Minggu, 09 November 2008

Cari Kambing Hitam

Sabtu, 8 November 2008 | 01:42 WIB

Pahlawan perang Vietnam itu—bahkan sempat lima tahun dijebloskan ke penjara sebagai tahanan perang di Vietnam—John McCain (72), harus merasakan kekalahan. Ia harus mengakui kehebatan ”anak muda”, Barack Obama (47), yang belum pernah merasakan dan mengalami hebatnya perang.

Pengalaman politiknya pun jauh lebih panjang dan matang dibandingkan dengan Obama. Ia memenangi kursi Kongres pada tahun 1982 dan empat tahun kemudian menduduki kursi Senat. Tahun 2000 ia pernah bertarung melawan George W Bush untuk merebutkan nominasi sebagai kandidat presiden dari Partai Republik.

Setelah gagal mengalahkan Bush, ia kembali ke Senat. Kemudian, ia bertarung melawan Obama setelah mengalahkan para nominator dari Partai Republik untuk memperebutkan kursi presiden.

Akan tetapi, kenyataan berkata lain. McCain harus menyimpan dalam-dalam mimpinya untuk menjadi orang nomor satu di AS, satu-satunya negara adidaya di dunia ini. Ia harus mengakui keunggulan Obama.

”Kita telah sampai pada akhir perjalanan panjang,” katanya dalam pidato pengakuan kekalahan, beberapa hari lalu, seperti disiarkan CNN. ”Rakyat Amerika telah berbicara (memilih) dan mereka berbicara secara jelas.” Rakyat Amerika telah menjatuhkan pilihan dan pilihannya itu Obama.

Sebelum berpidato di hadapan para pendukungnya di Arizona, ia menelepon Obama: mengakui kekalahan dan mengucapkan selamat.

Ia melanjutkan pidatonya, ”Apa pun perbedaan kita, kita semua adalah orang Amerika. Saya desak semua warga Amerika yang mendukung saya untuk bersama saya tidak hanya memberikan selamat kepada dia (Obama), tetapi menawarkan kepada presiden kita mendatang kehendak baik kita dan usaha yang sungguh-sungguh untuk bersama-sama mencari jalan, berkompromi, menjembatani perbedaan kita, dan membantu memulihkan kemakmuran, mempertahankan keamanan kita dalam dunia yang berbahaya ini, dan mewariskan kepada anak cucu kita sebuah negara yang lebih baik dan lebih kuat dibandingkan yang kita warisi.”

McCain melanjutkan pidatonya, ”Kalau sekarang ini kita kalah, itu bukan kegagalan Anda semua, tetapi kegagalan saya!”

McCain mengakhiri pidatonya dengan mengatakan, ”Malam ini sangat berbeda dengan malam-malam sebelumnya, tidak ada dalam hati saya kecuali kecintaan saya kepada negeri ini dan kepada seluruh warga negaranya, apakah mereka mendukung saya atau Senator Obama. Saya mendoakan orang yang sebelumnya adalah lawan saya semoga berhasil dan menjadi presiden saya.”

Pidato McCain itu terasa ”aneh” di telinga kita, bangsa Indonesia yang sudah terbiasa untuk tidak berani mengakui kekalahan meski sudah benar-benar kalah; yang cenderung menuding orang lain sebagai biang kekalahan daripada menunjuk pada dirinya sendiri sebagai penyebab kekalahan. Di negeri ini kalah dianggap sebagai aib, karena itu harus dibela mati-matian, kalau perlu dengan kekerasan untuk membalikkan kekalahan menjadi kemenangan meski itu rekayasa.

Berani mengakui kekalahan adalah bentuk dari keluhuran budi dan kerendahan hati. Mengapa banyak orang di negeri ini berani menang, tetapi tidak berani kalah? Hal itu terlihat dalam banyak bidang, mulai dari olahraga sampai politik.

Para suporter sepak bola akan mengamuk bila kesebelasan yang mereka dukung kalah. Para pemimpin politik yang kalah dalam kongres ramai-ramai membentuk pengurus partai tandingan. Pembela berteriak menyalakan hakim dan berniat naik banding ketika kliennya dikalahkan dalam suatu perkara. Bahkan, para pendukungnya mengamuk.

Sungguh ini salah salah satu aspek watak kita yang amat memprihatinkan. Kita belum siap menerima suatu kekalahan. Hidup ini isinya hanya kemenangan melulu. Kekalahan itu memang menyakitkan. Kesakitan itu tidak mendorong orang untuk mawas diri, tetapi cenderung menuding orang lain dan mencari kambing hitam.

Mengapa McCain bisa, tetapi kita tak bisa? (ias)

Tidak ada komentar: