Sabtu, 08 November 2008

PERTANDINGAN BERAT SEBELAH



AP PHOTO/CAROLYN KASTER / Kompas Images
Kandidat presiden John McCain, didampingi istrinya, Cindy McCain, tertunduk ketika meninggalkan panggung di mana ia menyampaikan pidato yang mengakui keunggulan Barrack Obama, di Phoenix, AS, Selasa (4/11).
Sabtu, 8 November 2008 | 03:00 WIB


Budiarto Shambazy

Sesungguhnya kemenangan Barack Hussein Obama Junior (47) termasuk mudah diperkirakan karena keunggulan dia atas John McCain (72) di berbagai jajak pendapat relatif stabil sejak konvensi kedua partai selesai awal September. Perbedaan poin di antara kedua calon cukup besar, beberapa kali bahkan sempat mencapai angka dua digit.

Hasil jajak-jajak pendapat pemilihan presiden Amerika Serikat tak pernah meleset selama 48 tahun terakhir, kecuali ketika John F Kennedy (JFK) mengalahkan Richard Nixon tahun 1960 dengan perbedaan angka tipis sekali.

Obama tergolong senator yunior yang belum satu periode bertugas mewakili Illinois dan kini menjadi senator ketiga asal negara bagian itu yang masuk ke Gedung Putih setelah Presiden Abraham Lincoln serta Ulysses Grant. Ia orang kedua sejak JFK yang memenangi pilpres dari jalur senator.

Justru karena masih tergolong senator yunior inilah McCain dengan gencar memojokkan Obama sebagai capres belum berpengalaman memimpin satu-satunya negeri adidaya di dunia.

Namun, serangan itu justru bagai senjata makan tuan setelah McCain memilih Sarah Palin (44) sebagai cawapres. Rakyat ngeri membayangkan gubernur Alaska itu menjadi presiden jika McCain tiba-tiba tutup usia karena kanker kulit yang dideritanya.

Dalam kampanye sejak awal September, Palin praktis jadi bulan-bulanan kritik media karena ketidakpahaman tentang berbagai isu nasional/internasional, keterlibatan dia dan suaminya dalam ”Troopergate”, dan yang terakhir menghabiskan dana puluhan ribu dollar AS hanya untuk berdandan selama kampanye.

Andai saja McCain memilih Mitt Romney, Mike Huckabee, atau Rudy Giuliani, belum tentu Obama menang telak dan mudah. Romney pengusaha yang tepat ditempatkan sebagai cawapres dalam kondisi krisis saat ini, Huckabee tergolong karismatis, dan Giuliani pahlawan yang memimpin New York City saat terjadi tragedi 9/11.

Anehnya, McCain baru bertemu satu kali saja dengan Palin sebelum menggandengnya sebagai cawapres, praktik tak biasa yang mengundang tanda tanya.

Sejak saat itulah kubu Republik menilai McCain sebagai maverick tulen alias pemberontak yang bersikap semau gue yang emoh bantuan. Beberapa tokoh Republik, seperti kolumnis Kathleen Parker, bahkan mendesak Palin mundur dari pencalonan. Kemarin terbukti exit poll versi MSNBC menunjukkan 60 persen responden menilai Palin tak layak menduduki jabatan wakil presiden.

Mengapa McCain terobsesi Palin? Salah satu pertimbangannya, McCain mau menggaet sekitar 17 juta suara perempuan pendukung Hillary Clinton. Ia lupa para pendukung Hillary tergolong hardcore yang liberal dan sukar berubah haluan. Mereka bisa saja tak suka Obama, tetapi memandang Palin perempuan puritan yang antiaborsi dan antipelestarian lingkungan.

Dengan kata lain, McCain berani melakukan perjudian berisiko besar. Mengapa ia nekat? Sebab, McCain merasa upayanya kali ini merupakan peluang terakhir kali. It’s better late than never. Kalau mau jujur, ia ”semestinya” sudah menjadi presiden tahun 2000, tetapi dikalahkan George W Bush di konvensi. Itulah momentum terbaik McCain karena ia, misalnya, bertempur sebagai serdadu di Perang Vietnam—bertolak belakang dengan Bush yang memanfaatkan posisi ayahnya untuk menghindari perang itu.

McCain politisi populer dengan pribadi yang menyenangkan, orator ulung yang mampu berbicara di hampir semua kalangan, amat berpengalaman, dan pasti sukses sebagai presiden. Sekitar Agustus 2007 ia sudah ”megap-megap” karena makin sedikit donatur yang mau mendanai kampanyenya.

Ia terpaksa menggunakan bus ”Straight Talk Express” agar bisa berkeliling negara untuk kampanye meski istrinya salah satu pewaris pabrik bir Budweiser. Lewat perjuangan yang tak kenal lelah, ia lolos sebagai capres Republik.

Ibarat paku terakhir

Mungkin karena sudah kepalang tanggung, McCain melakukan degradasi etika politik dengan melancarkan kampanye negatif terhadap Obama. Selama September-Oktober Obama dilukiskan sebagai capres yang terlalu liberal, berteman dengan teroris William Ayers, dekat dengan Pendeta Jeremiah Wright yang menyatakan 9/11 merupakan kutukan bagi bangsa AS, bahkan terakhir seorang sosialis yang akan membagi-bagikan kekayaan untuk orang miskin yang malas bekerja.

Seluruh serangan kampanye negatif itu tak berbuah karena Obama tak meladeninya, kecuali dengan mengungkapkan fakta-fakta belaka. Ia tak mau tampil sebagai capres kulit hitam yang bercorak militan seperti Jesse Jackson karena akan menimbulkan rasa khawatir kepada kalangan kulit putih. Tak seperti McCain, Obama emoh memilih Hillary Clinton cuma dengan tujuan merebut 17 juta suara.

Hillary dipandang sebagai tokoh pemecah belah karena sejarah kepresidenan suaminya, Bill Clinton, yang kontroversial. Sampai hari-hari terakhir kampanye hampir semua kalangan mengetahui Bill Clinton bersikap setengah hati mendukung Obama yang telah mengakhiri impiannya ”kembali ke Gedung Putih”.

Ini fenomena biasa sebab Bill Clinton (juga Ronald Reagan) paling tidak sempat dielu-elukan agar boleh jadi presiden untuk tiga periode—sebuah kemustahilan karena konstitusi cuma membolehkan dua periode.

Alhasil, pertarungan Obama versus McCain ibarat pertandingan yang berlangsung berat sebelah sejak awal September. Jika Obama tampil dengan gaya professorial yang rada membosankan tetapi inspiratif, McCain tampil bagaikan angry old man yang kelewat agresif tetapi sia-sia.

Obama lebih menekankan pada substansi, McCain lebih pada gaya. Itu sebabnya, saya sejak awal sudah yakin Obama pasti menang walau tak menyangka setelak dan semudah ini.

Obama terpilih karena juga terbantu faktor kebetulan, yakni krisis yang dipicu foreclosure. Ia dengan cepat menanggapinya dengan menulis surat kepada Gubernur Bank Sentral Ben Bernanke dan Menkeu Henry Paulson bulan Maret 2007, yang isinya meminta seluruh pemangku kepentingan KPR segera mengadakan KTT. Surat itu tak pernah ditanggapi.

Berbeda dengan McCain yang per 15 September 2008 dengan lantang mengatakan ”ekonomi AS secara fundamental bagus”, persis pada hari Lehman Brothers dinyatakan bangkrut.

Obama menang telak karena rakyat sudah muak terhadap pemerintahan Republik pimpinan Bush yang mencatat approval rate terendah sepanjang sejarah, yakni 24 persen.

Exit poll MSNBC kemarin menunjukkan lagi kekesalan rakyat terhadap Bush, yakni 79 persen menilai AS sudah salah arah (wrong track) dibandingkan 54 persen tahun 2004 ketika sebagian rakyat mulai sadar serbuan ke Irak merupakan hasil karangan belaka. McCain praktis tak berdaya menghadapi mantra Obama: Anda mendukung 90 persen kebijaksanaan Bush.

Itu sebabnya, McCain tak mampu menahan amarah pada debat capres ketiga ketika ia lepas kontrol dan menyergah, ”Senator Obama, saya bukan George Bush. Jika mau berhadapan melawan George Bush, Anda seharusnya mencalonkan diri empat tahun lalu.” Pernyataan emosional ini ibarat paku terakhir yang menutup rapat peti mati McCain yang telah disiapkan sejak awal September.

(Budiarto Shambazy, dari AS)

Tidak ada komentar: