Sabtu, 08 November 2008

Demokrasi AS


ENERGI UNIK DARI PEMILU AS

AP Photo/Jae C Hong / Kompas Images
Barack Obama yang lelah menyandarkan kepalanya sebelum muncul di hadapan pendukungnya di St Louis, Missouri., AS, Juli lalu. Perjalanan yang panjang dan melelahkan selama kampanye memaksa para calon presiden untuk memanfaatkan waktu yang sedikit untuk beristirahat.
Sabtu, 8 November 2008 | 03:00 WIB


Simon Saragih


Meliput pemilu AS memberi kesempatan melihat variasi yang unik, kadang terasa aneh, tetapi juga sekaligus menyenangkan. Bagaimana energi para calon presiden yang seperti tidak ada capeknya. Para calon presiden mengunjungi berbagai kota dalam sehari dan hal-hal yang seperti berlangsung dalam seminggu, dan bahkan dalam 21 bulan terakhir.

Saking tidak cukup tidur, Obama, misalnya, kadang terlihat tertidur lelap di kursi panjang di ruang sederhana. Hotel mewah, yang menyediakan tempat tidur nyaman, tidak membikin Obama kelamaan tidur sehingga lengah menggencarkan kampanye. ”Jangan lengah, jangan percaya pemilu ini sudah usai, besok kita akan mengubah negara,” kata Obama pada Senin (3/11) malam di Charlotte, North Carolina.

Keseriusan, semangat besar, meski dengan risiko kehilangan tidur nyenyak, menjadi warna dari semangat kepemimpinan yang diperlihatkan Obama. Si kakek John McCain, berusia 72 tahun, bahkan turut ”gila”. Dalam sehari, terutama sepanjang Senin (3/11), McCain melakukan kampanye di tujuh negara bagian sekaligus.

”My friend,” demikian bujukan McCain kepada setiap pendukungnya di berbagai lokasi kampanye. Ucapan McCain menirukan ucapan Martin Luther King Junior saat memimpin protes pada tahun 1963 di Washington, memprotes diskriminasi oleh kulit putih kepada kulit hitam. McCain mungkin ingin meraih sukses dari Obama, seorang keturunan Afrika seperti Luther King.

Joe Biden dan Sarah Palin tak mau lepas tangan dan menyerahkan kampanye kepada atasannya semata. Biden dan Palin cukup gencar melakukan kampanye, kadang dengan serangan sengit. Akan tetapi, uniknya—kalau melihat situasi di Indonesia—begitu pesta demokrasi usai, tidak ada dendam.

”Saya menawarkan diri untuk mendukung pemerintahan Obama,” kata Palin di Anchorage, Rabu (5/11) malam. Kedewasaan politik sangat terasa. Kekalahan diterima dengan lapang dada. Tak ada protes dengan membakar atau menyerang pendukung lawan.

Ketika McCain memberi pidato menyerah kalah, pendukung McCain menolak. ”Huuuuh….,” demikian pendukung McCain setelah mendengar pernyataan bahwa McCain telah mengucapkan selamat kepada Obama.

Pendukung McCain juga memprotes ketika McCain mengatakan, ”Obama, yang pernah menjadi saingan saya, kini telah menjadi presiden saya.” ”Huuuhhh…,” demikian reaksi pendukung McCain. Namun, McCain tidak menghasut pendukungnya, tidak pula meminta pendukungnya meninju pendukung musuh, apalagi membakar aset-aset musuh.

”Please...!” demikian McCain berkali-kali meminta pendukungnya untuk menerima kenyataan, yakni sebuah kekalahan yang tentunya mengecewakan. ”Tetapi kita harus maju, Amerika tak pernah menyerah, Amerika tak pernah mundur,” kata McCain.

Luar biasa, demikianlah kebesaran jiwa McCain. ”Itu sungguh pidato yang luar biasa. Kita melihat McCain yang sungguh berbeda dan menyenangkan,” kata Dr Gregory Payne, pengajar komunikasi politik di Emerson College di Boston.

Demikian juga rakyatnya, semangatnya sungguh luar biasa. Untungnya pada saat pemilu cuaca cukup menyenangkan. Namun, di sebagian tempat di mana hujan turun, para pemilih rela antre dan menunggu waktu untuk memberikan suara.

Mereka tidak mau kalah atau mundur. Mereka ingin memilih agar suara mereka dihitung supaya Obama menang. Semangat ini diperlihatkan minoritas, seperti Muslim, Katolik kulit putih, Kristen pendukung Demokrat, kulit hitam, Hispanik, Asia, dan minoritas lainnya. Mereka tidak mau Obama kalah karena kekurangan dukungan. Mereka tidak mau negara dipimpin penerus Presiden George W Bush, yakni McCain, yang menjadi pilihan utama kulit putih konservatif, yang sebagian di antaranya rasis dan ingin membunuh Obama.

Pendukung Obama ingin menegakkan E Pluribus Unum atau Bhinneka Tunggal Ika ala AS. Ini adalah semangat yang pantas ditiru warga Indonesia jika ingin membuktikan negaranya benar-benar pendukung Bhinneka Tunggal Ika, bukan sekadar Bhinneka Tunggal Ika dalam ucapan semata.

Semangat mereka bukan saja diperlihatkan dengan rela antre di lokasi-lokasi pemilu. Mereka ingin memenangkan Obama dengan menganjurkan rekan-rekan mereka untuk memilih. ”Vote, vote, vote, ajaklah minimal lima orang rekan-rekan Anda. Jika satu orang mengajak lima orang dan setiap lima orang itu mengajak lagi lima orang lainnya, jumlah yang memberikan suara akan banyak,” demikian ucapan Halle Berry, aktris peraih hadiah Oscar, dalam kampanye yang didukung Leonardo DiCaprio, Julia Roberts, Tom Cruise, serta sekelompok artis lainnya yang merupakan pendukung Obama.

Saat pemilu juga ada orang aneh-aneh. ”Pilihlah Dog”. Demikian spanduk yang dibawa seseorang dengan membawa anjing. ”Pilihlah hewan peliharaan”. Demikian pula spanduk yang dibawa Alexander, veteran perang yang dengan mobilnya berkeliling di pusat kota Boston saat pemilu berlangsung.

Namun, kedua orang ini tidak ditangkap. Mereka dibiarkan saja berkeliaran dan akhirnya mereka memang capek dan berhenti sendiri. Tidak ada ketakutan berlebihan dari aparat atau elite di AS, yang memutuskan bahwa dua ”pengacau” pemilu ini harus ditangkap. Tingkah dua orang itu, yang juga terjadi banyak kota di AS, dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehingga mereka tidak perlu ditangkap dan dimasukkan ke penampungan dinas-dinas sosial.

Para pendukung McCain dan Obama juga demikian. Di lapangan mereka bisa bersaing. Namun, tidak ada dukungan berlebihan, dengan teriakan berlebihan, atau pawai berlebihan yang memacetkan jalanan, seperti yang terjadi di kota-kota di Indonesia saat kampanye berlangsung.

Inilah pernik-pernik kampanye yang menarik dari pemilu AS. (Simon saragih, dari AS)

Tidak ada komentar: