Jumat, 07 November 2008

AMERIKA TERSIHIR

AP photo/Charles Rex Arbogast / Kompas Images
Zeboraqh Ball-Paul menangis ketika mendengar pidato Presiden Amerika yang baru terpilih, Barack Obama, di Grant Park, Chicago, Amerika Serikat, Rabu (5/11).
Jumat, 7 November 2008 | 03:00 WIB

Simon Saragih

Warga terpana bak mendapatkan tuah, keberuntungan, atau sebutlah keberuntungan apa saja yang ada di luar dugaan. Demikianlah suasana yang merasuki warga AS setelah Barack Obama dinyatakan menang. Lidah sebagian warga seperti kelu, seperti tidak bisa mengeluarkan kata-kata apa pun.

Amerika Serikat sedang berpesta, berpesta dan terenyak atas sesuatu yang diimpikan, tetapi sempat diyakini tidak akan pernah terjadi, yakni kemenangan Obama.

”Ya teman, saya bangga. Ya, saya bangga, ya….! demikian Yacob, seorang warga kulit hitam di Tremont Street, Boston, tak lama setelah Obama dinyatakan menang. ”Kamu bangga juga kan, Obama kan pernah tinggal di Indonesia,” kata Yacob. Tidak muncul suasana haru berlebihan dari gerak-geriknya, tetapi Yacob sedang bahagia, berbunga-bunga. ”Saya bangga kawan, saya bangga, saya bangga.”

Pada Selasa malam, jalanan di Boston pun langsung menjadi ajang pesta, mobil melaju dengan klakson-klakson, mengelukan-elukan Obama. Para pejalan pun seperti tidak mau kalah, turut meramaikan suasana dengan menyahut, ”Obama, Ok!”

Roy Cooper, yang tinggal di luar Metropolitan Boston, mengatakan, dia berharap semoga Tuhan mendengar permohonannya. Semampunya, Cooper, seorang pekerja bangunan, mencoba mewujudkan kemenangan Obama dengan mencoblosnya pada pagi hari.

”Dia istimewa, saya memilihnya bukan karena dia kulit hitam. Dia mengagumkan, dia bersahaja dan sopan.”

Akan tetapi, kemenangannya sungguh membuat saya terharu. ”Sekarang Anda melihat Boston lebih baik. Jika Anda berada di sini 20 tahun lalu, tindakan rasis yang menistakan kulit hitam sangat terasa. Saat itu adalah bohong besar jika dikatakan Obama adalah demokratis. Kini hal-hal seperti itu tidak terasa. Kemenangan Obama menunjukkan kemajuan sudah makin signifikan soal hubungan antar-ras.”

”Ini menjadi bukti bahwa transformasi dalam hubungan ras setidaknya sudah terbukti bisa terjadi di Amerika. Ini adalah sebuah impian Amerika yang lain, di mana ada kesediaan untuk memilih seorang kulit hitam menjadi presiden,” kata Profesor John King, yang mengajar di East Tennesse State University, Johnson City.

Tak habis-habisnya cerita soal kebanggaan warga kulit hitam. Akhirnya, komunitas yang pernah menjadi budak-budak bagi tuan kulit putih punya keturunan yang kemudian menjadi presiden bagi kulit putih itu sendiri.

Pesta semua ras

Namun, pesta tidak saja dilakukan para keturunan kulit hitam. Kulit putih juga larut dalam pesta. ”Mari, ikut pesta. Lupakan berita, kita berpesta. Ayo minum bir, minum, minum, minum,” kata Michael McManus, mahasiswa Emerson College, yang mengatakan membara. McManus sengaja mempersiapkan kaus oblong bertuliskan ”I’M Fired Up” karena mengantisipasi kemenangan Obama.

Jason, warga Inggris yang juga turut hadir di sebuah bar di Boylston Street, Boston, turut tersenyum bahagia menyaksikan kaula muda kulit putih yang berisik dan berteriak-teriak setelah Obama menang. ”Mereka bangga, mereka akhirnya merasakan kebahagiaan.”

Sebelum Obama menang, tidak sedikit pihak yang memastikan bahwa tidaklah mungkin seorang kulit hitam menjadi presiden. Ternyata ini terjadi dan membuat mereka terenyak,” kata Dr Gregory Payne, pengajar di Emerson College, menjelaskan euforia yang merasuki warga Boston.

Gemuruh suasana pesta juga terjadi di berbagai kota di seantero AS. Dari Harlem New York hingga jalanan di Atlanta, di mana Martin Luther King Jr lahir, serta di Oakland, California, euforia menyeruak.

Di Cleveland, Obama dan para pendukungnya berkumpul di sebuah rumah dan berpesta dengan menenggak sampanye sambil bersulang, berteriak. Seru, seru, seru! ”Untuk kulit hitam pertama yang menjadi presiden AS!” demikian warga berseru sambil menyentuhkan gelas di antara para hadirin.

Di Tampa, Florida, Mark Bias (51) langsung berteriak. ”Dia menang telak, menang telak,” kata Bias saat televisi CNN menyatakan Obama menang.

Al Sharpton, tokoh gerakan sipil AS dari kelompok hitam, juga merasakan kebahagiaan. Namun, dia mengatakan, kemenangan Obama seharusnya tidak hanya membuat kulit hitam berpesta.

”Kulit hitam harus menjaga citra. Kulit hitam harus memiliki tanggung jawab menjaga perilaku karena setiap perilaku buruk akan menodai keberhasilan Obama,” kata Sharpton yang pernah menjadi salah satu pembenci Obama. Bagi Sharpton, Obama sempat dianggap tidak cukup hitam untuk menjadi kulit hitam.

(Simon Saragih dari AS)

Tidak ada komentar: