gedung Putih berasal dari Partai Republik. Hal ini berkaitan dengan basis dukungan masing-masing partai.

Partai Republik umumnya didukung oleh perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi atau ingin mendapatkan peluang bisnis di luar negeri sehingga mereka biasanya mengedepankan hubungan baik dengan pemerintahan asing, terlepas dari sistem politik yang dianut. Partai Republik juga menaruh perhatian yang lebih besar terhadap isu keamanan internasional, terutama yang berkaitan dengan masalah pertahanan. Sebaliknya, Partai Demokrat banyak didukung oleh serikat buruh, para aktivis hak asasi manusia dan lingkungan. Mereka cenderung mengaitkan isu-isu ini dalam pelaksanaan kebijakan kuar negeri AS dan lebih proteksionis dalam masalah perdagangan.

Tidaklah mengherankan kalau pemerintahan Orde Baru didukung oleh pemerintahan dari Partai Republik (Nixon, Ford, Reagan, Bush I) serta mendapat banyak tekanan dan sanksi dari pemerintahan Partai Demokrat (Carter, Clinton). Terlepas dari alasan embargo pemerintahan Clinton terhadap militer Indonesia yang dituduh melanggar HAM di Timor Timur, tidak dapat dimungkiri bahwa embargo tersebut telah melemahkan kemampuan pertahanan Indonesia secara keseluruhan. Normalisasi hubungan militer Indonesia-AS dipulihkan kembali oleh pemerintahan Bush. Di samping pencabutan embargo militer, Pemerintah AS di bawah Bush juga bertindak cepat membantu rehabilitasi korban tsunami di Aceh dan memberikan bantuan pembangunan lainnya.

Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi ketiga terbesar yang merupakan kekuatan utama di ASEAN, bagaimanapun juga Indonesia memiliki nilai strategis tersendiri, baik dalam konteks masalah Islam-Barat maupun dalam menghadapi kebangkitan China. Siapa pun yang terpilih menjadi presiden AS diperkirakan tidak akan mengabaikan Indonesia. Baik McCain maupun Obama sama-sama memiliki pengalaman di Asia Tenggara, meskipun dalam konteks yang berbeda. Dewasa ini tidak ada isu-isu bilateral besar yang mengganjal hubungan Indonesia-AS. Masalah utama sekarang berada pada tataran persepsi masyarakat Indonesia yang negatif terhadap pemerintahan Bush sehingga cukup membatasi ruang gerak Pemerintah Indonesia untuk menerima bantuan atau menggalang kerja sama yang terlalu dekat dengan Pemerintah AS.

Di dalam politik, termasuk politik luar negeri, persepsi tidak jarang lebih penting dari realitas. Presiden Clinton cukup populer di Indonesia, meskipun banyak kebijakannya yang menyulitkan Indonesia. Sebaliknya, Presiden Bush sangat dibenci oleh sebagian masyarakat Indonesia, terlepas berbagai kebijakannya yang selama ini cukup menguntungkan Indonesia.

Apabila Obama terpilih menjadi presiden AS, diperkirakan akan lahir suatu babak baru dalam hubungan bilateral Indonesia-AS, yaitu berkurangnya kecurigaan dan adanya dukungan publik Indonesia yang luas terhadap Washington yang memungkinkan pemerintahan kedua negara untuk menjalin kerja sama yang lebih erat.

Hal ini diperkirakan tidak akan terjadi apabila McCain yang menjadi pemimpin AS ke depan, yang bagaimanapun juga hanya dilihat sebagai lanjutan dari Bush. Namun, masyarakat Indonesia harap bersiap menghadapi kemungkinan semakin meningkatnya pembatasan perdagangan dan semakin sulitnya ekspor Indonesia memasuki pasar AS apabila Obama tampil sebagai pemenang, apalagi di tengah krisis ekonomi yang melanda AS dewasa ini.

Dewi Fortuna Anwar Profesor Riset Bidang Intermestik, Puslit Politik LIPI



Efek Bradley, Bandwagon, Ayers, atau Osama?


Senin, 3 November 2008 | 03:19 WIB

Teori atau metode komunikasi politik mana yang paling memberi pengaruh dan kejutan menjelang 4 November di Amerika Serikat? Efek Bradley versus Bandwagon, atau iklan 30 menit Obama versus video Khalidi atau video kiriman Osama bin Laden (lagi)?

Sekitar dua pekan lalu, marak dibicarakan Efek Bradley. Tom Bradley, mantan Wali Kota Los Angeles, tahun 1982 maju sebagai calon gubernur California. Dalam berbagai jajak pendapat, kandidat dari Partai Demokrat berkulit hitam ini unggul signifikan.

Namun, fakta menunjukkan hal yang lain. Ia kalah lebih dari 50.000 suara pada kandidat dari Partai Republik berkulit putih George Deukmejian.

Tentu saja pemilihan awal New Hampshire antara Hillary Clinton dan Barack Obama kembali menggairahkan para pengagum Efek Bradley. Saat jajak pendapat mengunggulkan Obama tiga belas poin di depan Clinton, faktanya ia kalah tiga poin!

Penganut teori ini berasumsi, sebenarnya sebagian pemilih kulit putih masih rasis, tetapi saat menjadi responden mereka mengatakan sesuatu yang terhormat. Di kubu lain penentang efek ini balik bertanya: bagaimana dengan South Carolina, ketika jajak pendapat menyatakan Obama akan menang 15 poin, ternyata malah terbukti menang 29 poin?

Efek Bandwagon

Selain Efek Bradley, kini peneliti komunikasi politik mulai mewaspadai Efek Bandwagon. Teori ini menyatakan sekelompok pemilih yang masih ragu pada menit-menit terakhir akan memilih kandidat yang diprediksi bakal menang.

Popkin (penulis buku The Reasoning Voter: Communication and Persuasion in Presidential Campaigns) memberi gambaran unik. Seorang pemilih semula tidak ingin memilih Obama karena berkulit hitam! Namun, ia lalu mendengar McCain bakal kalah. Akhirnya ia memilih Obama untuk mengatakan kepada cucu-cucunya bahwa dia dulu ikut (membuat sejarah) memilih Obama!”

Mutz, pakar komunikasi politik Universitas Pennsylvania, menjelaskan, ada sejumlah pertimbangan sebelum seseorang terkena Efek Bandwagon. Utamanya seseorang mencari tahu mengapa popularitas kandidat tiba-tiba menanjak, atau yang lain tiba-tiba anjlok? Isu mutakhir apa saja yang sedang tidak diketahuinya?

Celakanya, informasi yang mereka cari umumnya lebih banyak disediakan oleh media yang sedang mengangkat tokoh yang sedang naik popularitasnya. Dengan demikian, Efek Bandwagon jelas lebih menguntungkan Obama.

Begitu juga di Indonesia, efek ini bisa lebih terasa bagi Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang naik lagi popularitasnya, atau Prabowo yang tiba-tiba melejit, bahkan Sultan Hamengku Buwono X yang sedang ramai dibicarakan; dibandingkan dengan Megawati yang sedang turun popularitasnya atau Jusuf Kalla yang selalu digambarkan rendah dalam jajak pendapat.

Video Ayers

Selain pertarungan Efek Bradley versus Efek Bandwagon, sebagian mantan teman-teman kuliah saya yang kini bekerja sebagai anggota tim sukses atau relawan Obama sedang menunggu apa yang mereka sebut ”Trik (Akhir) Partai Republik”. Mereka khawatir akan ada satu atau dua kejutan yang bisa menghabiskan keunggulan Obama.

Jika itu terjadi, besar kemungkinan arahnya pada keamanan nasional. Di tengah ketidakmampuan McCain-Palin menantang tawaran-tawaran paket ekonomi dan kesejahteraan versi Obama, dijual kembali kekhawatiran rakyat akan serangan terhadap Amerika. Dalam hal itu Obama tidak pernah teruji.

McCain-Palin menggertak agar Los Angeles Times mengizinkan rakyat Amerika menonton video pesta perpisahan Profesor Rashid Khalidi di Universitas Chicago tahun 2003. Khalidi dianggap sebagai juru bicara Yasser Arafat dan PLO.

Dalam acara itu terdapat pidato-pidato dan ungkapan keras terhadap Israel! McCain menantang untuk melihat apakah dalam acara itu Obama tidak sekadar hadir, tetapi juga mengecam Israel atau memberikan standing ovation ketika para pengkritik Israel sedang bicara berapi-api.

Lebih hebat lagi, dalam acara itu hadir nama yang selama ini selalu dikaitkan sebagai ”teman terorisnya” Obama, yaitu William Ayers dan istrinya.

McCain terus menggerutu! Menurut dia, itulah bukti ketidakadilan media. Kalau saja ada video, dia sedang duduk bersama salah seorang anak muda pengagum Nazi, video itu pasti sudah disiarkan di mana-mana!

Video Osama

Salah satu video yang juga sedang ditunggu-tunggu adalah kiriman Osama bin Laden, yang sampai saat ini belum pernah terbukti berhasil ditaklukkan tentara Amerika.

Kali ini ia mungkin mengatakan, ”Saya ingin mengucapkan selamat kepada Obama. Jelas orang seperti Obama lebih pantas dipilih sebagai presiden karena ia terang-terangan mau duduk bersama Ahmadinejad atau tokoh-tokoh pejuang Amerika Latin, tanpa prekondisi!”

Meski video itu ditutup dengan kata-kata ”McCain pergilah ke neraka”, tetapi sebagai sebuah strategi, justru ia akan menguatkan McCain dan positioning-nya pada saat-saat terakhir.

Singkat kata, detik-detik mendekati Selasa 4 November masih terasa amat panjang di Chicago markas kubu Obama yang berangin kencang ini; ia bisa saja menyajikan kejutan sebelum sebuah sejarah terukir pada sore harinya! Sesuatu yang pasti amat menantang dipelajari menjelang Pemilu 2009!

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI; Pimpinan Finalpoint Political Consulting; Menulis dari Chicago, AS

"Electoral College", Demokrasi ala AS


Pemilih Amerika Serikat antusias menghadiri kampanye pemilihan presiden 2008 sebagaimana terlihat di Reno, Nevada, 25 Oktober lalu. Krisis ekonomi yang melanda AS belakangan ini lebih menjadi penentu para pemilih AS dibandingkan sebelumnya, latar belakang agama para pemilihnya.
Artikel Terkait:
Senin, 3 November 2008 | 03:35 WIB

Jika ada yang khas dalam pemilu presiden AS, salah satunya yang disebut ”electoral college”. Seperti tertuang dalam Konstitusi AS, presiden AS tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi melalui sekelompok warga negara yang disebut ”electoral college”.

Meskipun dilangsungkan di seluruh negeri, pemilu AS bukan pemilu nasional, tetapi lebih serangkaian pemilu di level negara bagian yang memutuskan anggota electoral college. Suara mereka disebut electoral votes, yang dibedakan dari suara pemilih (popular votes).

Secara teknis, bisa dibilang pemilih tidak memilih kandidat presiden, tetapi memilih sekelompok orang yang akan memilih kandidat presiden dan wakil presiden saat mereka bertemu. Biasanya, mereka akan bertemu pada Senin pertama setelah Rabu kedua di bulan Desember. Tahun ini, mereka akan bertemu pada 15 Desember untuk memformalkan pemilu.

Electoral college terdiri atas 538 orang dari 50 negara bagian yang komposisinya sesuai jumlah perwakilan negara bagian di Kongres AS (435 anggota DPR AS/House of Representatives dan 100 anggota Senat). Washington DC, daerah ibu kota, yang tidak memiliki perwakilan di Kongres AS, diberi 3 electoral votes, jumlah minimal yang dimiliki negara bagian terkecil.

Cara pemilihan anggota electoral college bermacam-macam di setiap negara bagian. Biasanya mereka dipilih melalui konvensi partai politik atau pemungutan suara di komite pusat partai.

Untuk bisa menjadi presiden, seorang kandidat harus mendapat minimal 270 electoral votes. Jika tidak ada kandidat yang meraih electoral votes minimal, DPR AS akan menentukan siapa yang menjadi presiden sesuai dengan Amandemen Konstitusi AS ke-12.

Setiap negara bagian, kecuali Maine dan Nebraska, memberikan electoral votes dengan sistem pemenang mengambil semua (winner takes all). Artinya, kandidat yang memenangi suara pemilih (popular votes) di negara bagian akan mengambil seluruh electoral votes yang dimiliki negara bagian itu.

Di Maine dan Nebraska, electoral votes didistribusikan sesuai metode distrik kongres. Pemenang di setiap distrik akan mendapatkan satu electoral votes dan pemenang di seluruh negara bagian akan mendapat tambahan dua electoral votes.

Anggota electoral college bebas memilih kandidat mana pun, tetapi biasanya mereka telah berjanji untuk memilih kandidat tertentu. Mereka disarankan untuk memilih sesuai hasil pemilu di negara bagiannya.

Reformasi?

Sangat mungkin seorang kandidat presiden memenangi electoral votes lebih banyak dan menjadi presiden walaupun kalah suara pemilih secara nasional. Itu terjadi tiga kali dalam sejarah AS, yaitu tahun 1876, 1888, dan 2000.

Hal itulah yang memicu kritik terhadap sistem electoral college yang justru disebut tidak demokratis. Namun, untuk mengubah sistem itu terbilang sulit. David Lublin, dosen ilmu pemerintahan di American University, Washington, seperti dikutip CNN mengatakan, reformasi sistem electoral college untuk memilih presiden AS memerlukan upaya luar biasa dan konsensus.

Salah satu alasan, menurut Lublin, adalah sulitnya melakukan amandemen konstitusi AS. Langkah pertama yang diperlukan adalah pengajuan usulan oleh Kongres AS yang disetujui dua pertiga suara, baik di DPR maupun Senat. Sebanyak tiga perempat negara bagian harus meratifikasinya.

”Banyak Demokrat berpikir kekalahan kandidat mereka pada pemilu presiden tahun 2000 menunjukkan reformasi mendesak dilakukan. Akan tetapi, pendukung Republik melihat upaya mengubah sistem sebagai upaya mendiskreditkan kemenangan kandidat mereka,” kata Lublin.

Sejumlah negara bagian juga akan sulit meratifikasi usulan perubahan sistem electoral college. ”Banyak orang menyukai fakta bahwa sistem electoral college merefleksikan sistem federal di AS. Mereka memandang upaya untuk menghapuskan sistem itu sebagai serangan atas federalisme dan kekuatan negara bagian,” ujar Lublin.

Pertarungan ketat dengan hasil yang selisihnya sangat tipis antara George W Bush (Republik) dan Al Gore (Demokrat) pada pemilu tahun 2000 di Florida beserta dampaknya memicu seruan reformasi electoral college. Waktu itu, Bush meraih 271 electoral votes dari 30 negara bagian, sedangkan Gore memperoleh 266 electoral votes dari 20 negara bagian plus Washington DC. Namun, Bush memperoleh 50.456.002 suara popular (47,9 persen) dan Gore mendapat 50.999.897 suara popular (48,4 persen).

Ironisnya, menurut Lublin, belum ada mekanisme untuk memecahkan kasus semacam itu. ”Pemilu tahun 2000 menunjukkan pentingnya detail legal dan perlunya kesiapan saat pemilihan berakhir dengan selisih sangat tipis. Pemilu nasional, yang berdasarkan suara rakyat, barangkali sudah di depan mata. Namun, diperlukan rencana matang di level federal dan konsensus yang lebih dari yang ada sekarang untuk membuatnya berhasil,” tutur Lublin.
(Fransisca Romana Ninik)