Jumat, 14 November 2008

’Sinyo’ Hitam di Gedung Putih


MATAHARI terbit kembali di Amerika. Setidaknya itulah yang dirasakan para pendukung Barack Obama setelah mendengar kemenangan kandidat Partai Demokrat itu dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat pekan lalu. Maklum, mereka merasa kepemimpinan George Walker Bush selama delapan tahun terakhir ini telah membawa negaranya ke dalam malam yang pekat. Amerika menginvasi Afganistan dan Irak, memenjarakan ribuan orang tanpa pengadilan di Guantanamo, dan menerbitkan undang-undang antiteroris yang represif.

Mulanya adalah serangan teroris ke menara kembar di New York, 11 September 2001. Belum lagi asap menghilang dari reruntuhan bangunan, suara marah dan semangat dendam keras berkumandang dari Gedung Putih. Perang terhadap teroris digelindingkan ke seluruh penjuru bumi dan dunia dipaksa memilih: ikut Washington atau akan dianggap sebagai lawan. Simpati dunia yang sempat membanjir begitu gedung World Trade Center roboh pun pelan-pelan berubah menjadi kekesalan. Popularitas Amerika melorot dan kaum antidemokrasi di seluruh bumi berteriak lantang: demokrasi telah gagal!

Kini rakyat Amerika membuktikan betapa kelirunya pernyataan itu. Di negara demokrasi, pengendali kekuasaan yang dianggap salah dapat diganti dalam sebuah proses yang damai. Tak cuma tanpa kekerasan, tapi juga dapat berlangsung seru, menegangkan, dan amat inspiratif. Bagaimana tidak, seorang anak yang ayahnya beragama Islam dan berasal dari Kenya, yang sempat dibesarkan di Menteng Dalam, Jakarta, dapat terpilih menjadi orang nomor satu di negara terkuat di dunia. Kejadian ini membuktikan bahwa Amerika tetaplah sebuah tanah bebas, tempat mimpi mungkin dikejar dan diwujudkan.

Paling tidak mimpi Dr Martin Luther King yang tewas ditembak 41 tahun silam kini menjadi kenyataan. Pejuang persamaan hak bagi kulit berwarna ini dibunuh karena mimpinya mengganggu kenyamanan kelompok masyarakat negaranya yang rasis. Rasisme yang menyebabkan hukum Virginia mengkriminalkan perkawinan berbeda warna kulit hingga Mahkamah Agung menyatakan hukum ini melanggar konstitusi pada 1967. Rasisme yang kini kelihatannya tinggal menjadi reruntuhan sejarah. Buktinya, Barack Obama juga menang suara di negara bagian yang pernah memimpin pemberontakan bersenjata terhadap Washington karena menolak kebijakan Presiden Abraham Lincoln menghapus perbudakan ini.

Amerika rupanya sedang berubah drastis. Perubahan yang tak terelakkan karena sistem yang berjalan selama ini ternyata membuahkan tiga krisis besar: perang di dua negara, krisis keuangan, dan guncangan perubahan iklim bumi. Obama menjanjikan untuk menyelesaikan perang, mengatasi krisis ekonomi, dan menanggulangi masalah lingkungan global ini melalui aliansi dengan negara-negara lain, tak lagi menempuh jalan Presiden Bush yang gemar melakukan kebijakan unilateral.

Pilihan Obama ini perlu kita sambut dengan tangan terbuka. Kemenangan pria yang pernah bersekolah di sekolah dasar negeri di Indonesia ini menunjukkan rakyat Amerika memilih sikap terbuka dan rendah hati dalam menghadapi tantangan masa depan. Sebuah pilihan yang tak mudah karena biasanya dorongan untuk menutup diri dan bercuriga kepada pihak asing amat terasa di saat krisis sedang melanda. Ini jelas menunjukkan bahwa rakyat banyak lebih cerdas ketimbang anggapan mencibir yang kerap disuarakan segelintir kelompok elite terdidik.

Buktinya, lebih dari tiga juta warga memberi sumbangan semampu mereka kepada Obama sehingga ketergantungan alumnus Universitas Harvard ini pada sumbangan konglomerat, yang biasanya merupakan penyumbang utama kandidat pertarungan politik, tak terbentuk. Jutaan orang yang biasanya kurang peduli untuk memilih pun kali ini rela antre berjam-jam untuk menggunakan hak suara mereka. Mereka ingin Amerika kembali pada khitahnya: sebuah pemerintahan yang dibentuk untuk kepentingan rakyat, oleh rakyat.

Keyakinan warga Amerika atas sistem demokrasi ini mudah-mudahan menjadi inspirasi bagi warga dunia, terutama rakyat Indonesia. Kita seolah diingatkan kembali bahwa prinsip dasar sistem demokrasi adalah kepercayaan bahwa rakyat yang bebas itu menghasilkan pemikiran kolektif yang cerdas. Bahwa hanya dalam kondisi setiap warga bebas mengutarakan pendapat dan ekspresi, pasar bebas politik akan menghasilkan gagasan terbaik untuk menghadapi tantangan bangsa. Justru tugas negara adalah memastikan bahwa pasar bebas gagasan ini terjaga dari intervensi kelompok yang gemar memaksakan aspirasi mereka dengan kekuatan nonkon-stitusional.

Keberhasilan Amerika dan banyak negara maju lainnya dalam menyejahterakan bangsa mereka adalah bukti empiris ampuhnya sistem demokrasi. Sejarah menunjukkan banyak bangsa yang sempat jaya di masa lalu akhirnya menjadi merana karena ketidakmampuan rezim penguasanya menghadapi perubahan zaman. Sebaliknya, sistem demokrasi yang merawat kebinekaannya seperti di banyak negara maju saat ini terbukti mempunyai kemampuan untuk selalu mengadaptasi diri menghadapi berubahnya zaman. Soalnya, bangsa yang demokratis selalu dapat mengganti pemimpinnya secara damai dan teratur agar selalu sesuai dengan tantangan yang baru.

Tidak ada komentar: