Jumat, 31 Oktober 2008

JAJAK PENDAPAT KOMPAS


Harapan di Balik Obama
Jumat, 31 Oktober 2008 | 02:29 WIB

Model kebijakan yang dipandang lebih moderat, tetapi meyakinkan, menjadi salah satu daya tarik utama ketertarikan publik Indonesia terhadap Barack Obama. Sementara terhadap John McCain, senioritas adalah modal menjadi presiden yang paling berarti.

Kedua model preferensi publik tersebut merupakan gambaran tingkat kesukaan publik Indonesia terhadap dua calon presiden Amerika Serikat, Barack Obama dan John McCain, yang akan bertarung dalam pemilu, 4 November mendatang.

Secara keseluruhan kategori, publik tampaknya jauh lebih mengunggulkan Barack Obama menjadi presiden AS ketimbang pesaingnya, John McCain. Proporsi publik yang menyukai Obama menjadi presiden AS mencapai hampir sepuluh kali lipat daripada yang menyukai McCain (72,5 persen banding 7,7 persen).

Publik tampaknya tidak terlalu kesulitan menjatuhkan preferensi penilaian tokoh mana yang diunggulkan bakal menjadi presiden Amerika. Meskipun tidak mengetahui secara langsung, sebagian besar publik ternyata mengikuti atau paling tidak mengetahui terjadinya proses pemilihan presiden Amerika Serikat dan nuansa-nuansa politiknya.

Hiruk-pikuk proses pemilihan presiden AS di media massa diakui menjadi salah satu pemberitaan yang cukup memikat bagi publik Indonesia. Hampir seluruh responden (90,1 persen) dari total 848 orang menyatakan mengikuti pemberitaan tentang pemilu AS meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda melalui berbagai media.

Alasan di balik kesukaan publik terhadap Obama tampaknya lebih variatif, tersebar kepada berbagai aspek. Empati publik kepada Obama tersebar, mulai dari faktor politik (rencana kebijakan), individu (kepandaian, karisma, usia), hingga soal historis (pernah tinggal di Indonesia). (lihat tabel)

Ada beberapa jawaban responden yang bersifat primordial sebagai alasan menyukai Obama, seperti soal warna kulit, agama, dan aspek minoritas, tetapi jumlahnya tidak signifikan.

Kondisi sebaliknya, keunggulan McCain di mata publik lebih terpusat kepada faktor kinerja dan individu, seperti soal senioritas dan ketegasan dalam bersikap. Relatif terpusatnya preferensi jawaban publik kepada McCain agaknya juga terpengaruh oleh sedikitnya jumlah responden yang menyukai sosok tersebut menjadi presiden AS.

Citra ”superpower”

Terlepas dari penilaian publik terhadap pola kebijakan luar negeri Indonesia (yang dinilai belum ideal), tingginya proporsi ”keberpihakan” dan harapan publik kepada Barack Obama tidak lepas dari citra politik luar negeri Amerika Serikat.

Hal apa yang sebenarnya diinginkan publik dengan terpilihnya Barack Obama ketimbang McCain tak lepas dari harapan perbaikan kondisi hubungan antara Indonesia dan Amerika dan Amerika dengan politik luar negerinya.

Jika dirunut dengan jajak pendapat sebelumnya, bulan November 2006 (saat kedatangan Presiden George Bush), benang merah empati publik kepada Barack Obama tampak menjadi lebih jelas.

Pada satu segi, terlihat pandangan publik bahwa negara Amerika Serikat adalah negara adidaya yang mau tak mau harus ”diakomodasi” oleh negara mana pun, termasuk Indonesia, sekalipun ”akomodasi” itu tidak dikehendaki. Pandangan semacam ini belum banyak bergeser di mata publik.

Suka atau tidak suka, kebijakan luar negeri Amerika, seperti invasi ke Irak, Afganistan, hingga langkah kecil seperti kunjungan George Bush dengan mendarat di tengah kebun raya Bogor, tetap ”harus” bisa dilaksanakan di tengah hujatan berbagai pihak.

Wajar jika hubungan Indonesia-Amerika saat ini lebih banyak dimaknai publik sebagai bentuk subordinasi ketimbang kesetaraan kekuatan negara yang sama-sama berdaulat.

Bagi publik Indonesia, saat ini pun sebagian besar (64,7-77,9 persen) responden mengaku jika mendengar nama Amerika Serikat, yang pertama terbayang adalah negara adidaya, superpower, bahkan ”polisi” dunia. Nyaris tak ada responden yang mengasosiasikan negara itu kata ”demokrasi”, ”kemanusiaan”, ataupun ”pendidikan”.

Dari jajak pendapat tahun 2006 tergambar dalam persoalan politik, ekonomi, militer, iptek, bahkan kesehatan diyakini oleh lebih dari tiga perempat responden jajak pendapat sebelumnya belum mampu melepaskan ketergantungan dari Amerika. Untunglah kepercayaan diri tampaknya meningkat dalam hasil jajak pendapat kali ini untuk lepas dari ketergantungan kepada Amerika.

Dengan konteks semacam itu, tidak mengherankan jika di mata publik citra negara Amerika Serikat masih dipandang buruk. Lebih dari separuh responden jajak pendapat kali ini menilai citranya buruk, meskipun jumlahnya agak menurun daripada penilaian tahun 2006 yang dinyatakan 65,6 persen responden.

Seandainya Barack Obama benar-benar terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, ada harapan yang besar bagi publik bahwa Amerika akan berubah paling tidak dalam kebijakan luar negerinya. Harapan itu, yang merupakan harapan bagian terbesar publik, mudah-mudahan tidak hanya jadi harapan kosong, kembali jadi warga negara ”bawahan”. (Toto Suryaningtyas/ Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: