Jumat, 07 November 2008

Pemilu yang Mengubah Dunia?


Rabu, 5 November 2008 - 09:51 wib

Pemilihan presiden (pilpres) di Amerika Serikat (AS) kali ini memang menghabiskan energi, termasuk buat kita yang mengamati dari jauh, apalagi bagi yang menjalaninya.

Maklum, kalau biasanya kampanye di sana hanya 365 hari sebelum pekan pertama November, kali ini kampanye sudah dimulai sejak 700 hari sebelum pemilu! Makin mendekati pemilihan, media makin mendudukan isu pemilihan sebagai berita utama. Wajar jika kita bertanya: Apa pentingnya hasil pilpres AS kali ini buat dunia? Jawabannya punya dua aspek.

Pertama, bentuk kegiatan ekonomi dan kebijakan keuangan negara-negara dunia. Kedua, pola politik keamanan global. Siapa pun yang memenangi pilpres sekarang akan ikut menentukan arah tatanan global yang baru.

Pertama, soal kegiatan ekonomi dan kebijakan keuangan. Setelah ambruknya pasar saham di AS bulan lalu dan rontoknya bank-bank investasi raksasa, negara-negara dunia seperti disadarkan bahwa likuiditas global yang tercatat beratus kali lipat nilainya sejak penggalakan globalisasi investasi di awal abad 21 ternyata bisa mengering juga.

Pertumbuhan ekonomi berbasis utang, jaminan, dan defisit neraca perdagangan berujung pada rontoknya perbankan, kredit macet, dan pengangguran. Pusat dari koreksi ekonomi dan keuangan ini: AS! Negara adidaya yang sejak akhir Perang Dunia I menjadi pusat perekonomian dunia karena kemampuannya menyediakan pinjaman dana untuk restorasi pascaperang itu kini justru menjadi salah satu peminjam dana terbesar dari negara-negara yang perekonomiannya tumbuh pesat di awal 2000-an.

Sejauh ini belum ada tanda pemulihan ekonomi AS. Perusahaan automotif General Motors dan Ford yang menjadi salah satu ikon sektor riil AS memotong produksi truk dan sport utility vehicle dan makin kesulitan mendapatkan dana segar. Pengangguran meningkat hingga 6,1%, sementara hampir satu dari dua rumah tangga harus hidup dengan pekerjaan ganda.

Defisit neraca pembayaran lebih dari USD180 miliar, pertumbuhan ekonomi melambat. Padahal 43% dari keluarga AS menghabiskan lebih dari pendapatan mereka dengan rata-rata utang kartu kredit USD8.000. Survei Healthcare for America dari AFL-CIO menunjukkan bahwa 83% dari pekerja yang mereka wawancara cuma punya asuransi kesehatan paspasan atau kurang dari cukup.

Ini berarti bahwa AS memang sakit. Wajar jika prioritas pertama presiden terpilih adalah pemulihan ekonomi di dalam negeri. Opsi pemulihannya sebenarnya terbatas: menyetop pola hidup berutang serta kebijakan defisit dan mulai menggiatkan sektor riil melalui mobilisasi dana publik; atau mendesak negara-negara lain untuk bersama-sama menyelamatkan AS, melalui skema pinjaman dana. ***

Kalau dilihat dari respons dunia, kelihatannya keleluasaan AS bahkan tidaklah sejauh itu. Sudah muncul wacana untuk keluar dari pusaran ekonomi pasar kapitalis yang berpusat pada AS. Berbagai kerja sama regional mengambil langkah konkret untuk membentuk dana bersama agar keluar dari kerangka ketergantungan pada lembaga keuangan bentukan Bretton Woods macam IMF dan World Bank.

ASEAN, China, Korea Selatan, dan Jepang sepakat mengumpulkan USD80 miliar. 27 negara Eropa sepakat membuat panduan bailout dan memantau bank-bank dari wilayah mereka. AS pun mulai menengok negara-negara kaya baru dari Asia sebagai sumber likuiditas dunia yang baru, walaupun tetap berhati-hati dalam menjaga aset-asetnya supaya tidak berpindah tangan ke Asia.

Dari gerakan regional ini hampir bisa dipastikan, meski minim, akan ada penyesuaian pajak di AS agar mereka bisa pulih juga secara independen. Buat dunia ini berarti akan ada negosiasi baru soal tatanan finansial dunia, termasuk, tidak mustahil, bagaimana menentukan nilai tukar mata uang.

Buat Indonesia, dalam waktu dekat ini AS belum bisa diandalkan untuk menjadi pasar produk dan jasa kita. Produk makanan dan kebutuhan primer rumah tanggalah yang kelihatan potensial terjaga permintaannya. Apalagi selama produk makanan dari China dianggap berisiko untuk kesehatan.

Produk-produk yang merusak lingkungan dan boros bahan bakar akan dijauhi sejalan dengan kampanye AS untuk memerhatikan kelestarian lingkungan hidup. Inovasi kendaraan atau teknologi yang ramah lingkungan dan menggunakan energi yang bisa diperbarui akan dicari.

Untuk pengelolaan keuangan, Indonesia harus mengandalkan neraca perdagangan yang surplus dengan kinerja sektor riil yang produktif, bukannya investasi asing, apalagi utang. Sebenarnya sejalan dengan reformasi pajak di AS, Indonesia bisa ikut meninjau kebijakan pajaknya, khususnya dalam hal penggunaan dana publik yang terkumpul.

Baik Barack Obama maupun John McCain sama-sama menyoroti perlunya pemantauan ketat atas tiap penggunaan dana publik. Jadi, tata kelola pemerintah yang bersih dan berorientasi pada transparansi potensial menjadi tema kerja sama bilateral AS dengan Indonesia. Isu desentralisasi dan pengelolaan pendapatan negara di tingkat lokal termasuk yang mungkin mendapat perhatian khusus. Jika tidak, Indonesia akan "ketinggalan kereta". ***

Kedua, dampak hasil pilpres AS untuk politik keamanan global. Salah satu alasan mengapa perdebatan pilpres di sana menarik perhatian dunia adalah karena tema politik luar negeri AS yang cenderung unilateral dan agresif selama delapan tahun ini. Segera setelah George W Bush menjadi presiden, perang terhadap terorisme memuncak.

Awalnya di Afghanistan dan perbatasannya, kemudian ke Irak dan negara-negara Timur Tengah lain. Fokus ini menyedot dana hingga sekira USD10 miliar per bulan dan puluhan ribu nyawa. Buntutnya, orang AS tetap merasa belum bertambah aman. Jadi, lepas dari bercabangnya arah perdebatan pilpres antara Obama dan McCain, siapa pun yang terpilih tidak punya pilihan banyak selain meninjau ulang kebijakan keamanan luar negeri.

Kenyataannya kebijakan AS selama ini telah menguras kering cadangan devisa dan menyeret negara-negara lain untuk ikut kekeringan dana. Para kritikus dari sayap kiri di AS mengecam tuduhan apa pun yang mengarah pada pembenaran sikap agresif AS.

Ada lelucon dari Michael Moore (produser film Fahrenheit 9/11) yang mendesak kaum Demokrat untuk berhenti menjadi penakut yang "minum dari gelas bayi (sippy cup), tidur dengan lampu menyala" karena diam saja meskipun tahu ada yang salah.

Dengan mengeringnya sumber dana untuk perang, minimal akan ada pendekatan baru di Irak. Buat negara-negara lain, tentu saja kekerasan bernuansakan identitas agama masih menjadi pekerjaan rumah serius buat tatanan politik global.

Setelah hampir satu dekade disibukkan oleh kelompok-kelompok militan yang populer karena aksi serangan bomnya, tampak bahwa negara-negara di dunia memang belum sepenuhnya siap menghadapi ragam bentuk kekecewaan masyarakat sipil terhadap pilihan kebijakan negara. Setidaknya senjata negara untuk menjaga perdamaian masih cenderung konvensional, yakni militer. Padahal nyata bahwa pendekatan militeristik menyisakan masalah hak asasi manusia.

Di sejumlah negara pendekatan ini juga malah meruncingkan kecurigaan antarkelompok masyarakat yang selama ini hidup berdampingan dalam keberagaman. Sebenarnya ini faktor ketidakamanan yang justru belum tersentuh. Sampai kapan ini dipaksakan untuk berlanjut? Jadi, siapa pun yang terpilih di AS, akan punya andil dalam arah wacana keamanan ini. (*)

Dinna Wisnu, PhD
Doktor Ilmu Politik The Ohio State University dan Alumni FISIP UI

Tidak ada komentar: