Jumat, 31 Oktober 2008

Pemilu Sarat Makna


Jumat, 31 Oktober 2008 | 02:30 WIB

Bisa saja orang berargumentasi, Amerika Serikat sudah merdeka sejak tahun 1776. Indonesia baru saja merdeka tahun 1945. Kalau mau dicari-cari lagi, Amerika Serikat dijajah oleh Inggris, sedangkan Indonesia dijajah oleh Belanda dan sempat diduduki oleh Jepang selama tiga setengah tahun.

Argumentasi ini masuk akal mengemuka, saat menyinggung bagaimana pesta demokrasi pemilu presiden dan legislatif AS bisa berjalan begitu bernas, bermakna, bermutu tanpa ada benturan fisik. Padahal, sempat muncul isu agama, isu warna kulit, dan berbagai kampanye negatif lainnya. Di Indonesia, pemandangan seperti ini sebuah hal langka. Pemilihan kepala desa di beberapa tempat berakhir dengan perusakan harta benda, bahkan sampai pembunuhan antara pendukung.

Pertarungan Barack Obama, calon presiden AS dari Partai Demokrat, membuat pesta demokrasi di AS setiap empat tahunan ini menjadi lebih lain. Obama adalah pria berkulit hitam karena berdarah Kenya dari ayah. Pertama kali seorang calon presiden dari partai besar berasal dari warga kulit hitam AS yang hanya 12,8 persen dari 305 juta warga AS. Sangat minoritas dibanding 80 persen warga kulit putih.

Namun, Obama tampil memukau. Pintar, dengan gaya bicara yang hebat, Obama bisa menjelaskan begitu gamblang dan sederhana, bagaimana dia menghadapi kasus di Irak dan Afganistan, krisis ekonomi, pajak, dan berbagai program perbaikan kesehatan di dalam negeri.

Para pemilih AS pun tidak lagi melihat Obama yang berkulit hitam. Juga tidak lagi sibuk mengurusi tuduhan berkaitan dengan ayahnya yang Muslim dari Kenya. Juga tidak ambil peduli bahwa Obama semasa kecil pernah tinggal di Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.

Memilih seorang pemimpin seharusnya memang hanya melihat bagaimana kehebatan dan kepintarannya dalam menangani masalah-masalah pelik yang ada. Memilih seorang pemimpin juga harus erat dikaitkan dengan karakter, sepak terjang, dan komitmen, serta integritasnya.

Kehadiran Obama membuat banyak pemilih AS merasa menemukan pemimpin yang membuat mereka bangga. Membuat mereka yakin masalah mereka akan segera bisa diatasi, sedikit banyak segera bisa berkurang. Warna kulit bukan lagi persoalan rumit.

Obama berhasil menggeser Hillary Clinton dari pertarungan menjadi calon presiden dari Partai Demokrat. Sejauh ini, Obama juga unggul dalam jajak pendapat dalam pertarungannya menghadapi John McCain dari Partai Republik untuk mencapai Gedung Putih pada 4 November nanti.

Hillary adalah mantan first lady saat Presiden Bill Clinton. Perempuan hebat dengan pengalaman segudang. McCain adalah senator, veteran Perang Vietnam yang mendapat respek dalam masyarakat AS. Tetapi, Obama menjadi pilihan Konvensi Partai Demokrat karena integritas, kehebatan dan kepintarannya.

Pemilu presiden AS kali ini jelas sarat makna dan pesan bagi berbagai pesta demokrasi di Indonesia. Sudah saatnya setiap calon entah calon presiden, gubernur, bupati atau anggota legislatif mulai mempertimbangkan integritas, kemampuannya dalam mengatasi masalah yang ada. Tidak ada lagi isu-isu sempit yang cenderung memecah-belah dan mengundang benturan dijadikan topik kampanye.

Kalimat bijak mengatakan, orang dengan kemampuan dangkal, frustrasi, yang banyak mengutamakan isu-isu sempit, berbeda dengan orang yang pintar, integritas hebat, yang tahu duduk masalah dan bagaimana mengatasinya.

Pemilu presiden AS, terutama dengan penampilan Obama yang cerdas, pintar, bisa menjadi pemicu bagi perbaikan para peserta pesta demokrasi di Indonesia. (ppg)

Tidak ada komentar: