Minggu, 09 November 2008

Pemilih Tertinggi dalam Sejarah Pilpres AS


Pemilih Amerika Serikat antusias menghadiri kampanye pemilihan presiden 2008 sebagaimana terlihat di Reno, Nevada, 25 Oktober lalu. Krisis ekonomi yang melanda AS belakangan ini lebih menjadi penentu para pemilih AS dibandingkan sebelumnya, latar belakang agama para pemilihnya.
Selasa, 4 November 2008 | 07:34 WIB

TRI CITY, SELASA - Jumlah warga Amerika Serikat yang benar-benar akan memilih diperkirakan minimal 135 juta orang dari 153,1 juta orang yang sudah mendaftar. Ini adalah jumlah tertinggi dalam Pemilu Presiden AS sejak tahun 1920 ketika wanita AS mulai boleh memilih.

Upaya gencar kubu Partai Demokrat menyemangati warga untuk memilih merupakan faktor utama di balik naiknya minat warga untuk memilih.

John Della Volpe, ahli politik dari Universitas Harvard, kepada wartawan Indonesia mengatakan, porsi terbesar di balik peningkatan jumlah pemilih adalah besarnya minat warga muda untuk memilih. Menurut Volpe, ini adalah kategori pemilih usia 18-24 tahun, yang menginginkan perubahan dan pro-Barack Obama.

Berdasarkan informasi dari The Center for the Study of the American Electorate dari American University, Washington DC, warga yang akan benar-benar memilih sekitar 73,5 persen dari yang mendaftar. Sejak 1920, persentase ini adalah yang tertinggi dan lebih baik dari 72,1 persen yang tercatat pada tahun 1964.

Pada hari terakhir kampanye, Senin (3/11), John McCain berkampanye di tujuh negara bagian, dimulai dari Florida, dilanjutkan ke Tennessee (Tri City), Virginia, Pennsylvania, Indiana, New Mexico, dan Nevada. Obama akan berkampanye di Virginia, dan North Carolina, Florida.

Hari Minggu (2/11), di Florida, McCain memohon kepada warga untuk memilihnya. ”Gedung Putih bukan tempat bagi orang sebagai latihan, tetapi tempat bagi orang yang berpengalaman,” kata McCain, menirukan ucapan Hillary Clinton saat berhadapan dengan Obama dalam pemilu pendahuluan. Ini adalah sindiran kepada Obama, yang dipersepsikan kurang berpengalaman.

Sementara itu, di Cincinati, Ohio, Minggu, Obama mengatakan, ”Jangan lengah. Kita akan mengubah sejarah. Warga penat dengan orang yang sama, yang tak punya ideologi yang pas untuk mengatasi masalah. Saya juga bisa menggugah sejumlah besar pendukung Republik, yang juga haus akan perubahan.”

Dalam perkembangan terbaru, pamor Sarah Palin, yang sempat melejitkan kubu Republik, makin pudar. Berdasarkan jajak pendapat New York Times/CBS News poll, pekan lalu, 59 persen mengatakan Palin tak siap dengan pekerjaan. Warga juga yakin Obama lebih dipercaya sebagai pihak yang akan memilih orang-orang berkualitas untuk membantunya.

Hal lain yang menunjukkan keunggulan Obama adalah program pajak Obama akan menguntungkan warga berpenghasilan 100.000-250.000 dollar AS per tahun. Sekitar 95 persen warga AS berada pada kategori ini. Ini adalah data dari Tax Policy Center, usaha patungan antara Urban Institute, Brookings Institution, dan Deloitte (perusahaan akuntan) atas permintaan The New York Times.

Iklan kampanye berdurasi 30 menit dari kubu Obama juga berhasil menaikkan pamor Obama sepanjang pekan lalu, sebagaimana juga ditayangkan di Univision, MSNBC, BET, dan TV One yang ditonton 25 juta orang. ”Saya terkejut dengan jumlah pemirsa yang menonton iklan Obama,” kata Leslie Moonves, pemimpin CBS.

Perhatian media juga lebih terfokus pada kampanye Obama, yang dua kali lebih besar dari McCain. Kubu McCain tetap mengatakan permainan belum berakhir dan dia akan memenangi pemilu. David Plouffe, jubir kampanye Obama, lewat e-mail kepada Kompas juga mengatakan tidak menyangka Demokrat unggul di Georgia dan North Dakota, daerah tradisional Republik.

Menurut Reuters, Obama unggul di enam dari delapan negara bagian kunci. Dikatakan kunci karena negara bagian ini memiliki porsi suara terbesar. Obama unggul di Florida, dengan porsi 27 suara, Ohio (20), Missouri (11), Virginia (13), Nevada (5), dan Pennsylvania (21).

McCain unggul di North Carolina (15) dan Indiana (11). Ini adalah negara bagian yang juga disebut sebagai daerah pertempuran karena negara bagian lain sudah fanatik kepada calon presiden dari Republik atau Demokrat.



Sumber : Kompas Cetak

Demokrasi AS


KEBEBASAN BARU

AP PHOTO/MUHAMMED MUHEISEN / Kompas Images
Sabtu, 8 November 2008 | 03:00 WIB


”Kita berada di sini mengabdikan diri kepada tugas besar di hadapan kita... bahwa kita berketetapan mereka yang mati tidak akan mati sia-sia... bahwa bangsa ini, dalam Tuhan, akan memiliki kebebasan baru... dan bahwa pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tidak akan musnah dari muka bumi.” (Abraham Lincoln, 1863)

”A New Birth of Freedom” atau Kebebasan Baru dipilih menjadi tema hari pelantikan Barack Obama sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat pada 20 Januari 2009. Frase itu dicuplik dari Gettysburg Address, pidato Presiden Abraham Lincoln di Gettysburg, Pennsylvania, 19 November 1863, semasa Perang Saudara Amerika.

Pilihan tema itu jelas memiliki alasan kuat. Hari pelantikan Obama menjadi presiden bertepatan dengan peringatan 200 tahun kelahiran Lincoln, tepatnya pada 12 Februari 2009. Keduanya sama-sama wakil rakyat dari Negara Bagian Illinois. Keduanya juga terpilih pada saat-saat krusial dalam sejarah bangsa Amerika.

Terpilihnya Lincoln membuka jalan bagi terpilihnya Obama, lebih dari satu abad kemudian. Proklamasi Emansipasi yang diusung Lincoln serta penghentian Perang Saudara telah mengakhiri perbudakan di AS dan kini memungkinkan Obama menjadi presiden keturunan kulit hitam pertama. Saat Lincoln dilantik untuk kedua kalinya pada tahun 1865, warga keturunan Afrika-Amerika diperbolehkan berpartisipasi dalam parade pelantikan untuk pertama kalinya.

Tidak seperti pemimpin dunia lainnya, Lincoln dikenal karena rasa kemanusiaan dan keadilannya. Selama berada di Gedung Putih, Lincoln mengabdikan pemerintahannya untuk kebebasan. Tantangan terbesar Lincoln adalah Perang Saudara dan dampaknya. Hidupnya didedikasikan untuk menghapus perbudakan dan berjuang keras menjaga persatuan bangsa. Dia berhasil membawa AS keluar dari krisis itu.

”Pada saat negara kita menghadapi tantangan besar di dalam dan luar negeri, sangat tepat untuk menilik kembali kata-kata Presiden Lincoln yang berjuang untuk menyatukan bangsa,” kata Senator Dianne Feinstein, Ketua Komite Bersama Kongres untuk Upacara Pelantikan, seperti dikutip Washington Post.

Saat diambil sumpahnya pada 20 Januari 2009, tempat Obama berdiri akan membuat dia melihat ke seberang National Mall dan langsung tertuju ke arah Lincoln Memorial. Di tempat itulah, kata-kata presiden ke-16 AS itu tentang idealisme pembaruan, kesinambungan, dan persatuan terukir dan bisa dikenang setiap presiden AS yang dilantik.

”Tepat sekali merayakan kata-kata Lincoln saat kami mempersiapkan pelantikan presiden AS keturunan Afrika-Amerika yang pertama,” ujar Feinstein.

Seperti Lincoln, Obama terpilih saat AS mengalami masa-masa sulit di dalam dan luar negeri. Perekonomian AS terpuruk. Dua perang di Irak dan Afganistan menyita banyak sekali sumber daya negara serta memakan korban ribuan orang.

Diharapkan, dengan mengenang kembali nuansa perjuangan Lincoln dan mengusungnya sebagai tema kampanye, Obama bisa mengambil semangatnya dan menerapkannya dalam memimpin negara.

Persiapan

Selain tema besar dan bersejarah, persiapan pelantikan Obama juga telah dilakukan. Para pekerja telah mempercantik ruas jalan untuk parade sepanjang Pennsylvania Avenue. Ruas jalan yang terbentang sepanjang sekitar 11 kilometer itu menghubungkan Gedung Putih dengan Capitol Hill pada kedua ujungnya.

Pennsylvania Avenue disebut sebagai Jalan Utama Amerika, yang merupakan lokasi parade dan prosesi kenegaraan serta unjuk rasa dan protes masyarakat. Di sepanjang jalan itu, berdiri antara lain Monumen Perdamaian, Galeri Seni Nasional, Markas Biro Investigasi Federal (FBI), George Washington University, dan Freedom Plaza.

Komite pelantikan di Kongres telah mencetak tiket sebanyak 250.000 lembar. Selama bertahun-tahun, hadirin di pelantikan presiden berkisar antara beberapa ratus ribu hingga 1,5 juta orang yang menghadiri pelantikan Presiden Lyndon B Johnson tahun 1965.

”Bagi saya, tidak mengherankan jika yang hadir jumlahnya sebesar itu saat pelantikan Obama,” kata Darrell Darnell dari Komite Pelantikan.

Pentagon telah menambah jumlah staf menjadi 270 orang, 150 orang di antaranya akan mengemudikan mobil, van, dan bus yang digunakan dalam upacara pelantikan. Secret Service akan memimpin badan pengamanan lain untuk mengamankan jalannya upacara.

Ingar-bingar pemilu dan perayaan kemenangan presiden baru yang bersejarah akan selesai bersamaan dengan upacara pelantikan. Tinggal menunggu bagaimana Obama mulai memimpin negaranya mengarungi hari baru kebebasan yang dia janjikan menuju dunia yang lebih baik. (fransisca romana ninik)

Cari Kambing Hitam

Sabtu, 8 November 2008 | 01:42 WIB

Pahlawan perang Vietnam itu—bahkan sempat lima tahun dijebloskan ke penjara sebagai tahanan perang di Vietnam—John McCain (72), harus merasakan kekalahan. Ia harus mengakui kehebatan ”anak muda”, Barack Obama (47), yang belum pernah merasakan dan mengalami hebatnya perang.

Pengalaman politiknya pun jauh lebih panjang dan matang dibandingkan dengan Obama. Ia memenangi kursi Kongres pada tahun 1982 dan empat tahun kemudian menduduki kursi Senat. Tahun 2000 ia pernah bertarung melawan George W Bush untuk merebutkan nominasi sebagai kandidat presiden dari Partai Republik.

Setelah gagal mengalahkan Bush, ia kembali ke Senat. Kemudian, ia bertarung melawan Obama setelah mengalahkan para nominator dari Partai Republik untuk memperebutkan kursi presiden.

Akan tetapi, kenyataan berkata lain. McCain harus menyimpan dalam-dalam mimpinya untuk menjadi orang nomor satu di AS, satu-satunya negara adidaya di dunia ini. Ia harus mengakui keunggulan Obama.

”Kita telah sampai pada akhir perjalanan panjang,” katanya dalam pidato pengakuan kekalahan, beberapa hari lalu, seperti disiarkan CNN. ”Rakyat Amerika telah berbicara (memilih) dan mereka berbicara secara jelas.” Rakyat Amerika telah menjatuhkan pilihan dan pilihannya itu Obama.

Sebelum berpidato di hadapan para pendukungnya di Arizona, ia menelepon Obama: mengakui kekalahan dan mengucapkan selamat.

Ia melanjutkan pidatonya, ”Apa pun perbedaan kita, kita semua adalah orang Amerika. Saya desak semua warga Amerika yang mendukung saya untuk bersama saya tidak hanya memberikan selamat kepada dia (Obama), tetapi menawarkan kepada presiden kita mendatang kehendak baik kita dan usaha yang sungguh-sungguh untuk bersama-sama mencari jalan, berkompromi, menjembatani perbedaan kita, dan membantu memulihkan kemakmuran, mempertahankan keamanan kita dalam dunia yang berbahaya ini, dan mewariskan kepada anak cucu kita sebuah negara yang lebih baik dan lebih kuat dibandingkan yang kita warisi.”

McCain melanjutkan pidatonya, ”Kalau sekarang ini kita kalah, itu bukan kegagalan Anda semua, tetapi kegagalan saya!”

McCain mengakhiri pidatonya dengan mengatakan, ”Malam ini sangat berbeda dengan malam-malam sebelumnya, tidak ada dalam hati saya kecuali kecintaan saya kepada negeri ini dan kepada seluruh warga negaranya, apakah mereka mendukung saya atau Senator Obama. Saya mendoakan orang yang sebelumnya adalah lawan saya semoga berhasil dan menjadi presiden saya.”

Pidato McCain itu terasa ”aneh” di telinga kita, bangsa Indonesia yang sudah terbiasa untuk tidak berani mengakui kekalahan meski sudah benar-benar kalah; yang cenderung menuding orang lain sebagai biang kekalahan daripada menunjuk pada dirinya sendiri sebagai penyebab kekalahan. Di negeri ini kalah dianggap sebagai aib, karena itu harus dibela mati-matian, kalau perlu dengan kekerasan untuk membalikkan kekalahan menjadi kemenangan meski itu rekayasa.

Berani mengakui kekalahan adalah bentuk dari keluhuran budi dan kerendahan hati. Mengapa banyak orang di negeri ini berani menang, tetapi tidak berani kalah? Hal itu terlihat dalam banyak bidang, mulai dari olahraga sampai politik.

Para suporter sepak bola akan mengamuk bila kesebelasan yang mereka dukung kalah. Para pemimpin politik yang kalah dalam kongres ramai-ramai membentuk pengurus partai tandingan. Pembela berteriak menyalakan hakim dan berniat naik banding ketika kliennya dikalahkan dalam suatu perkara. Bahkan, para pendukungnya mengamuk.

Sungguh ini salah salah satu aspek watak kita yang amat memprihatinkan. Kita belum siap menerima suatu kekalahan. Hidup ini isinya hanya kemenangan melulu. Kekalahan itu memang menyakitkan. Kesakitan itu tidak mendorong orang untuk mawas diri, tetapi cenderung menuding orang lain dan mencari kambing hitam.

Mengapa McCain bisa, tetapi kita tak bisa? (ias)