Jumat, 14 November 2008

Keberagaman Membentuk Wataknya

Maya Soetoro-Ng:

KETIKA dunia larut dalam kemenangan Barack Hussein Obama Jr. dalam pemilihan umum Presiden Amerika Serikat, pekan lalu, sekitar 7.000 ribu kilometer dari Chicago, seorang perempuan berambut panjang hitam legam ikut berbagi kebahagiaan. Dialah Maya Kassandra Soetoro-Ng, adik seibu Obama.

Malam itu, di apartemen seluas 600 meter persegi di Jalan Beretania, Honolulu, Hawaii, Maya sebetulnya sedang sibuk menyiapkan proses pemakaman nenek mereka, Madelyn Dunham. Sang nenek, yang mereka panggil ”Toot”, wafat tepat sehari sebelum Obama menang.

Lebih muda sembilan tahun daripada sang abang, Maya lahir di Jakarta, 38 tahun silam, dari pasangan Stanley Ann Dunham dan pria Indonesia bernama Lolo Soetoro. Keduanya menikah di Hawaii, setelah Ann Dunham bercerai dengan ayah Obama.

Meski mereka berbeda ayah, Maya sangat dekat dan selalu berbagi cerita dengan sang abang. Ketika Obama memutuskan ikut bertarung dalam konvensi Partai Demokrat, Maya rela meninggalkan pekerjaannya sebagai pengajar di sebuah sekolah putri di Honolulu dan dosen kuliah malam di University of Hawaii di Manoa.

Dalam berbagai kampanye di depan pendukung Obama, Maya tampil ”mempromosikan” sang abang. Bukan dalam bentuk janji politik, melainkan lebih banyak berkisah tentang masa kecil dan remaja yang ia lalui bersama sang abang.

Media yang ingin tahu masa lampau Obama mulai memperhatikan Maya. Tidak mengherankan jika kemudian ibu seorang putri kecil bernama Suhaila, dari pernikahannya dengan Konrad Ng, ini ikut terkerek namanya.

Rabu pagi waktu setempat, setelah pesta kemenangan itu, di sela perkabungannya, wartawan Tempo, Angela Dewi, mewawancarai Maya lewat saluran telepon internasional. Percakapan terputus beberapa kali karena Maya sangat sibuk menyiapkan proses pemakaman. Meski suaranya terdengar terburu-buru dan bernada murung, Maya menjawab pertanyaan—dalam bahasa Indonesia bercampur Inggris—dengan ramah.

Selamat atas kemenangan abang Anda dan ikut berdukacita atas kepergian nenek Anda.

Terima kasih. Kami memang sedang dalam suasana perkabungan. Saya tidak bisa bercerita bagaimana perasaan saya saat ini.

Anda tidak berada di dekat abang Anda ketika kemenangannya diumumkan....

Saya ikut berbagi kebahagiaan atas kemenangan Barack Obama. Tapi, sekali lagi, kami berada dalam suasana duka....

Seberapa besar arti Obama buat Anda?

Sejak kecil kami sangat dekat, karena kami tumbuh tanpa keluarga yang lengkap. Barack Obama menjadi pengganti ayah bagi saya. Dia melindungi, bossy, tapi sayang kepada saya. Saya ingat dia suka mengolok-olok jika saya tidak bisa mengerjakan tugas sekolah. Dia bilang saya harus punya tujuan hidup dan pencapaian yang tinggi.

Anda berbeda usia cukup jauh dengannya.…

Sembilan tahun. Jadi banyak sekali yang saya pelajari dari dia. Bagaimana dia menghadapi masalah, bagaimana dia menyelesaikannya. Dia mengajarkan kepada saya bagaimana menjalani kehidupan.
(Dalam satu artikel mengenai kedekatan Maya dan Obama, majalah Time menulis bagaimana Obama mengenalkan dunia kepada Maya. Ia membelikan Maya kaset jazz dan blues, mengajak Maya menonton dan membelikan novel. Tidak mengherankan jika kemudian mereka punya selera yang sama terhadap musik, sastra, dan filsafat. Kantor berita AFP juga pernah menulis, ketika ayah Maya wafat pada 1987, Obama membantunya memulihkan perasaan. Kasih sayang Obama kepada sang adik juga tampak dalam kalimat di bukunya, Dreams from My Father. Obama menulis kesannya tentang sang adik, yang berdiri di sampingnya ketika Obama menikah, pada 1992. ”Aku menatap ke arah adik kecilku dan melihat seorang perempuan yang tumbuh dewasa, cantik, dan bijaksana serta terlihat seperti perempuan bangsawan Latin dengan kulitnya yang selembut minyak zaitun dan rambut panjangnya yang hitam terurai.”)

Apa yang paling berkesan dalam diri abang Anda?

Dia punya perpaduan yang unik antara sikap independen, penuh percaya diri, empatik, dan melankolis.

Barangkali karena dia dibesarkan di tengah banyak perempuan?

Saya rasa begitu. Ibu, Nenek, dan saudara-saudara perempuan lainnya membawa pengaruh pada pembentukan watak penuh perhatian yang dimiliki abang saya.

Bagaimana dengan pengaruh ibu Anda?

Ibu kami adalah perempuan yang sibuk, independen, tapi penuh perhatian dan selalu memastikan semuanya baik-baik saja. Saya pikir abang saya mewarisi banyak karakter ibu kami, meski dalam beberapa tahun masa kecilnya Obama lebih banyak menghabiskannya bersama Nenek. Saya pikir abang saya juga mewarisi dari ibu jiwa sosial dan kemampuan merangkul banyak orang.
(Beberapa media pernah menulis reaksi tenang Stanley Ann Dunham ketika tahu Obama lebih banyak menyinggung sang ayah dalam bukunya, Dreams from My Father. Perempuan yang meninggal pada 1995 ini hanya berkomentar, ”Memang seharusnya begitu.”)

Abang Anda banyak menghabiskan waktu remajanya di Hawaii. Apa pengaruhnya bagi dia?

Kami tinggal bersama di Honolulu dari 1973 hingga 1976. Ketika Obama tinggal bersama Kakek dan Nenek, saya sering berkunjung sampai akhirnya dia tamat dari Punahou School pada 1979 dan pindah ke mainland untuk melanjutkan kuliah. Keberagaman di Hawaii juga membentuk wataknya.

Bagaimana dengan pengaruh masa kecil di Indonesia?

Abang saya melewatkan sebagian masa kecil dan perkenalannya dengan dunia luar di Jakarta. Saya rasa abang saya mulai memiliki konsep tentang jiwa sosial dan kemiskinan serta jurang antarkelas ketika kami tinggal di Jakarta. Abang saya berbaur dengan teman-temannya dari bermacam kelas, dan itu sangat baik untuk membentuk karakter.
(Dalam bukunya yang lain, Audacity of Hope, Obama berkisah bahwa meski ibu mereka seorang ekspatriat, kehidupan mereka pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an itu sesungguhnya mirip orang kebanyakan. Jakarta saat itu dalam keadaan kacau. Listrik sulit, jalan tak beraspal. Indonesia baru berganti rezim dari Soekarno ke Soeharto. Setelah keuangan Lolo Soetoro membaik dan mereka pindah rumah ke Matraman Dalam, tetap saja keluarga Soetoro tidak mampu menyekolahkan Obama ke sekolah asing yang mentereng. Tidak mengherankan jika kemudian Obama lebih banyak bergaul dengan anak kampung.)

Banyak media Barat yang berusaha mengaitkan kehidupan masa kecil abang Anda di Jakarta dengan Islam.

Saya gusar dan frustrasi. It is terrible. Sering saya sampaikan bahwa keluarga kami tumbuh di tengah budaya Islam karena kedua ayah kami berlatar belakang Islam, tapi itu kemudian diartikan sepotong-sepotong. Saya percaya di tempat-tempat lainnya, juga di Indonesia, ada banyak berita lain yang mematahkan hal-hal semacam itu.

Abang Anda takut menyinggung-nyinggung Islam karena itu akan jadi kampanye buruk bagi dirinya?

Tidak sama sekali. Kami tidak takut. Saya tidak ingin menolak Islam dalam bagian kehidupan keluarga kami. Saya pikir sangat bijak jika kita mencoba memahami Islam, pemahaman yang lebih baik. Namun, pada saat yang sama, ada ketidakadilan yang dilekatkan pada Barack Obama.

Anda dan abang Anda dikenalkan pada budaya Islam?

Seingat saya, abang saya pernah memakai sarung dan bermain dengan anak-anak di masjid. Ketika kecil, saya juga pernah membaca Quran. Setiap pagi kami mendengar azan. Ibu bilang azan itu indah. Tapi, secara falsafah, saya adalah orang Buddha dan abang saya kristiani.

Ibu Anda?

Ibu saya agnostik, ia menganggap semua agama membawa kebaikan yang sama.

Anda bahagia tumbuh di tengah keluarga yang beragam seperti itu?

Saya pikir itulah yang membuat Barack Obama diterima oleh banyak orang. Ia bicara tentang perubahan dan sebuah kemungkinan dalam keberagaman. Kami berada dalam keberagaman itu. Kami tahu bagaimana rasanya.

Abang Anda tidak keberatan disebut Afro?

(Maya tertawa perlahan) Dia suka disebut hitam. Bukan bentuk penghinaan. Dia menikmati panggilan itu.

Kalau Anda? Anda merasa lebih Indonesia atau kulit putih?

Saya hibrida.… Saya separuh Asia dan separuh Amerika. Saya juga menikmati itu. Saya pikir anak saya juga akan merasakan hal yang sama. Sebuah hibrida tidak bisa dilihat dari satu sisi. (Maya menikah dengan pria Cina-Kanada, seorang profesor di University of Hawaii.)

Ini pertanyaan yang diajukan banyak orang: abang Anda bisa bicara dalam bahasa Indonesia?

Oh, di depan orang ramai dia tidak percaya diri. Tapi, dengan saya, dia suka berguyon. Dia suka bilang, ”Maya sini, Maya sini.…” Bicaranya halus....

Abang Anda pernah bicara soal Indonesia beberapa tahun terakhir?

Seingat saya, dia terakhir kali ke Jakarta pada 1991 untuk menyusun bukunya. Ia bilang banyak perubahan. Saya pikir dia punya kesan yang mendalam pada kunjungan itu. Dia pernah bercerita bahwa ia mengkhawatirkan Indonesia.
(Sebuah bagian dalam Audacity of Hope yang berkisah tentang Indonesia juga menyebut bagaimana Obama ingin mengajak istri dan anak-anaknya melihat Bali, tapi khawatir suasananya sudah tidak sama lagi dengan kenangan tentang Bali yang ia kunjungi ketika masih kecil.)

Bagaimana Anda melihat hubungan abang Anda dengan Michelle?

Saya mengagumi hubungan mereka yang hangat dan kuat. Saya rasa abang saya menemukan akar tempat ia melekat di Chicago dengan pernikahannya ini. Ini menyenangkan mengingat bagaimana kami menjalani kehidupan di tengah latar belakang yang beragam.

Anda kini menjadi bagian dari keluarga paling penting di Amerika. Ada yang berubah?

Saya penduduk Hawaii dan saya seorang guru sekolah. Tapi saya akan melakukan semua yang saya mampu untuk membantu abang saya.

Presiden Amerika Serikat seperti apa yang Anda lihat dalam diri abang Anda?

Ibu saya pernah bilang, kamu bisa jadi apa saja yang kamu inginkan. Tapi seriuslah dengan semuanya. Saya pikir ia akan berdiri di depan kita semua sebagai presiden yang punya pengalaman dan tumbuh dalam lingkungan yang beragam. Ia memahami apa yang tidak diketahui orang-orang Amerika kebanyakan. Sebagai Presiden Amerika Serikat, perubahan seperti yang dibawa Barack Obama adalah sebuah mimpi yang mustahil di masa lampau. Saya pikir kami beruntung.

Tidak ada komentar: