Jumat, 14 November 2008

Barack Obama dan Kekuasaan Amerika


Joseph S. Nye

  • Guru besar Harvard Kennedy School of Government dan bekas Asisten Menteri Pertahanan Amerika Serikat.

    DARI sejumlah tantangan awal yang dihadapi Presiden Barack Obama,

    krisis finansial adalah yang utama. Krisis ini telah melahirkan keraguan akan kekuatan Amerika Serikat di masa depan. Far Eastern Economic Review menulis, gejolak di Wall Street menimbulkan pergeseran tektonis global: awal keruntuhan kekuasaan Amerika. Presiden Rusia Dmitri Medvedev melihat krisis ini sebagai tanda pungkasnya kepemimpinan global Amerika. Presiden Venezuela Hugo Chavez menyatakan kini Beijing jauh lebih relevan ketimbang New York.

    Dolar—simbol kekuasaan keuangan Amerika—sejatinya menguat sebagaimana disampaikan Kenneth Rogoff. Guru besar ekonomi Harvard dan mantan ekonom Dana Moneter Internasional (IMF) ini menyatakan, ”Ironis bahwa ketika ekonomi kita centang-perenang, banyak orang asing ingin menyetorkan uang mereka ke negara kita. Mereka bingung hendak ke mana. Mereka lebih percaya pada kemampuan kita menyelesaikan soal, sedangkan kita sendiri belum yakin.”

    Orang bilang, bila Amerika bersin, dunia sakit pilek. Akhir-akhir ini banyak yang mengklaim bahwa kebangkitan Cina serta negara-negara minyak telah menyelamatkan Amerika. Tapi manakala Amerika terkena flu finansial, yang lain segera saja terjangkit. Para pemimpin dunia beralih dari schadenfreude (rasa girang karena orang lain tertimpa bencana—Red.) kepada rasa takut serta jaminan surat utang Amerika.

    Krisis sering menggugurkan kebijaksanaan konvensional. Dan krisis yang satu ini menunjukkan kekuatan ekonomi Amerika tetap meyakinkan. Kinerja buruk Wall Street dan para regulatornya membuat Amerika membayar mahal. Namun pukulan tidak akan begitu fatal (tidak seperti Jepang pada 1990-an) jika Amerika berhasil mencegah kerugian serta membatasi kerusakan. Forum Ekonomi Dunia masih menempatkan ekonomi Amerika pada posisi paling kompetitif. Ini berkat kelenturan pasar tenaga kerjanya, pendidikan tinggi, stabilitas politik, serta keterbukaannya terhadap inovasi.

    Pertanyaan lebih mendasar adalah tentang kekuatan jangka panjang negara ini. Dewan Intelijen Nasional Amerika tengah menyiapkan prakiraan baru untuk 2025. Dewan memproyeksikan kedigdayaan Amerika—dengan militer sebagai kunci utama—bakal jauh menurun di tengah dunia yang kian kompetitif.

    Kekuasaan selalu bergantung pada konteks. Dalam dunia dewasa ini, kekuasaan disalurkan melalui satu pola yang mencerminkan permainan catur tiga dimensi nan kompleks. Di puncak papan catur, ada kekuasaan militer yang cenderung bersifat unipolar. Di tengah papan catur terbentang kekuasaan ekonomi multipolar. Amerika, Eropa, Jepang, dan Cina menjadi pemain utamanya sembari para pemain lain juga terus menguat.

    Di dasar papan catur terdapat bidang hubungan transnasional yang melintas batas kontrol pemerintah. Ia mencakup berbagai unsur: bankir yang mentransfer uang dalam jumlah melebihi anggaran pendapatan belanja negara, teroris, dan para hacker di Internet. Ia juga mencakup tantangan-tantangan baru berupa pandemi dan perubahan iklim. Di dasar papan catur, kekuasaan benar-benar menyebar. Jadi omong kosong belaka bila kita berbicara tentang unipolaritas, multipolaritas, atau hegemoni.

    Di bidang politik antarnegara, faktor terpenting adalah ”kembalinya Asia”—proses yang masih terus berlangsung. Pada 1750, Asia memiliki tiga perlima penduduk dunia dan tiga perlima ekonomi dunia. Pada 1900, setelah Revolusi Industri di Eropa dan Amerika, kekuatan ekonomi Asia turun menjadi seperlima ekonomi dunia. Namun Asia diperkirakan kembali mengukir suksesnya yang bersejarah pada 2040.

    Kebangkitan Cina dan India bisa jadi menciptakan instabilitas, tapi ini soal preseden. Kita belajar dari sejarah betapa kebijakan mempengaruhi hasil. Satu abad lalu, Inggris mampu mengelola kebangkitan Amerika tanpa konflik. Tapi dunia gagal menghadapi kekuatan Jerman yang malah meletuskan dua perang dunia. Kekuatan aktor-aktor yang bukan negara juga perlu ditata. Penyakit pandemik yang disebarkan burung dapat membunuh lebih banyak manusia dibanding jumlah yang tewas dalam Perang Dunia I dan II.

    Kian banyak isu dan problem yang tak terkontrol—bahkan oleh negara paling berkuasa—merupakan tantangan bagi Barack Obama. Meski Amerika dapat mengelola kekuatannya dengan baik menurut ukuran tradisional, ukuran-ukuran itu gagal menangkap apa yang didefinisikan politik dunia yang—karena revolusi dan globalisasi informasi—terus berubah. Karena itu menghalangi orang Amerika mencapai semua tujuan internasionalnya melalui usaha sendiri.

    Stabilitas finansial internasional menjadi perihal vital kesejahteraan Amerika. Tapi Amerika memerlukan kerja sama dengan pihak lain untuk menjamin hal ini. Dalam sebuah dunia dengan batas negara kian longgar bagi segala sesuatu—dari narkoba hingga terorisme—Amerika harus memobilisasi koalisi internasional dan menyampaikan ancaman serta tantangan yang mesti dihadapi bersama-sama.

    Sebagai kekuatan ekonomi terbesar dunia, kepemimpinan Amerika tetaplah penting. Problem kekuatan Amerika dalam krisis finansial ini bukanlah pada kemundurannya, melainkan perwujudannya, yakni bahwa negara paling digdaya sekalipun tak dapat mencapai tujuannya tanpa bantuan negara-negara lain.

    Syukurlah Barack Obama memahami hal itu.

  • Tidak ada komentar: