Jumat, 14 November 2008

Sang Presiden dari Menteng Dalam


Barack Obama sudah bercita-cita jadi presiden sejak tinggal di Jakarta.
Karakternya terbentuk oleh didikan keras sang ibu.

IA cuma pegawai rendahan. Pekerjaannya saban pagi adalah menyiapkan proyektor dan LCD di ruang kelas PPM Institute of Management, di kawasan Menteng, Jakarta. Tapi Rabu siang pekan lalu, Saman, anggota staf bagian umum lembaga pendidikan itu, mendadak menjadi selebritas.

Saat Barack Obama disebut sebagai Presiden Amerika terpilih untuk periode 2009-2013 pada siang itu (atau Selasa malam di Chicago, Amerika Serikat), teman-teman sekantor Saman langsung menyerbunya. ”Selamat, Pak,” kata seseorang yang menyalaminya di lift. ”Kalau enggak ada Bapak, Obama tak akan jadi presiden,” ucap yang lain.

Obama bagi pria 58 tahun asal Gunung Kidul itu memang bukan nama yang asing. Ia bagian dari kehidupan masa lalu Saman. Saat itu, 38 tahun silam, Saman mendapat tugas dari ibu Obama, Stanley Ann Dunham, untuk ”mengikuti Barry ke mana pun dia pergi”. Barry adalah nama panggilan Obama kecil.

Keluarga Barry ketika itu belum lama pindah dari Jalan KH Ramli Nomor 16, Menteng Dalam, Jakarta, ke Jalan Taman Matraman Barat Nomor 22. Barry tinggal bersama Ann, Lolo Soetoro—ayah tirinya—dan adiknya, Maya Kassandra Soetoro, serta tiga pembantu yang lain. Lolo bekerja pada bagian topografi TNI Angkatan Darat, sebelum pada 1972 pindah kerja ke Union Oil, perusahaan minyak Amerika yang kelak berganti nama menjadi Unocal (terakhir Chevron).

Saman masih ingat pada 1970 itu ia kerap mengantar Barry ke Sekolah Dasar 01 Besuki (sekarang SD Menteng 1) menggunakan sepeda ontel. Ia bertugas mengantar bila Barry tak ikut mobil jemputan ibunya, yang bekerja sebagai guru bahasa Inggris di PPM (yang waktu itu berlokasi) di Budi Kemuliaan, Jakarta. Di jalan itulah, atau saat bermain, teman-teman Barry kerap meledeknya dengan panggilan ”Negro, Negro”. Obama membalas ejekan itu dengan teriakan ”Huuu… kampungan!”

”Barry sudah mulai lancar berbahasa Indonesia dan sudah bisa bilang lu-gue,” ujar Saman kepada Tempo.

Obama bersekolah di Jakarta dari 1968 hingga akhir 1971. Ia belajar di SD Fransiskus Strada Asisi (sekarang SD Katolik Fransiskus Asisi) sejak 1968 hingga awal 1970. Selanjutnya, ia pindah ke SD 01 Besuki saat kelas III hingga kelas IV. Ia kemudian melanjutkan pendidikan dasarnya di Hawaii.

Sebelum Obama berangkat ke sekolah, Ann biasanya memberinya tugas belajar. Tugas itu harus diselesaikan sebelum sang ibu pulang kerja. ”Kalau Barry tak menyelesaikan tugas yang diberikan ibunya, dia akan dikunci di dalam kamar,” kata Saman.

Dengan disiplin keras inilah Ann mendidik Barry. Saat tinggal di Menteng Dalam, misalnya, Obama harus menimba air sumur sendiri. Sang anak pun tak boleh menolak menu makan yang disuguhkan. Nucky Nugroho, 53 tahun, bercerita pernah melihat Obama, Lolo, dan Ann makan nasi dengan hanya berlaukkan ikan asin dan sambal. ”Saya sebenarnya kasihan melihatnya. Tapi Barry makan makanan sederhana itu dengan lahap,” ujar pengusaha batu bara yang kini tinggal di Cirebon itu seraya terkekeh. Nucky adalah anak Trisulo, mantan pejabat Pertamina. Istri Trisulo merupakan kakak kandung Lolo.

Mungkin lantaran masih belum kenyang, Barry bertandang ke rumah temannya. Keluarga Askiar dari Padang, tetangganya di Menteng Dalam, menjadi tempat favorit Barry menyantap rendang. Djoemiati, 66 tahun, Bu RT 11 di Menteng Dalam itu, mengisahkan kenakalan Obama. Barry, misalnya, pernah hampir menghabiskan kue tar yang hendak disuguhkan kepada tamu keluarga tetangga Djoemiati. Karena berang, pembantu rumah itu mengejar-ngejar Barry. Obama lari terbirit-birit sebelum bersembunyi di kolong tempat tidur. ”Gaya lari Barry lucu banget, mirip bebek sawah,” ucapnya.

Dalam buku Dreams from My Father (1995) yang ia tulis, Obama memuji kedisiplinan dan jejak multikultural yang ditinggalkan sang ibu. Ann meninggal di Hawaii pada 1995. ”Saya berutang kepadanya untuk semua hal yang terbaik dalam diri saya,” demikian tulisnya.

Jejak ini bahkan menjadi modal paling penting Obama ketika kembali ke Amerika dan kemudian terjun ke dunia politik. Dengan ayah kandung kulit hitam dari Kenya, ibu kulit putih berdarah Indian Cherokee, dan ayah tiri berkulit sawo matang, ia tak lagi gusar saat mendapat sebutan ”miring” dari teman-temannya. David Axelrod, sahabat yang kemudian menjadi manajer strategi kampanye Obama, mengisahkan, ketika Obama masuk sekolah menengah di Honolulu, teman-teman putih Amerikanya justru memanggil dia dengan julukan ”Negro dari Indonesia”.

Dengan kematangan multikultural itu ia menapaki panggung politik. Hanya dalam waktu dua tahun setelah menjadi senator pada 2004, wajah Obama sudah terpampang di sampul majalah Time. Judulnya sangat provokatif, ”Barack Obama: Apakah Dia Presiden Berikutnya?”

Obama memang menjadi bintang yang melesat cepat di politik Amerika Serikat. Padahal ia baru resmi menjadi politikus pada 1996—sebagai politikus lokal di Negara Bagian Illinois. Saat terpilih sebagai senator pada usia 43 tahun itu, Obama tak menjanjikan hal yang muluk. Kepada wartawan, ia mengatakan yang pertama dilakukan setelah menjadi senator adalah mempelajari bagaimana lembaga itu bekerja, bagaimana membuka keran di wastafel, serta bagaimana menggunakan telepon di sana. Inilah strategi ”mengenal lingkungan terdekat”.

Dengan strategi ini ia menancapkan pengaruhnya di Illinois. Seperti bebek sawah yang terus mengitari sawah yang ia kenal, Obama mengetuk dari satu pintu ke pintu lain, dari satu komunitas ke komunitas lain, hingga akhirnya ia merebut para pemilih di seluruh Amerika. Ia menjadi Presiden Amerika pada usia muda: 47 tahun.

Inilah cita-cita yang, kata Obama, ”tak ada yang tak mungkin diwujudkan di Amerika”. Di Indonesia, ketika duduk di kelas III, Obama pernah diminta Israella Pareira Darmawan, guru di SD Fransiskus Asisi, mengarang dengan tema ”Cita-citaku”. Israella, kini 64 tahun, ingat betul, bocah delapan tahun itu pernah menulis: ”Cita-citaku: Presiden.”

Saman pun mengingat suatu obrolan antara Obama dan Lolo Soetoro. ”Kamu besok mau jadi apa?” tanya Lolo. Obama menjawab, ”Ingin jadi PM.” Saman baru ngeh sekarang bahwa PM yang dimaksudkan Barry dulu adalah perdana menteri. ”Cita-citanya kesampaian,” kata Saman.

”Dia warga Menteng Dalam pertama yang jadi Presiden Amerika,” ucap Coenraad Satjakoesoemah, 77 tahun, suami Djoemiati, seraya tersenyum.

Di Grant Park, Chicago, Selasa malam itu perayaan kemenangan Obama dihadiri 80 ribu orang. Di Bellagio Boutique Mall, Mega Kuningan, Jakarta, ratusan fan Obama dari beberapa negara berkumpul pada Rabu pukul 19.00 hingga tengah malam. Musik jazz mengayun, pelbagai minuman cepat tandas, kaus dan poster bergambar Obama ludes, balon warna-warni diterbangkan, enam spanduk besar menjuntai dari lantai dua hingga ke lantai dasar. Tulisannya: ”We Love You Obama Presidenku”.

Sekitar 20 teman SD 01 Besuki berkumpul di Pisa Cafe, Menteng, Rabu siang. Mereka merencanakan kegiatan reuni dan merancang ucapan selamat kepada sang sahabat: Barry. Untuk pertemuan itu, sebagian besar dari mereka tak masuk kerja. ”Saya sudah izin kantor untuk menyaksikan penghitungan ini,” kata Cut Citra Dewi, 48 tahun, teman sebangku Obama saat kelas III-A.

Nucky, di rumah dengan luas lebih dari 500 meter persegi di Jalan Perjuangan VII, Cirebon, mengundang puluhan wartawan menonton siaran langsung penghitungan suara. ”Lihatlah, semua orang seperti kesirep,” serunya. Saat Obama dinyatakan menang, ia pun segera menelepon saudara-saudaranya di Jakarta dan Yogyakarta.

Kismardhani S. Roni, anak Suwarti, kakak Lolo Soetoro, mengenang kembali Obama dan Maya Soetoro yang dulu sering berlibur di rumah eyang mereka di Kampung Jayeng Prawiran, Yogyakarta. ”Om Lolo sangat sayang kepada Barry,” ucapnya. Lolo meninggal pada 1987 karena komplikasi lever.

Ide menggelar syukuran keluarga besar Trisulo dan Lolo Soetoro pun terbit. Tapi Sonny Trisulo, adik Nucky, tak setuju. ”Itu berlebihan. Kita doakan saja Barry selamat,” kata Sonny, yang telah bertemu dengan Obama pada Juni lalu.

Saman, ”sang pengawal” Presiden Amerika, juga tak punya rencana hajatan. Ia hanya warga jelata yang setiap hari naik sepeda motor dari rumahnya di Pulogebang, Jakarta Timur, ke kantornya untuk menyiapkan properti sekolah. Sudah sejak 1972 ia bekerja di sana. Ann-lah yang meminta PPM mempekerjakan Saman menjelang pulang ke Hawaii. Saman mengawali karier sebagai juru parkir dan masuk bagian yang ia tempati sekarang sejak 1975. Dunia Saman masih tak beranjak jauh dari mesin proyektor.

Yos Rizal S., Iqbal Muhtarom, Cornila, Ivansyah (Cirebon), Pito Agustin (Yogyakarta)

Tidak ada komentar: