Jumat, 07 November 2008

Pemimpin Baru

Rabu, 5 November 2008 | 01:20 WIB

Pemilihan presiden AS berlangsung semalam waktu WIB. Hari Rabu pagi ini, seorang presiden baru AS sudah terpilih. Senator Barack Obama dari Partai Demokrat favorit menang berdasarkan jajak pendapat dan opini yang berkembang di AS. Dari berbagai informasi yang ada, dunia juga lebih banyak berharap Obama yang berada di Gedung Putih.

Sistem pemilu AS memang bisa saja membalikkan semua opini dan jajak pendapat karena ada electoral votes dan popular votes yang bisa menjungkirbalikkan keadaan. Obama populer, tetapi tidak cukup meyakinkan dalam electoral college.

Lepas dari semua dugaan tadi, popularitas Obama yang meluas hingga ke luar wilayah AS jelas sebuah pencapaian yang juga harus dilihat bagi mereka yang berniat tampil di ajang apa pun. Pintar dan cerdas, komitmen, percaya diri, tulus. Semua itu disampaikan dengan cara yang enak, mudah ditangkap, dan langsung memberi jalan keluar.

Keberuntungan Obama semakin berlipat ganda karena presiden sebelumnya, George Walker Bush, meninggalkan begitu banyak masalah. Ada sekitar 150.000 tentara AS yang lagi berperang di Irak dan Afganistan. Ribuan dari mereka pulang hanya tinggal nama.

Kian menguntungkan, Bush berasal dari Partai Republik. Keberuntungan semakin berlipat karena krisis keuangan terburuk dalam delapan dekade ini, mencuat di AS sejak tahun lalu. Krisis semakin parah dan muncul dalam tiga bulan ini. Bush semakin dicerca sebagai penyebab semua ini. Intinya, kehidupan warga AS dan juga dunia semakin berat akibat ulah keliru seorang pemimpin di Gedung Putih.

Dari pengalaman popularitas para calon presiden AS, jelas bahwa warga atau pemilih mengandalkan seorang pemimpin yang bisa mengatasi berbagai masalah yang lagi dihadapi. Pemimpin yang lebih banyak mendatangkan masalah, punya catatan buruk, serta karakter dan integritas yang meragukan kerap dipandang sebelah mata oleh pemilih.

Dalam masyarakat plural dan beragam seperti di Indonesia, jelas sosok pemimpin yang diharapkan adalah dia yang bisa mengatasi persoalan. Sosok yang bisa dengan mudah menangkap masalah yang ada dan kemudian menawarkan jalan keluar yang membesarkan hati rakyat banyak. Integritas dan karakter menjadi faktor penguat lainnya.

Sekali lagi soal popularitas Obama, pemanfaatan internet dan kedekatan dengan media menjadi bagian lain yang ikut mendorong. Internet membuat interaksi dengan masyarakat banyak semakin langsung dan transparan. Dengan demikian, pokok permasalahan langsung sampai ke pimpinan.

Katakan internet masih sulit di negeri ini, apakah para pemimpin atau calon pemimpin juga sulit memperoleh masukan dari masyarakat bawah? Tidak ada alasan soal itu. Pemimpin yang baik adalah yang melayani. Melayani berarti juga datang dan mengunjungi lokasi masalah, tempat kejadian, untuk menangkap persoalan. Merasakan nuansa kepedihan, kesusahan, bahkan juga jeritan.

Seorang pemimpin baru sudah muncul di AS, Obama lebih favorit sekalipun calon presiden AS dari Partai Republik, John McCain, masih bisa membuat kejutan. Warga AS kini memiliki seorang presiden baru dengan banyak harapan yang ditaruh di pundaknya. Konsekuensi logis bagi AS sebagai negara adidaya. (ppg)

OBAMA DAN REFORMASI INDONESIA


Jumat, 7 November 2008 | 01:47 WIB

R William Liddle

Barack Obama, seorang muda, setengah hitam, dan anggota senat dari Negara Bagian Illinois yang baru dipilih dua tahun lalu, dipastikan akan dinobatkan sebagai presiden AS terpilih. Sebelumnya, Obama sudah mengejutkan setelah dia dicalonkan oleh Partai Demokrat.

Ia mengalahkan hampir selusin politisi kawakan yang jauh melebihi jam terbangnya, termasuk Hillary Clinton, istri mantan Presiden Bill Clinton, anggota lama di senat dari New York, dan politisi perempuan yang paling mencolok di Amerika selama puluhan tahun.

Apa yang menyebabkan kemenangan yang menakjubkan ini dan apa relevansinya buat Indonesia? Sebagai warga negara kawakan, yang sudah lama terlibat dalam politik Amerika, saya melihat empat alasan penting bagi kemenangan Obama: tuntutan ide demokrasi sebagai fondasi bangunan negara kami; aturan pemerintahan presidensial beserta otonomi daerah luas, yang berbeda dengan pemerintahan parlementer dalam negara sentralistis; Amerika sebagai negara majemuk yang senantiasa terbuka kepada imigran; dan sejarah Partai Demokrat, partai yang memilih Obama sebagai calon presidennya.

Pengalaman Indonesia dan Amerika tentu tidak serupa dalam segala hal, tetapi saya melihat cukup banyak persamaan, khususnya kalau kita bersedia melihat beberapa tahun ke depan.

All men are created equal, semua orang diciptakan setara. Di dalam Pernyataan Kemerdekaan Amerika, ketika kami memisahkan diri dari Kerajaan Inggris, tidak ada ide yang lebih dasar atau inti. Meskipun Thomas Jefferson dan rekan-rekannya, yang menyusun kalimat itu, masih memiliki budak dari Afrika, mereka memahami betul bahwa orang hitam adalah manusia juga. Pada suatu waktu kaum budak itu akan memanfaatkan kata-kata luhur yang tertera dalam Pernyataan Kemerdekaan untuk menuntut kebebasan yang memang merupakan hak mereka. Pada abad ke-21 kita semua ingat bahwa orang hitam Amerika telah berjuang selama ratusan tahun sebelum hak mereka diakui melalui Perang Saudara pada abad ke-19 dan civil rights movement, perjuangan hak asasi, pada akhir abad ke-20. Pencalonan Obama adalah satu langkah lanjut dalam perjuangan yang belum selesai ini.

Kedua, jenis demokrasi Amerika, yaitu demokrasi presidensial dalam wadah otonomi daerah luas, juga berpengaruh. Di negara-negara sentralistis yang parlementer seperti Inggris, para politisi muda hanya bisa naik ke puncak pemerintahan lewat jenjang partai. Mereka diberi latihan khusus serta tugas kecil selama beberapa tahun sebelum diizinkan masuk parlemen.

Di parlemen mereka menjadi backbencher, yang betul-betul bermakna anggota yang duduk di bangku belakang dan dilarang merepotkan pemimpin partai. Tony Blair harus melalui proses pengujian yang panjang sebelum dipercayai dengan kedudukan di kabinet, apalagi diangkat sebagai perdana menteri. Dalam pemerintahan parlementer, seorang Obama tak mungkin menerobos dinding partai pada usia muda. Dalam negara sentralistis seorang Obama tidak mungkin melompat dari daerah ke pusat.

Ketiga, selama dua ratus tahun kami berhasil mempertahankan sebuah open door policy, kebijakan pintu terbuka. Hal itu tidak berarti bahwa para pendatang selalu diperlakukan dengan baik. Orang Tionghoa pada akhir abad ke-19, orang Jerman dan Jepang pada masa Perang Dunia Pertama dan Kedua, orang Meksiko dan Arab pada masa kini (yang diwarnai globalisasi ekonomi dan teror politik), semuanya dicurigai dan terkadang diancam dengan pengusiran.

Namun, Samuel Huntington hanya separuh benar ketika dia mengaku dalam buku kontroversialnya, Who Are We? bahwa kesuksesan Amerika tidak bisa dilepaskan dari akarnya dalam budaya Inggris Protestan pada Zaman Pencerahan. Yang seluruhnya benar adalah bahwa Amerika dari awal sampai kini adalah produk hibridisasi. Barack Obama mewakili dan membuktikan kenyataan itu.

Terakhir, Barack Obama adalah hasil sejarah Partai Demokrat yang merangkul orang hitam pada masa pemerintahan Franklin Roosevelt, yang mulai menjabat sebelum Perang Dunia Kedua. Sayangnya, selama puluhan tahun partai itu bersikap skizofreni, sekaligus mewakili kelas buruh di Utara, termasuk orang hitam yang bekerja di pabrik industri, serta para tuan tanah di Selatan yang bersikap rasis.

Setelah John F Kennedy menjadi presiden tahun 1960, Partai Demokrat memperjuangkan hak-hak orang hitam dengan sungguh-sungguh. Kaum Demokrat dibantu secara tidak sengaja oleh pemimpin Partai Republik Richard Nixon, yang pada awal tahun 1970-an mencari dukungan orang putih dengan ”strategi Selatan”-nya. Nixon menang di hampir semua negara bagian Selatan, tetapi ongkosnya besar. Sampai kini hampir 80 persen orang hitam di seluruh Amerika menjadi pendukung setia Partai Demokrat. Mereka merupakan salah satu basis utama Obama dalam primary elections, pemilihan pendahuluan selama tahun 2008.

Indonesia

Di Indonesia, garis besar pemilihan presiden tahun 2009 sudah cukup jelas. Presiden Yudhoyono, yang berasal dari kelas politisi Orde Baru, akan dilawan oleh calon-calon yang juga sudah lama dikenal para pemilih. Sebaiknya janganlah berharap akan ada calon baru—muda, pinter, terampil bicara, penuh ide untuk memecahkan masalah-masalah bangsa, berasal dari golongan minoritas—yang menggiurkan seperti Obama.

Meski demikian, sejarah singkat reformasi Indonesia khususnya sejak tahun 2004, baik di pusat maupun di daerah, memberi kesan kuat bahwa sebuah kelas politisi baru sudah mulai menggeliat. Seperti Amerika, Indonesia adalah masyarakat majemuk yang restless, yang bergerak terus.

Negara-negara kita berdua (saya tawarkan: Kedua negara) sedang memanfaatkan lembaga-lembaga demokrasi kita masing-masing, termasuk pemerintahan presidensial beserta otonomi daerah luas, untuk menemukan jawaban serba baru kepada tuntutan zaman yang serba baru pula. Jadi, jangan terlalu terkejut kalau ada seorang Obama ala Indonesia yang muncul mendadak dalam kurun waktu lima tahun ke depan.

R William Liddle Profesor Ilmu Politik, Ohio State University, Columbus, Ohio, AS

MICHELLE "MY ROCK"


AP PHOTO/CHARLES DHARAPAK / Kompas Images
Jumat, 7 November 2008 | 03:00 WIB

Michelle LaVaughn Robinson (47) pernah mempertanyakan Barack Obama ketika suaminya itu hendak mencalonkan diri sebagai presiden AS. Katanya, bagaimana mereka bisa menggalang dana untuk membiayai kampanye Obama karena Michelle tak ingin Obama melakukan usaha yang hasilnya nihil.

Menurut Michelle, bukan hal mudah untuk mendapatkan dana kampanye. Tidak mungkin juga mereka hanya mengandalkan mesin uang mantan presiden dari Partai Demokrat, Bill Clinton. Tidak hanya uang, persoalan keamanan menjadi bahan pemikirannya.

Meski begitu, sejak awal kampanye Michelle berupaya sekuatnya untuk memberi dukungan kepada Obama. Michelle menyewa satuan intel saat di tengah massa, sebagai antisipasi akan kemungkinan Obama terluka.

”Saya mungkin lebih bersyukur ketimbang Barack, yang mencintai kehidupan normal. Kekhawatiran ini adalah tanda-tanda awal bahwa kehidupan kami mulai tidak normal,” ujar Michelle.

Untuk mengakhiri perjuangan yang telah dimulai, Michelle turut berorasi di depan pendukung mereka. Daya tarik Michelle adalah, menurut majalah Newsweek, dia mampu mendatangkan massa setidaknya 1.000 orang lebih secara rutin, termasuk saat hanya berkampanye sendirian. Dia bepergian dari satu wilayah ke wilayah lain untuk memberi pidato dan berbagai kegiatan.

Michelle muncul sebagai figur publik, menerima peran sebagai calon first lady yang mengaspirasi. Saat berkampanye, lulusan Universitas Princeton dan Harvard Law School ini terkadang dijadwalkan memberi pidato pembuka memperkenalkan Obama kepada massa.

Perempuan kelahiran 17 Januari 1964 ini tidak hanya duduk santai pada sesi-sesi strategis. Ia memanfaatkan waktu untuk menggalang dana lewat telepon meski sesungguhnya ia tak menyukai pekerjaan tersebut. ”Aku benci penggalangan dana, benciii... benci!,” ujarnya.

Banyak pihak mengagumi pembawaan dirinya. Sifatnya yang rendah hati dan kalem dipadu dengan kepercayaan diri yang kuat dan kecerdasan yang mantap. Cara berpakaiannya pun sangat sesuai. Karena itu, Vanity Fair memasukkannya dalam 10 perempuan berbusana terbaik. Gaya berpakaian Michelle disejajarkan dengan istri Presiden Perancis Nicolas Sarkozy, Carla Bruni; eksekutif kosmetik Evelyn Lauder; serta artis Sarah Jessica Parker.

Majalah People juga menobatkan anugerah serupa kepada Michelle, bersama peraih Piala Oscar, Gwyneth Paltrow dan Charlize Theron.

Di luar itu, Obama kerap memperkenalkan Michelle sebagai ”My Rock”, seseorang yang menjaga dirinya tetap fokus dan membumi. Michelle berusaha meyakinkan Obama untuk tetap menjaga setiap hal riil.

Pembicaraan mereka di telepon tidak lagi seputar hasil polling kampanye, tetapi tentang anak-anak, Malia Ann (9) dan Natasha (7). Michelle berusaha selalu mengingatkan Obama untuk tidak kehilangan kehidupan normalnya. Ketika pulang, Obama diingatkan untuk menghadiri rapat orangtua murid di sekolah.

Michelle membelikan dua laptop, satu untuk Obama dan satu lagi untuk anak-anak, sehingga mereka dapat bercakap-cakap lewat video internet.

Keduanya bertemu tahun 1989. Saat itu Michelle mendapat mentor Barack Obama, seorang yang saat itu dianggap istimewa oleh banyak orang. Michelle semula tak tertarik cerita di kantor tentang mahasiswa hukum Universitas Harvard, yang olehnya dikenal sebagai ”pria berkulit hitam yang selalu berbicara tepat sasaran”.

Obama begitu percaya diri saat mendekatinya dan berkata, ”Saya rasa kita harus berkencan.” Michelle menolaknya karena merasa ajakan tersebut belum patut. Namun, pertahanan Michelle berakhir setelah Obama mengajaknya untuk pergi ke kegiatan kelompok di gereja.

Dia kemudian memastikan bahwa dirinya menyukai Obama. ”Dia benar-benar berbeda. Saya suka menikahi seseorang yang memiliki pemikiran mendalam mengenai berbagai hal,” katanya.

Obama berkomentar mengenai Michelle, ”Selama 14 tahun bersama, dia melatih saya dengan sangat baik,” kata Obama, sebagaimana dituliskan dalam buku berjudul Ebony, ”The Hottest Couple in Amerika”, yang ditulis Lynn Norment tahun 2007. (Irma Tambunan)

Gorbachev: Obama Bawa "Perestroika"


Jumat, 7 November 2008 | 01:13 WIB

Moskwa, Kamis - Sejumlah tokoh dunia menyambut positif kemenangan Obama. Mereka optimistis kepemimpinan di bawah Obama akan mendatangkan perbaikan pada sejumlah persoalan dunia, seperti ekonomi, terorisme, dan lingkungan.

Mantan Pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev menyambut Barack Obama atas kemenangannya pada pemilihan presiden AS. Menurut Gorbachev, Obama akan membawa ”perestroika” ke negara adidaya itu.

”Saya sangat gembira. Dua atau tiga tahun lalu saya mengatakan bahwa Amerika memerlukan ’perestroika’, dan kemenangan Obama disambut dengan sukacita di AS,” kata Gorbachev, seperti dikutip kantor berita Rusia, ITA-TASS, Kamis (6/11).

Gorbachev menggunakan istilah ”perestroika” untuk reformasi liberal yang dilakukannya tahun 1980-an di Uni Soviet. Perubahan ini yang membantu mengakhiri Perang Dingin.

”Bukan suatu kebetulan, dunia mengikuti pemilihan seperti ini, termasuk Rusia. Ini menunjukkan ada harapan datangnya pemerintahan baru akan membawa perubahan,” lanjutnya.

Gorbachev, yang meraih Nobel Perdamaian 1990, menambahkan bahwa pemilihan presiden kulit hitam pertama AS itu merupakan pelajaran bagi negara lain dan menunjukkan ”sisi sangat kuat Amerika”.

Gorbachev menerapkan perestroika (restrukturisasi) dan glasnost (keterbukaan) di Uni Soviet pada tahun 1980-an, dengan menerapkan sistem ekonomi pasar menggantikan sistem sosialis Uni Soviet. Langkah pria berusia 77 tahun ini mengakhiri Perang Dingin dan tatanan geopolitik di Eropa Timur dan bahkan dunia.

Tokoh transformasional

Mantan Menteri Luar Negeri AS Colin Powell menyambut kemenangan Obama yang dikatakan sebagai hari bersejarah dalam hubungan ras. ”Obama seperti presiden untuk seluruh Amerika,” ujar Powell, tokoh kulit hitam terkemuka AS. Powell pernah menjabat Kepala Staf Gabungan dan berada dalam pemerintahan AS selama 40 tahun.

Powell menyatakan dukungan kepada Obama sejak Oktober lalu. Dia menyebut Obama sebagai ”figur transformasional” yang menjadi presiden istimewa. ”Faktanya bahwa dia orang kulit hitam yang baru saja menghidupkan Amerika sangat emosional,” tuturnya.

Powell, bagaimanapun, tidak optimistis dapat masuk ke pemerintahan Obama. Dia menyatakan tidak bermaksud mencari posisi jabatan, tetapi dapat mempertimbangkannya apabila ditawari. ”Saya tak tertarik pada posisi di pemerintahan. Saya tak berharap untuk ditawari,” tuturnya. ”Bila Obama memanggil saya untuk meminta nasihat, saya akan lebih senang, tetapi saya tak berharap untuk kembali ke pemerintahan,” lanjutnya.

Dia berharap pemerintahan Obama akan menjangkau semua pihak, termasuk yang bukan sekutunya. ”Mudah berbicara dengan seorang teman, tetapi terkadang sulit untuk berbicara dengan musuh. Namun, mereka adalah orang yang kepadanya kamu butuh berbicara,” katanya.

Powell menyarankan Obama menjalin hubungan politik dan ekonomi untuk mempercepat penguatan hubungan Sino-AS. ”Saya tak berharap dia mengadopsi kebijakan proteksionis,” ujarnya.

Perdana Menteri Jepang Taro Aso juga memberikan selamat kepada Obama. Seperti dikutip Japan Today, ia mengatakan siap bekerja sama dengan Obama dan berusaha mempercepat penguatan aliansi AS-Jepang. Kerja sama ini diharapkan dapat menyelesaikan tantangan dunia internasional, seperti ekonomi, terorisme, dan lingkungan. (AFP/ITA)

AMERIKA TERSIHIR

AP photo/Charles Rex Arbogast / Kompas Images
Zeboraqh Ball-Paul menangis ketika mendengar pidato Presiden Amerika yang baru terpilih, Barack Obama, di Grant Park, Chicago, Amerika Serikat, Rabu (5/11).
Jumat, 7 November 2008 | 03:00 WIB

Simon Saragih

Warga terpana bak mendapatkan tuah, keberuntungan, atau sebutlah keberuntungan apa saja yang ada di luar dugaan. Demikianlah suasana yang merasuki warga AS setelah Barack Obama dinyatakan menang. Lidah sebagian warga seperti kelu, seperti tidak bisa mengeluarkan kata-kata apa pun.

Amerika Serikat sedang berpesta, berpesta dan terenyak atas sesuatu yang diimpikan, tetapi sempat diyakini tidak akan pernah terjadi, yakni kemenangan Obama.

”Ya teman, saya bangga. Ya, saya bangga, ya….! demikian Yacob, seorang warga kulit hitam di Tremont Street, Boston, tak lama setelah Obama dinyatakan menang. ”Kamu bangga juga kan, Obama kan pernah tinggal di Indonesia,” kata Yacob. Tidak muncul suasana haru berlebihan dari gerak-geriknya, tetapi Yacob sedang bahagia, berbunga-bunga. ”Saya bangga kawan, saya bangga, saya bangga.”

Pada Selasa malam, jalanan di Boston pun langsung menjadi ajang pesta, mobil melaju dengan klakson-klakson, mengelukan-elukan Obama. Para pejalan pun seperti tidak mau kalah, turut meramaikan suasana dengan menyahut, ”Obama, Ok!”

Roy Cooper, yang tinggal di luar Metropolitan Boston, mengatakan, dia berharap semoga Tuhan mendengar permohonannya. Semampunya, Cooper, seorang pekerja bangunan, mencoba mewujudkan kemenangan Obama dengan mencoblosnya pada pagi hari.

”Dia istimewa, saya memilihnya bukan karena dia kulit hitam. Dia mengagumkan, dia bersahaja dan sopan.”

Akan tetapi, kemenangannya sungguh membuat saya terharu. ”Sekarang Anda melihat Boston lebih baik. Jika Anda berada di sini 20 tahun lalu, tindakan rasis yang menistakan kulit hitam sangat terasa. Saat itu adalah bohong besar jika dikatakan Obama adalah demokratis. Kini hal-hal seperti itu tidak terasa. Kemenangan Obama menunjukkan kemajuan sudah makin signifikan soal hubungan antar-ras.”

”Ini menjadi bukti bahwa transformasi dalam hubungan ras setidaknya sudah terbukti bisa terjadi di Amerika. Ini adalah sebuah impian Amerika yang lain, di mana ada kesediaan untuk memilih seorang kulit hitam menjadi presiden,” kata Profesor John King, yang mengajar di East Tennesse State University, Johnson City.

Tak habis-habisnya cerita soal kebanggaan warga kulit hitam. Akhirnya, komunitas yang pernah menjadi budak-budak bagi tuan kulit putih punya keturunan yang kemudian menjadi presiden bagi kulit putih itu sendiri.

Pesta semua ras

Namun, pesta tidak saja dilakukan para keturunan kulit hitam. Kulit putih juga larut dalam pesta. ”Mari, ikut pesta. Lupakan berita, kita berpesta. Ayo minum bir, minum, minum, minum,” kata Michael McManus, mahasiswa Emerson College, yang mengatakan membara. McManus sengaja mempersiapkan kaus oblong bertuliskan ”I’M Fired Up” karena mengantisipasi kemenangan Obama.

Jason, warga Inggris yang juga turut hadir di sebuah bar di Boylston Street, Boston, turut tersenyum bahagia menyaksikan kaula muda kulit putih yang berisik dan berteriak-teriak setelah Obama menang. ”Mereka bangga, mereka akhirnya merasakan kebahagiaan.”

Sebelum Obama menang, tidak sedikit pihak yang memastikan bahwa tidaklah mungkin seorang kulit hitam menjadi presiden. Ternyata ini terjadi dan membuat mereka terenyak,” kata Dr Gregory Payne, pengajar di Emerson College, menjelaskan euforia yang merasuki warga Boston.

Gemuruh suasana pesta juga terjadi di berbagai kota di seantero AS. Dari Harlem New York hingga jalanan di Atlanta, di mana Martin Luther King Jr lahir, serta di Oakland, California, euforia menyeruak.

Di Cleveland, Obama dan para pendukungnya berkumpul di sebuah rumah dan berpesta dengan menenggak sampanye sambil bersulang, berteriak. Seru, seru, seru! ”Untuk kulit hitam pertama yang menjadi presiden AS!” demikian warga berseru sambil menyentuhkan gelas di antara para hadirin.

Di Tampa, Florida, Mark Bias (51) langsung berteriak. ”Dia menang telak, menang telak,” kata Bias saat televisi CNN menyatakan Obama menang.

Al Sharpton, tokoh gerakan sipil AS dari kelompok hitam, juga merasakan kebahagiaan. Namun, dia mengatakan, kemenangan Obama seharusnya tidak hanya membuat kulit hitam berpesta.

”Kulit hitam harus menjaga citra. Kulit hitam harus memiliki tanggung jawab menjaga perilaku karena setiap perilaku buruk akan menodai keberhasilan Obama,” kata Sharpton yang pernah menjadi salah satu pembenci Obama. Bagi Sharpton, Obama sempat dianggap tidak cukup hitam untuk menjadi kulit hitam.

(Simon Saragih dari AS)

Pemilu yang Mengubah Dunia?


Rabu, 5 November 2008 - 09:51 wib

Pemilihan presiden (pilpres) di Amerika Serikat (AS) kali ini memang menghabiskan energi, termasuk buat kita yang mengamati dari jauh, apalagi bagi yang menjalaninya.

Maklum, kalau biasanya kampanye di sana hanya 365 hari sebelum pekan pertama November, kali ini kampanye sudah dimulai sejak 700 hari sebelum pemilu! Makin mendekati pemilihan, media makin mendudukan isu pemilihan sebagai berita utama. Wajar jika kita bertanya: Apa pentingnya hasil pilpres AS kali ini buat dunia? Jawabannya punya dua aspek.

Pertama, bentuk kegiatan ekonomi dan kebijakan keuangan negara-negara dunia. Kedua, pola politik keamanan global. Siapa pun yang memenangi pilpres sekarang akan ikut menentukan arah tatanan global yang baru.

Pertama, soal kegiatan ekonomi dan kebijakan keuangan. Setelah ambruknya pasar saham di AS bulan lalu dan rontoknya bank-bank investasi raksasa, negara-negara dunia seperti disadarkan bahwa likuiditas global yang tercatat beratus kali lipat nilainya sejak penggalakan globalisasi investasi di awal abad 21 ternyata bisa mengering juga.

Pertumbuhan ekonomi berbasis utang, jaminan, dan defisit neraca perdagangan berujung pada rontoknya perbankan, kredit macet, dan pengangguran. Pusat dari koreksi ekonomi dan keuangan ini: AS! Negara adidaya yang sejak akhir Perang Dunia I menjadi pusat perekonomian dunia karena kemampuannya menyediakan pinjaman dana untuk restorasi pascaperang itu kini justru menjadi salah satu peminjam dana terbesar dari negara-negara yang perekonomiannya tumbuh pesat di awal 2000-an.

Sejauh ini belum ada tanda pemulihan ekonomi AS. Perusahaan automotif General Motors dan Ford yang menjadi salah satu ikon sektor riil AS memotong produksi truk dan sport utility vehicle dan makin kesulitan mendapatkan dana segar. Pengangguran meningkat hingga 6,1%, sementara hampir satu dari dua rumah tangga harus hidup dengan pekerjaan ganda.

Defisit neraca pembayaran lebih dari USD180 miliar, pertumbuhan ekonomi melambat. Padahal 43% dari keluarga AS menghabiskan lebih dari pendapatan mereka dengan rata-rata utang kartu kredit USD8.000. Survei Healthcare for America dari AFL-CIO menunjukkan bahwa 83% dari pekerja yang mereka wawancara cuma punya asuransi kesehatan paspasan atau kurang dari cukup.

Ini berarti bahwa AS memang sakit. Wajar jika prioritas pertama presiden terpilih adalah pemulihan ekonomi di dalam negeri. Opsi pemulihannya sebenarnya terbatas: menyetop pola hidup berutang serta kebijakan defisit dan mulai menggiatkan sektor riil melalui mobilisasi dana publik; atau mendesak negara-negara lain untuk bersama-sama menyelamatkan AS, melalui skema pinjaman dana. ***

Kalau dilihat dari respons dunia, kelihatannya keleluasaan AS bahkan tidaklah sejauh itu. Sudah muncul wacana untuk keluar dari pusaran ekonomi pasar kapitalis yang berpusat pada AS. Berbagai kerja sama regional mengambil langkah konkret untuk membentuk dana bersama agar keluar dari kerangka ketergantungan pada lembaga keuangan bentukan Bretton Woods macam IMF dan World Bank.

ASEAN, China, Korea Selatan, dan Jepang sepakat mengumpulkan USD80 miliar. 27 negara Eropa sepakat membuat panduan bailout dan memantau bank-bank dari wilayah mereka. AS pun mulai menengok negara-negara kaya baru dari Asia sebagai sumber likuiditas dunia yang baru, walaupun tetap berhati-hati dalam menjaga aset-asetnya supaya tidak berpindah tangan ke Asia.

Dari gerakan regional ini hampir bisa dipastikan, meski minim, akan ada penyesuaian pajak di AS agar mereka bisa pulih juga secara independen. Buat dunia ini berarti akan ada negosiasi baru soal tatanan finansial dunia, termasuk, tidak mustahil, bagaimana menentukan nilai tukar mata uang.

Buat Indonesia, dalam waktu dekat ini AS belum bisa diandalkan untuk menjadi pasar produk dan jasa kita. Produk makanan dan kebutuhan primer rumah tanggalah yang kelihatan potensial terjaga permintaannya. Apalagi selama produk makanan dari China dianggap berisiko untuk kesehatan.

Produk-produk yang merusak lingkungan dan boros bahan bakar akan dijauhi sejalan dengan kampanye AS untuk memerhatikan kelestarian lingkungan hidup. Inovasi kendaraan atau teknologi yang ramah lingkungan dan menggunakan energi yang bisa diperbarui akan dicari.

Untuk pengelolaan keuangan, Indonesia harus mengandalkan neraca perdagangan yang surplus dengan kinerja sektor riil yang produktif, bukannya investasi asing, apalagi utang. Sebenarnya sejalan dengan reformasi pajak di AS, Indonesia bisa ikut meninjau kebijakan pajaknya, khususnya dalam hal penggunaan dana publik yang terkumpul.

Baik Barack Obama maupun John McCain sama-sama menyoroti perlunya pemantauan ketat atas tiap penggunaan dana publik. Jadi, tata kelola pemerintah yang bersih dan berorientasi pada transparansi potensial menjadi tema kerja sama bilateral AS dengan Indonesia. Isu desentralisasi dan pengelolaan pendapatan negara di tingkat lokal termasuk yang mungkin mendapat perhatian khusus. Jika tidak, Indonesia akan "ketinggalan kereta". ***

Kedua, dampak hasil pilpres AS untuk politik keamanan global. Salah satu alasan mengapa perdebatan pilpres di sana menarik perhatian dunia adalah karena tema politik luar negeri AS yang cenderung unilateral dan agresif selama delapan tahun ini. Segera setelah George W Bush menjadi presiden, perang terhadap terorisme memuncak.

Awalnya di Afghanistan dan perbatasannya, kemudian ke Irak dan negara-negara Timur Tengah lain. Fokus ini menyedot dana hingga sekira USD10 miliar per bulan dan puluhan ribu nyawa. Buntutnya, orang AS tetap merasa belum bertambah aman. Jadi, lepas dari bercabangnya arah perdebatan pilpres antara Obama dan McCain, siapa pun yang terpilih tidak punya pilihan banyak selain meninjau ulang kebijakan keamanan luar negeri.

Kenyataannya kebijakan AS selama ini telah menguras kering cadangan devisa dan menyeret negara-negara lain untuk ikut kekeringan dana. Para kritikus dari sayap kiri di AS mengecam tuduhan apa pun yang mengarah pada pembenaran sikap agresif AS.

Ada lelucon dari Michael Moore (produser film Fahrenheit 9/11) yang mendesak kaum Demokrat untuk berhenti menjadi penakut yang "minum dari gelas bayi (sippy cup), tidur dengan lampu menyala" karena diam saja meskipun tahu ada yang salah.

Dengan mengeringnya sumber dana untuk perang, minimal akan ada pendekatan baru di Irak. Buat negara-negara lain, tentu saja kekerasan bernuansakan identitas agama masih menjadi pekerjaan rumah serius buat tatanan politik global.

Setelah hampir satu dekade disibukkan oleh kelompok-kelompok militan yang populer karena aksi serangan bomnya, tampak bahwa negara-negara di dunia memang belum sepenuhnya siap menghadapi ragam bentuk kekecewaan masyarakat sipil terhadap pilihan kebijakan negara. Setidaknya senjata negara untuk menjaga perdamaian masih cenderung konvensional, yakni militer. Padahal nyata bahwa pendekatan militeristik menyisakan masalah hak asasi manusia.

Di sejumlah negara pendekatan ini juga malah meruncingkan kecurigaan antarkelompok masyarakat yang selama ini hidup berdampingan dalam keberagaman. Sebenarnya ini faktor ketidakamanan yang justru belum tersentuh. Sampai kapan ini dipaksakan untuk berlanjut? Jadi, siapa pun yang terpilih di AS, akan punya andil dalam arah wacana keamanan ini. (*)

Dinna Wisnu, PhD
Doktor Ilmu Politik The Ohio State University dan Alumni FISIP UI

Menyambut dengan Kritis Kemenangan Obama

Kamis, 6 November 2008 - 09:36 wib

Begitu Barack Obama diumumkan sebagai pemenang Pemilu Amerika Serikat (AS), seluruh dunia bersorak-sorai. Semua berpesta atas berakhirnya Pemerintahan Bush yang dianggap sebagai sombong dan tak becus.

Obama sebagai presiden pertama AS yang berkulit hitam dianggap sebagai angin segar yang bisa mengubah citra Amerika menjadi lebih rendah hati. Latar belakang Obama sebagai seorang anak yang pernah tinggal di Indonesia mengakibatkan banyak yang percaya bahwa Obama bisa lebih mengerti kesulitan negara-negara berkembang. Harapan-harapan besar dari dunia pun diletakkan di bahu Presiden Obama.Rata Penuh

Idealnya, Obama akan bersikap seperti Bill Clinton, yang berusaha menjadikan AS sebagai partner kerja sama dalam perpolitikan dunia, bukan seperti Bush yang berpedoman "kalau mereka tak mau ikut, lakukan saja sendiri". Namun, harapan-harapan ini menciptakan pertanyaan baru: bagaimana kalau pemerintahan Obama ternyata tak mampu memenuhi harapan yang ada?

Sejauh mana sebetulnya kemenangan Obama didorong oleh keinginan "dunia"? Namun saya sendiri secara pribadi tetap berharap agar pemerintahan baru AS bisa memberikan aura positif bagi dunia. ***

Obama sebagai lulusan salah satu sekolah yang paling bergengsi di AS di bidang hukum memang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi. Kehebatannya dalam membina organisasi kampanye yang sangat efektif juga kentara benar. Namun, Obama masih perlu berusaha lebih keras. Sampai sekarang pun banyak yang bertanya-tanya bagaimana kepemimpinan dan kemampuan Obama yang sebenarnya.

The New York Times, koran yang sangat bersimpati kepada Partai Demokrat dan pendukung Obama, dalam menyambut terpilihnya Obama menekankan,"Banyak pengikut Obama belum tahu gaya pengambilan keputusan atau gaya kepemimpinan macam apa yang dimiliki Obama." Saya pun teringat percakapan saya dengan salah seorang rekan pendukung setia Partai Demokrat di Columbus, Ohio, di mana dia berkata,

"Saya akan memilih Obama, tetapi sebetulnya saya tak begitu puas karena saya tak tahu siapakah dia itu." Satu hal yang jarang disebut-sebut dalam analisis tentang menangnya Obama adalah dampak dari krisis ekonomi kepada terpilihnya Obama. Seperti yang Bill Clinton pernah katakan," It's economy, stupid!"

Krisis ekonomi menjadi kekhawatiran terbesar rakyat Amerika dan menghadiahkan Obama kursi di Gedung Putih. Kekhawatiran ini terlihat dalam jajak pendapat para pemilih yang dilakukan AP dan CNN. Enam dari 10 pemilih menyatakan ekonomi merupakan isu terbesar, jauh melebihi Perang Irak (1 dari 10).

Sembilan sepuluh responden melihat bahwa kondisi ekonomi sangat buruk dan dari para pemilih tersebut, Obama mendapatkan suara 9 persen di atas McCain (53-44 persen, AP&CNN 4 November). Faktor ini pun ditekankan dengan jajak pendapat yang dilakukan sebelum pemilu.

Angka dukungan kepada McCain dan Obama selalu hampir sama walaupun Obama menghabiskan dana untuk iklan televisi tiga kali lebih besar daripada McCain, (Washington Post, 7 Oktober), sampai akhirnya krisis ekonomi meledak di bulan September dan ikut menghantam posisi McCain. Intinya, faktor terpenting yang menyebabkan kekalahan McCain yakni ekonomi, bukan Perang Irak atau kemarahan dunia ataupun rasa percaya rakyat Amerika bahwa Obama adalah pemimpin yang hebat. ***

Dari sini timbul pertanyaan: mampukah Obama sebagai presiden untuk menghadapi berbagai macam krisis yang ditinggalkan Bush? Di satu sisi, Obama yang dikelilingi oleh para penasihat yang pintar dan berkualitas tinggi. Dia pun bisa memilih para anggota kabinet yang bermutu tinggi untuk membantunya dalam menghadapi masalah-masalah yang dihadapi pemerintahannya.

Namun di sisi lain, kepemimpinan Obama yang belum terbukti pun akan diuji oleh krisis ekonomi dunia, penyelesaian Perang Irak dan Afghanistan, serta dia pun harus memenuhi harapan dunia yang sangat tinggi kepada kemenangannya. Selain itu, dia harus "menyenangkan" rekan-rekannya dari kubu Demokrat yang sudah menang telak di Kongres.

Padahal seringkali keinginan kaum Demokrat di Kongres bertentangan dengan kepentingan luar negeri AS. Misalnya, tigapuluh sembilan dari empat puluh penandatangan surat kongres AS tentang Papua berasal dari Partai Demokrat. Padahal, Pemerintah AS berusaha menggalang hubungan baik dengan Indonesia untuk membantunya dalam perang melawan terorisme dan ekstrimisme.

Di sinilah kepentingan luar negeri AS dan aspirasi kongres AS bertubrukan dan dampaknya mungkin bisa mempengaruhi Indonesia secara negatif. Tantangan-tantangan di atas, ditambah lagi dengan kebingungan atas bakat kepemimpinan Obama menyebabkan hari-hari setelah Obama masuk ke Gedung Putih di Bulan Januari akan menjadi sangat menarik.

Apapun yang Obama putuskan akan mempengaruhi langkah-langkahnya yang selanjutnya di empat atau delapan tahun ke depan. Namun, itu adalah kekhawatiran untuk kali lain, karena kita tetap tak bisa melupakan bahwa hari ini merupakan hari yang bersejarah dan penuh optimisme. Ini adalah sebuah hari di mana pada akhirnya seorang yang berkulit hitam, yang merupakan warga minoritas di AS, yang sampai tahun 1960-an terus didiskriminasi secara terbuka, bisa melangkah masuk ke Gedung Putih.

Ini adalah hari bersejarah yang menyebabkan kita kembali mengingat tentang "American Dream" yang sangat memikat itu, di mana, setiap orang dengan usaha keras bisa menghadapi segala rintangan dan mencapai apa yang ia tuju. Selain itu, jika Obama dengan kampanyenya yang terorganisasi dengan rapi mampu mengatasi segala lawan politik kelas berat seperti Hillary Clinton, John Edward, dan puncaknya adalah mengalahkan John McCain.

Mungkin kita bisa melihat bahwa ini "previu" kepemimpinan Obama di Gedung Putih bahwa Obama memang memiliki bakat kepemimpinan dan disiplin yang sangat baik. Kita mungkin bisa yakin itu mampu membantunya dalam menghadapi ujian yang lebih utama lagi: yakni mengembalikan AS sebagai negara yang dihormati, disegani, dan menjadi mitra yang disukai oleh negara-negara lain di dunia.

Untuk itu, mari kita berharap bersama-sama agar "Change We Need" benar-benar terjadi, yakni adanya perubahan ke arah yang positif yang kita dambakan dan butuhkan. Selamat datang Mr Obama di Gedung Putih!(*)

Yohanes Sulaiman
Doktor Ilmu Politik The Ohio State University