Jumat, 14 November 2008

MALAM BERSEJARAH OBAMA


Barack Obama terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44. Ia punya tim sukses tangguh, kampanye yang meyakinkan, penggalangan dana yang unik. Dan ia membidik dengan tepat para pemilih muda.

HARI itu pekan ketiga September. Para pekerja kantoran baru saja kembali dari makan siang ke tempat kerja mereka dengan tergesa. John McCain, kandidat Presiden Amerika Serikat dari kubu Republik, sedang berbicara di podium Balai Sidang di Jacksonville, Florida.

Hari itu pula, Lehman Brothers rontok. Krisis finansial sudah menyentuh pelupuk mata. Namun, di atas panggung McCain terus meyakinkan kelimun orang dengan optimistis. ”Dasar ekonomi kita kuat. Jangan khawatir,” dia berseru.

Dan hari itu, di kantor pusat kampanye Partai Demokrat di Chicago, staf kampanye Barack Obama menyaksikan pidato McCain. Lalu bergegas menelepon Dan Pfeiffer, direktur komunikasi tim sukses Obama. Ucapan McCain di atas podium Kota Jacksonville bisa jadi senjata karena menunjukkan betapa tidak pekanya kubu Republik.

”McCain bilang apa?” Pfeiffer bertanya di ujung telepon. Obama, yang baru saja kembali dari kampanye di Colorado, ikut nimbrung. Sebelum matahari tenggelam, tim kampanye Obama sudah siap dengan propaganda yang berisi video pidato McCain. Video itu terus membayangi dan menjadi mimpi buruk pihak Republik.

Selasa malam pekan lalu (Rabu siang waktu Indonesia), mimpi buruk itu jadi kenyataan. Barack Obama memenangi pemilu Amerika Serikat dengan perbedaan electoral votes yang mencolok: 364:162. Presiden baru Amerika lahir di Grant Park, Chicago, malam itu—presiden yang, kata Obama sendiri, ”Wajahnya belum pernah Anda lihat di atas uang dolar Anda selama ini.”

Nicolaus Teguh Budi Harjanto, mahasiswa program doktoral di Northern Illinois, Chicago, menyebut malam itu sebagai pesta rakyat yang amat meriah. Lebih dari seratus ribu orang menjadi saksi malam bersejarah. Semuanya tumpah-ruah dalam kegembiraan.

Teguh mencatat tak hanya orang Amerika yang larut dalam perhelatan. ”Ada yang jauh-jauh terbang dari Polandia,” katanya. Teguh melihat orang-orang Afrika-Amerika memekikkan yel ”My Black President” berulang kali. Keriuhan mencapai puncaknya ketika sirene pasukan keamanan berbunyi dan Obama naik panggung menyampaikan pidato kemenangan. Chicago terjaga sampai pagi.

Inilah babak baru sejarah Amerika. Seorang presiden yang menjanjikan perubahan pada 20 Januari nanti. Dari tangan George W. Bush, dia akan menerima Amerika yang tengah remuk-redam. Sembari berjanji memandu negeri itu keluar dari kehancuran ekonomi, dan trauma perang serta perselisihan di negeri-negeri timur jauh. Obama menjadi presiden kulit hitam pertama sejak Amerika merdeka 232 tahun silam. Kini 47 tahun, dia menjadi presiden kelima termuda dalam sejarah Amerika.

Apa yang membuat orang yakin bahwa Obamalah pemimpin yang ditunggu? Dua tahun lalu, ia hanya setitik pijar dalam radar politik Amerika. Latar belakangnya bagai pungguk dan bulan dibanding para pangeran politik Amerika yang lahir dari klan-klan terkemuka: Bush, Kennedy, Adams, Roosevelt. Obama lahir dari keluarga yang amat biasa, tumbuh tanpa figur ayah, dan bersandar pada asuhan neneknya.

Toh namanya terkerek dalam waktu singkat. Kepandaian memilih isu perubahan adalah keunggulan utama dia. Jejak multikulturalnya menebalkan keunggulan itu. Dengan ayah kandung kulit hitam dari Kenya, ibu kulit putih berdarah Indian Cherokee, ayah tiri berkulit sawo matang, adik ipar berdarah Cina-Kanada, Obama menawarkan jawaban Amerika terhadap dunia yang memandang negeri itu dengan cemas hati. ”Ia berbicara tentang perubahan dan kemungkinan dalam keberagaman. Saya pikir itulah yang membuat Barack diterima banyak orang,” ujar adik seibu Obama, Maya Soetoro-Ng, dalam wawancaranya dengan Tempo pekan lalu.

Faktor ”bukan siapa-siapa” juga menguntungkan Obama. Ia merupakan gambaran ideal Amerika kelas menengah. Punya rumah yang pantas, keluarga harmonis, pekerjaan bagus, dan pekerja keras. Dia kontras menarik dari kehidupan McCain yang mirip opera sabun. Setelah kembali dari Perang Vietnam, McCain bercerai dari istrinya, Carol. Lalu menikahi Cindy Hensley yang memiliki kekayaan lebih dari US$ 300 juta (Rp 3 triliun lebih). Dia putri tunggal keluarga Hensley, hartawan dan konglomerat bir Amerika.

Kelebihan lain Obama adalah memiliki tim kampanye yang andal dan cerdas. Sebagian besar mereka adalah orang muda. Inilah tim yang dalam pidato kemenangan Obama di Grant Park disebut ”tim yang paling hebat dalam sejarah Amerika”.

Tim kampanye ini, misalnya, menyerbu 218 juta pengguna Internet—dari 303 juta penduduk—di Amerika. Separuh pengguna Internet adalah orang muda. Obama mengangkat Chris Hughes, 24 tahun, sebagai manajer kampanye web, untuk menaklukkan para pemilih belia dari ranah maya. Di bawah pendiri situs jejaring sosial Facebook ini, tim kampanye Obama merambatkan pengaruh dengan cepat. Hughes mengerahkan situs pertemanan macam MySpace, Twitter, Facebook, dan Plurk. Dan menjadi mesin penyebar pesan Obama paling ampuh.

Di bawah Hughes, Obama sukses merangkul lebih dari 1,7 juta sahabat di Facebook dan 510 ribu teman di MySpace. Jumlah ini sepuluh kali lipat dari teman maya McCain. Lewat Internet pula Obama berhasil menggalang sebagian besar dana kampanye yang bernilai total US$ 659,7 juta (Rp 6,9 triliun). Ia berhasil membujuk lebih dari tiga juta pengguna komputer untuk menyumbang. Jumlah ini hampir tiga kali lipat dana kampanye McCain dan mengalahkan dana yang dapat dihimpun dua kandidat presiden pada 2004.

Agresivitas tim Obama juga tampak dari pemasangan iklan di media-media yang tak lazim digunakan sebelumnya. Mereka melekatkan wajah dan pesannya di bermacam game video online. Tim ini jeli melihat bahwa 70 persen pemilih berusia 18-30 tahun ternyata menyukai game online.

Hasilnya, Obama berhasil mengajak 24 juta pemilih berusia 18-24 tahun, atau 54,5 persen orang muda—yang berhak memilih—ke tempat pemungutan suara. Ini jumlah pemilih muda terbanyak sepanjang sejarah Amerika. ”Saya kaget betapa efektifnya Internet meraih rakyat, baik dalam hal finansial maupun organisasi,” katanya. ”Ini salah satu kejutan terbesar dalam kampanye ini,” Obama menambahkan.

Di luar Internet, Obama memiliki David Plouffe, 40 tahun, manajer kampanye yang hebat. Dia mendesain mesin kampanye yang menghubungkan setiap orang di daftar pemilih dan membiarkan mereka bekerja. Dengan jaringan berlapis mirip multilevel marketing, orang-orang yang bersimpati pada Obama siap menggunakan komputer pribadi mereka untuk berkampanye. Mereka memanfaatkan fasilitas telepon gratis pada malam hari dan akhir pekan dari jaringan telepon seluler. Tujuannya, mengorganisasi kampanye dari tingkat paling bawah.

”Mereka punya alat dan mereka membangun jaringan sendiri,” kata Joe Trippi, juru kampanye kandidat Howard Dean, yang pada 2004 memusatkan perhatian pada pemilih muda. Ia terkesima melihat anak-anak muda yang menjadi tulang punggung kampanye Obama. ”Kampanye Dean bagaikan Wright bersaudara yang menemukan kapal terbang. Empat tahun kemudian sudah berkembang sepesat roket Apollo,” Trippi mengumpamakan.

Obama sendiri lihai meyakinkan orang agar mau melongok program-programnya. Sebagai bekas penggiat komunitas gereja, dia punya pengalaman mengetuk dari pintu ke pintu. Dalam sebuah conference call dengan 400 pemimpin sukarelawan pendukungnya, ia memberikan tip begini: ”Jangan minum. Jangan hanya bicara, tapi simaklah yang banyak,” katanya.

Senator Illinois itu juga mahir melihat kemungkinan munculnya konflik yang akan menyulitkannya. Itu tampak ketika Obama melepas salah seorang penasihat kampanyenya, Mazen Asbahi, yang tadinya diharapkan bisa menghimpun pemilih muslim. Asbahi mundur setelah muncul laporan bahwa ia pernah bekerja sama dengan seorang imam yang punya hubungan dengan organisasi Ikhwanul Muslimin.

Dengan tim yang kuat, Obama berkeliling Amerika. Berbeda dengan strategi tim kampanye John Kerry yang memantapkan kampanye di basis tradisional Partai Demokrat, Obama justru lebih banyak pergi ke kandang lawan. ”Ia harus merebut suara di basis Republik. Tak perlu banyak, cukup menaklukkan Virginia dan Ohio, pertarungan selesai,” kata David Axelrod, 53 tahun, sang kepala strategi.

Axelrod benar. Perolehan suara Obama di ”wilayah angker” yang dikenal dengan istilah battleground itu jauh melampaui perkiraan. Dari delapan battleground yang selama puluhan tahun dimenangkan Republik, Obama merebut enam wilayah, termasuk Ohio, Virginia, Pennsylvania, Missouri, dan Florida.

Selama 18 bulan masa kampanye, Obama membuktikan timnya tetap solid: tak ada krisis keuangan atau pergantian strategi, tak ada konflik internal. Bahkan slogan kampanye ”Perubahan yang Kita Percaya” tak berubah sejak awal.

Satu-satunya ”badai” adalah ketika AP mempublikasikan sebuah laporan hanya beberapa hari sebelum pemilu. Dalam investigasi itu diberitakan Zeituni Onyango, bibi Obama di Kenya, dulu masuk ke Amerika secara ilegal. Berita ini dimanfaatkan kubu McCain untuk membalikkan hasil polling. Dalam sehari keunggulan 10 poin atas McCain merosot menjadi 8 poin.

Markas kampanye Obama di Chicago tegang. Valerie Jarret, 51 tahun, penasihat dan sahabat baik Michelle dan Obama, dipanggil. Dia dikenal sebagai ”orang yang selalu jujur dan mengatakan apa yang ada di pikirannya”. Jarret segera menelepon Obama agar bicara jujur. Dengan terbuka, sang senator mengungkapkan bahwa ia sama sekali tak tahu bibinya masuk ke Amerika secara ilegal. ”Walaupun saya sayang padanya, silakan ia dideportasi jika melanggar hukum,” ucap Obama.

Ketegasan dan kejujuran Obama inilah yang kemudian ”dijual” kembali ke publik. Alhasil, popularitas Obama kembali terdongkrak.

Pada hari pemilihan, Obama membuktikan ia merupakan orang yang tepat untuk memimpin Amerika. Dari 133,3 juta pemilih—atau 62,5 persen penduduk yang berhak memilih—ia menangguk 53 persen suara (popular votes). Dalam hitungan electoral college ia meraih 364 dari total 538 electoral votes. Obama menang telak.

Di Grant Park Chicago, Selasa pekan lalu, dunia menyaksikan suatu malam bersejarah bagi Obama dan Amerika.

Angela Dewi, Yos Rizal (AFP, AP, BBC, CNN, Chicago Tribune, The Washington Post)

Tidak ada komentar: